Jangankan yang Cuma Berdosa, yang Nggak Beriman Saja Tetep Kebagian Welas Asih Tuhan, Kok

welas asih tuhan

Jangankan yang Cuma Berdosa, yang Nggak Beriman Saja Tetep Kebagian Welas Asih Tuhan, Kok

“Dari mana kamu, Mis?” sambut Kang Salim dari muka pintu. “Abis tarawih kok langsung plencing (ngilang).”

Misbah hanya terkekeh. Dia tidak lekas menjawab pertanyaan dari kawan baiknya tersebut. Ketika sudah sedikit jenak duduk di kursi kayu teras rumah, barulah dia bersuara, “Itu kang, tadi ikut rapat di rumah Pak Haji RW, soal Mariasih.”

“Ada apa dengan perempuan itu, Mis?” Dengan wajah sedikit menegang Kang Salim pun duduk mensejajari Misbah.

Sampeyan kan sudah saya kasih tahu tempo hari, muncul desas-desus kalau Mariasih itu penyuka sesama jenis, Kang. Apa itu namanya? Ah.. lesbian, iya lesbian.”

“Terus apa urusannya dengan Pak Haji RW?” Kang Salim makin tegang saja.

“Mariasih mau diusir dari desa,” jawab Misbah lesu.

“Waduh! Ya nggak bisa gitu dong, Mis.”

“Tapi Kang, kalau nggak gitu takutnya desa kita kena tulah. Gimana-gimana yang namanya lesbian itu kan dilaknat Allah. Buktinya tuh kisah kaum Sodom, kaumnya Nabi Luth yang dibinasakan karena penyuka sesama jenis.”

Kang Salim diam sejenak, menghela nafas panjang untuk sedikit menenangkan diri.

“Tapi kamu sendiri kan juga tahu kalau Mariasih itu orangnya kayak gimana? Ramah, suka membantu, dan rajin ke masjid pula.”

“Ya percuma, Kang. Sekalipun rajin ibadah dan baik dalam muamalah, kalau melanggar larangan Allah ya tetep saja nggak bisa dibenerin.”

“Eh, kamu kok bisa tahu, Mis? Kamu ini asistennya Gusti Allah apa ya?”

Merasa disindir, Misbah memasang raut nggak nyaman.

“Kamu inget cerita tentang Nuaiman si pemabuk nggak, Mis.”

Karena masih kesal dengan sindiran Kang Salim, kali ini misbah hanya mengangguk seperlunya.

“Mis, kan kamu juga tahu sendiri, Nuaiman ini pernah dibela Rasulullah di hadapan para sahabatnya. Ada beberapa sahabat yang mencerca Nuaiman, menganggapnya nggak layak dekat Rasulullah mengingat dirinya yang gemar mabuk. Terus sama Rasulullah dibela, jangan sekali-kali melaknat Nuaiman, karena dia mencintai-ku.

Sik, Kang. Lalu apa hubungannya dengan kasus Mariasih?” sela Misbah tidak sabar.

“Begini, dari kisah tersebut kemudian jadi rujukan dalam Fathu Bari, kalau untuk menghamba pada Allah dan Rasulullah, itu nggak ada syarat mutlak harus lepas dari dosa-dosa. Ini jawaban buat pernyataan kamu kalau salat dan kebaikannya Mariasih itu muspra (sia-sia). Sebab, nunggu bersih dari dosa dulu buat ibadah, untuk ukuran kita kayaknya kok impossible.

“Iya sih, Kang. Tapi masalahnya kita kan juga harus belajar dari peristiwa dalam Alquran. Kaum Sodom itu udah bukti yang paling nyata.” Misbah masih ngotot dengan pandangannya.

“Terlalu skriptualis, Mis.”

“Maksudnya, Kang?”

“ Alquran coba jangan dipahami secara teks, tapi esensinya. Dalam kasus kaum Sodom, mereka dibinasakan Allah karena mendustakan Nabi Luth dan menolak beriman kepada Allah. Itu yang bikin mereka dihukum.

“Sementara untuk kasus Mariasih, itu sama dengan kasusnya Nuaiman, yakni sama-sama beriman. Mabuknya Nuaiman dan lesbinya Mariasih mungkin saja dosa. Tapi bukan serta merta jadi sebab turunnya azab loh, ya. Karena kalau melihat konteks kasus kaum Sodom, sangat dimungkinkan kalau azab itu ditimpakan kepada mereka karena menolak beriman kepada Gusti Allah.”

“Artinya, jangan dilihat identitas Mariasih yang lesbi ya, Kang? Tapi lebih ke menilai dia dari apa yang dia kerjakan dalam kehidupan sehari-hari.”

“Tapat, Mis. Identitasnya biar jadi urusan dia sama Allah. Itu ruang privat, jangan ikut campur. Nah, kalau hubungannya sama laku sosial, silakan kasih penilaian kepada dia. Yang penting kan nggak nyolong, nggak membunuh, dan nggak ngerugiin orang lain tho, Mis? Lesbi di satu titik mungkin bikin Allah nggak suka. Tapi saya yakin, Mis, kalau kasih sayang Allah itu lebih besar dan lebih luas daripada murka-Nya.”

“Emang apa yang membuat sampeyan seyakin itu?”

“Kisah Nabi Ibrahim dan orang Majusi, Mis. Pernah tuh kan Nabi Ibrahim ngundang orang buat makan-makan di rumahnya. Cuma syaratnya harus beriman sama Allah. Nah, saat tahu ada orag Majusi mau ikut makan, tuh orang Majusi diabaikan sama Nabi Ibrahim, nggak dikasih. Sama Allah akhirnya Nabi Ibrahim ditegur yang kurang lebih maksudnya begini: walaupun si Majusi nggak menyembah Allah, Dia toh tetap memberinya makan selama (70 tahun) ini, memberinya rejeki berlimpah, bahkan ‘menikahkannya’ dengan sebaik-baik perempuan.”

“Paham saya, Kang. Maksudnya, jangankan orang yang cuma berdosa, yang jelas-jelas mengingkari Allah saja masih nggak luput dari welas asih-Nya. Gitu ya, Kang?”

“Alhamdulillah kalau kamu sudah paham, Mis. Dan ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.”

“Apa itu, Kang?”

“Mariasih jadi gitu itu ada sebabnya, Mis. Saya pernah denger dari ibukmu kalau dulu Mariasih itu perempuan normal. Dia sempat nikah sama juragan tebu dari kecamatan sebelah. Terus kabarnya selama tinggal di rumah suaminya itu, dia sering dapet perlakuan KDRT. Itu yang bikin dia akhirnya trauma dan milih ngejalin hubungan sama sesama perempuan saja. Karena dia sudah kadung kapok sama laki-laki.”

“Walaaahhhh, iya, Kang, saya baru ingat.”

“Kelamaan di Kota kamu, Mis, sampai lupa sama tetek bengek desamu sendiri. Nah, Mis, saya pernah baca di internet, kondisi tersebut namanya Post Traumatic Stress Disorder atau kadang juga disebut Post Traumatic Syndrome. Apa itu? Gampangnya sih, itu kondisi di mana seseorang merasa sangat trauma dengan peristiwa di masa lalu yang pernah dia alami. Dan trauma itu di kemudian hari membuat dia benar-benar menjauh dari apa pun yang berkait paut dengan kenangan kelamnya tersebut.

“Untuk kasus semacam ini, Mis, menggunakan dalil tentang kaum Sodom saya kira kurang pas. Terlalu menyudutkan, tapi minim solusi. Yang harus kita lakukan adalah urus akar masalahnya dulu, yaitu mengurangi angka kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Biar para perempuan nggak kapok sama laki-laki dan nggak memutuskan jadi lesbian.”

“Dengan kata lain, kalau memang iya lesbian itu jadi sebab turunnya azab, sebenarnya kita lah yang mengundang azab tersebut. Karena dengan kita abai atau malah justru jadi pelaku kekerasan terhadap perempuan, itu sama artinya kita lah yang menciptakan lesbian. Bener gitu, Kang?”

“Syukur lah kamu bisa menyimpulkan obrolan panjang kita. Ada dua hal yang harus kamu catat, Mis. Pertama, kelak kalau sudah menikah, jangan sekali-kali menyakiti istrimu dalam bentuk apa pun. Juga jangan diam kalau ada kekerasan terhadap perempuan. Kedua, nampaknya sekarang kamu harus segera balik ke rumah Pak Haji RW buat mengurungkan niat ngusir si Mariasih.”

Tanpa diperjelas sekali lagi, Misbah mengenakan songkoknya yang tergeletak di atas meja, bergegas menuju rumah Pak Haji RW.

*Diolah dari ceramah Gus Baha dan KH. Muzammil. Juga diangkat dari kisah nyata seorang lesbian bernama Jeje (pernah tayang di podcast Deddy Corbuzier).

BACA JUGA Tarawih Sepanjang Waktu, Puasa Sepanjang Usia dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version