Jangan Sombong, Jangan Sok Suci, Kita Hanya Beda Jalan dalam Memilih Dosa

sombong humblebrag merendah untuk meninggi dosa, berdosa

sombong humblebrag merendah untuk meninggi dosa, berdosa Jangan Sombong, Jangan sok Suci, Kita Hanya Beda Jalan dalam Memilih Dosa

Kita tidak perlu menghakimi dosa manusia secara berlebihan. Sebab, kita hanya beda jalan dalam memilih dosa.

Sore ketika Kang Salim baru saja pulang dari menjual sekarung cabai hasil memetik di ladang pagi tadi, di cangkruk bambu depan rumah sudah bercengkerama Misbah dan Kang Amin.

“Wah, Kang Salim sudah pulang. Sini dulu Kang, ini dibawain bingkisan lemper sama tamu kita,” sambut Misbah ketika mendapati Kang Salim tiba di depan rumah.

Ngrasani siapa tho kok kelihatannya asik gitu?” tanya Kang Salim setelah menjabat tangan Kang Amin dan Misbah secara bergantian.

“Itu loh, Kang, ada kabar nggak mengenakkan dari Gus Bidin, anaknya Kiai Basori.” Mendengar keterangan Kang Amin, Kang Salim tersedak. “Anaknya kiai tersohor dari kabupaten ini, itu tho?” tanya Kang Salim setengah tak percaya. “Emangnya ada apa dengan Gus Bidin? Saya kok ketinggalan berita.”

“Beritanya baru pagi tadi sih, Kang. Gus Bidin tertangkap tangan terlibat dalam pesta narkoba di kediaman temannya.” Misbah memvalidasi. “Miris nggak tuh, Kang? Masa anaknya kiai kelakuannya kayak gitu?”

Kang Salim berhenti mengunyah dan merenungkan sejenak apa yang baru saja dia dengar. “Menurut kalian, Gus Bidin itu sosok yang gimana tho sebelum dia terseret kasus ini?”

“Dalam beberapa kesempatan, saya sering, Kang, ketemu sama beliau. Biasanya kalau lagi hadir di majelisnya Kiai Basori.” Kang Amin menerangkan. “Orangnya ramah dan sopan sih, Kang. Dan kalau nyimak konten-konten YouTube-nya, Gus Bidin ini juga terkenal loman, hobi berderma. Tenggang rasanya tinggi.”

“Terus setelah ketahuan Gus Bidin ternyata ‘pemakai’, apa persepsi sampeyan tentang beliau masih tetap sama?” Pertanyaan pancingan yang ditujukan Kang Salim kepada Kang Amin.

“Waduh, jujur saya malah kecewa, Kang. Nggak nyangka aja gitu. Saya jadi hilang respek sama beliau yang dalam anggapan saya selama ini jadi sosok teladan bagi kawula-kawula milenial.”

“Sekarang mana pantes disebut teladan. Yang ada mah contoh buruk, perusak moral generasi muda,” sahut Misbah berapi-api.

“Ini nih yang disebut dengan satu kesalahan orang dicatat lekat-lekat. Diingat-ingat sampai mati. Sementara seribu kabaikan yang pernah diperbuatnya dianggap lenyap tak berbekas.”

Kang Amin dan Misbah saling bertukar pandang.

“Kecenderungan manusia memang selalu seperti itu. Nggak pernah bisa adil sejak dalam pikiran.” Kang Salim melanjutkan. “Harusnya cara pikir Kang Amin tentang Gus Bidin itu dibalik.” Kang Amin hanya mengernyitkan dahi, masih belum menimpali.

“Begini, kalau ditelisik riwayatnya, prosentase kebaikan yang pernah dilakukan Gus Bidin kan jauh lebih besar dari kesalahan yang dia perbuat. Harusnya nilai kebaikan yang besar itu bisa jadi alasan kita buat menutup atau menghapus setitik kesalahannya. Tapi yang kita lakukan malah sebaliknya. Oke, mengonsumsi narkoba tetep salah. Tapi bukan berarti kita bisa memvonis Gus Bidin sebagai perusak moral bangsa tho, ya. Sebab teladan kebaikan yang beliau syiarkan nyatanya jauh lebih banyak dari itu.”

“Masalahnya, Kang, dia ini kan anak orang berpengaruh gitu, loh.” Misbah memprotes.

“Mau anak kiai, anak konglomerat, lebih-lebih anak orang biasa kayak kita, kita ini tetaplah anak-turun Nabi Adam yang mewarisi potensi berbuat salah dan dosa. Dan jangan keliru, jangankan cuma anaknya Kiai Basori, anaknya Nabi Adam, Qabil, nyatanya jadi pembunuh. Atau Kan’an, anaknya Nabi Nuh, nyatanya jadi pembangkang ayahnya sendiri. Dan sekian contoh lain.”

“Iya juga sih, Kang. Kita ini emang lebih gampang kalau nyatet dosa orang lain. Sementara dosa sendiri menguap entah ke mana.” Timpal Kang Amin sambil menundukkan kepala. “Padahal hakikatnya manusia itu tetep punya cacat atau aib. Hanya karena kasih sayang dari Tuhan aja semua aib kita tertutupi. Tuhan aja mau menutupi aib hamba-Nya, loh. Lah kita kok ya malah mengumbar-ngumbar aib sesama. Haduh.”

“Itulah pentingnya muhasabah, seperti kata Umar bin Khattab; Hisablah atau evaluasilah dirimu sekalian sebelum dihisab di akhirat. Yang akan selamat dari hisab akhirat adalah mereka yang selama di dunia suka menghisab dirinya sendiri.

“Apakah itu artinya kita harus kritis terhadap diri sendiri, Kang? Dalam pengertian, mencoba untuk terus melihat ke dalam, mengoreksi keburukan-keburukan diri sendiri. Sehingga kita nggak gampang menjudge buruk orang lain. Karena menyadari bahwa kita toh juga punya potensi keburukan.” Misbah mengajukan pandangan.

Kang Salim mengangguk sambil mengulum senyum.

“Lah tapi, Kang. Bukankah kalau kita terlalu kritis terhadap diri sendiri, selalu mencari-cari kesalahan diri sendiri, akibatnya nanti kan malah bisa self blashing, Kang?” sanggah Kang Amin. “Jatuhnya malah bikin kita ngerasa inferior dan rendah diri. Dan itu nggak baik buat kondisi kejiwaan, Kakangkuh.”

“Waduh, mikirmu jauh banget tho, Kang Amin,” Kang Salim garuk-garuk kepala dibuatnya. “Tapi kalau manut apa kata Ibnu Athaillah, otokritik atau kritis terhadap diri sendiri itu batasannya semata agar kita selalu eling lan waspada, nggak jumawa, lebih-lebih jadi sok suci. Misalnya saja, kita barusan ngerasa lebih bersih dari Gus Bidin, kan? Disadari atau tidak. Itu efek dari kurangnya kita melihat ke dalam, kurang muhasabah.

“Kata Ibnu Athaillah lagi; Kegigihanmu untuk meneliti aib dan kelemahan yang tersembunyi dalam dirimu jauh lebih baik daripada pengetahuan tentang makrifat ketuhanan yang kau buru.”

“Kok bisa, Kang” tanya Misbah.

“Begini, untuk mencapai maqam makrifat, seseorang haruslah memenuhi predikat taqwa terlebih dahulu. Nah, menurut Syekh Hasan al-Bashri, seseorang bisa mendapat predikat taqwa dan akan senantiasa dalam kebaikan selama dia ber-muhasabah ketat dan tak henti-hentinya menasehati dirinya sendiri ketimbang terhadap orang lain. Kalau pakai bahasa Gus Mus; keras terhadap diri sendiri, lunak kepada yang di luar. Itulah jalan agar dia sampai ke maqam taqwa yang untuk selanjutnya barulah bisa menuju titik makrifat ­ila-Allah. Jadi, sangat tepat apa kata Ibnu Athaillah tadi, bahwa muhasabah atau otokritik itu lebih baik dari mempelajari pengetahuan ketuhanan secara langsung.”

“Loh, Kang, tapi bagaimana pun, saling menasehati antar sesama kan nggak ada larangannya, tho? Hla wong dalam Q.S. al-Ashr saja disebutkan, di antara golongan orang yang tidak merugi adalah mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran,” protes Misbah. “Umar bin Khattab juga pernah berkata bahwa saudara yang baik adalah dia yang nggak segan menegur saudaranya yang berbuat aniaya.”

“Betul, nggak ada larangan kok buat saling menasehati. Hanya saja dalam pandangan sufisme, porsi menasehati orang lain haruslah lebih kecil dari porsi menasehati diri sendiri. Yang jadi masalah, Mis, bukan ngasih nasehat atau nggak, tapi ketegaan kita mengumbar keburukan saudara kita itu, loh.”

Kang Amin dan Misbah manggut-manggut mendengarkan.

“Untunglah kalian berdua ngrasani Gus Bidinnya sama saya. Coba kalau sama Syekh Hasan al-Bashri, tanggapannya bisa lain.”

“Kalau ngrasaninya bareng beliau, emang apa yang bakal terjadi, Kang?” Tanggap Kang Amin penasaran.

“Pernah suatu ketika, ada seseorang yang menghadap ke Syekh Hasan al-Bashri, melaporkan tentang seseorang yang punya kebiasaan buruk menjelek-jelekkan beliau. Di luar dugaan, bukannya tersinggung, beliau malah marah sama si pelapor. Beliau bilang gini; Seandainya laporanmu tentang orang itu salah, kau akan ku cambuk karena telah berdusta dan menyebarkan berita bohong (hoaks). Tapi jika laporanmu ternyata benar adanya, maka kau akan tetap ku cambuk karena telah berbuat ghibah, mengumbar kejelekan orang lain di hadapanku.

“Beliau nggak berkenan jika ada yang membuka aib sesamanya di hadapan orang-orang. Lagian, kita ini kok kayak nganggur banget gitu sampai kehidupan orang lain saja ikut kita urusi,” seloroh Kang Salim. “Gus Bidin mungkin berdosa karena mengonsumsi narkoba, kita juga dosa karena telah ghibah. Jadi, jangan sombong, jangan ngerasa diri paling suci. Kita cuma beda jalan dalam memilih dosa, kok.”

Usai menuntaskan kalimat terakhirnya, Kang Salim menyomot tiga bungkus lemper dan dibawanya berlalu menuju ke dalam rumah, meninggalkan Kang Amin dan Misbah yang masih termangu.

*Rujukan: Menjadi Manusia Rohani (Ulil Abshar Abdalla) dan diolah dari Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz edisi 249; Muhasabah Hasan al-Bashri serta penggalan ceramah Gus Mus.

BACA JUGA Kalau Ada Gelar Pak Haji, Kenapa Tidak Ada Gelar Pak Salat, Pak Puasa, atau Pak Zakat? dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version