Apakah kalian termasuk orang yang sering sakit? Lalu, kalian biasanya berobat ke mana? Dokter umum? Klinik? Rumah sakit? Sedekat dan selengkap apa fasilitas kesehatan di kota kalian? Kalau sedang sakit, tentu kita ingin ditangani sesegera mungkin. Tapi, gimana jadinya kalau sedang sakit tapi urusan malah rumit? Inilah yang terjadi di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat.
Daftar Isi
Cerita miris warga Bengkayang yang sakit
Pada suatu malam, saya mendengar kabar kalau ada dua anak kakak-beradik yang sakit keras dan dirawat seadanya di rumah. Kedua anak ini kabarnya memang sering sakit dan biasanya dirawat seadanya oleh orang tuanya.
Rumah mereka terlalu jauh dari fasilitas kesehatan terdekat. Ketika dikonfirmasi kenapa tidak segera ke rumah sakit, orang tua kedua anak ini menjawab bahwa aksesnya susah dan mereka tidak memiliki BPJS. Kalaupun bisa dibawa ke rumah sakit, mereka takut tak bisa membayar biaya pengobatan.
Masih di Bengkayang Kalimantan Barat, ada seorang bapak yang dilaporkan hilang 3 hari. Seluruh orang di kampung sibuk mencarinya. Beliau akhirnya ditemukan meninggal tersangkut di bebatuan sungai. Menurut keluarga, almarhum pamit untuk mencari ikan dan berburu babi.
Rupanya almarhum memiliki riwayat kesehatan yang kurang baik. Dia menderita komplikasi penyakit. Keluarga enggan membawanya ke rumah sakit karena akses jalan yang sulit dilewati dan ketiadaan biaya. Bagi mereka, berobat adalah hal yang mewah.
Cerita ketiga, saya mendengar seorang anak sakit parah dan harus dibawa ke rumah sakit. Tetapi orang tuanya takut dengan tagihan rumah sakit karena BPJS Kesehatan mereka menunggak lama. Mereka tak mampu membayar iuran bulanan yang bagi mereka cukup besar nominalnya.
Karena sakitnya, anak ini sampai harus dirawat intensif. Sedihnya, ia harus menghembuskan napas terakhir di rumah sakit. Sepertinya dia terlambat ditangani. Masalah tak berhenti. Tagihan rumah sakit yang mencapai belasan juta tak mampu dibayar orang tuanya.
Tiga cerita di atas mewakili rumitnya masalah kesehatan yang ada di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Bagi perantau dari Jawa seperti saya yang terbiasa dengan fasilitas dan akses kesehatan lengkap, cerita-cerita di atas sangat menyedihkan.
Minimnya fasilitas kesehatan di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat
Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, sepengetahuan saya, memang cuma punya dua rumah sakit. Keduanya rumah sakit tipe C atau rumah sakit dengan kategori pelayanan kedokteran spesialis yang terbatas. Satu rumah sakit terletak di pusat kota, sedangkan satunya terletak agak pinggir di jalan arah ke Kota Singkawang.
Sedangkan, di pusat kota, hanya ada sekitar 4-5 klinik yang tak tentu jam pelayanannya. Sepengalaman saya, dokter tidak setiap hari ada dan melayani praktik. Jadi, masyarakat memang harus pintar-pintar tahu jadwal dokter atau sudah janjian dulu. Kalau tidak, ya siap-siap menunggu atau antre sangat panjang.
Masyarakat yang datang berobat kebanyakan datang dari kampung-kampung yang jauh. Ini bisa dilihat dari motor-motor mereka yang tampak berlumpur dan sudah dimodifikasi menyesuaikan medan jalan di kampungnya yang tak rata.
Kebanyakan pasien datang dari keluarga tak mampu yang sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil ladang. Ladang pun tak tentu berbuah banyak. Kadang disimpan atau syukur-syukur bisa dijual hasilnya. Intinya, pertaruhan besar untuk sekadar meminta resep dokter dan memeriksakan kesehatan.
Selain masalah akses dan biaya, banyak sekali orang Bengkayang Kalimantan Barat yang punya masalah dengan BPJS Kesehatan. Sepengalaman saya, banyak yang menunggak tagihan iuran BPJS sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya.
Dalam segala keterbatasannya, mereka tak mampu membayar tagihan yang mungkin buat kalian tak seberapa itu. Uang mereka lebih baik digunakan untuk membeli bensin agar motor bisa dibawa ke ladang. Maklum, lantaran jalan yang super jelek, konsumsi BBM jadi sangat boros.
Tantangan yang berat ini membuat mereka berpikir dua, tiga, bahkan sampai sepuluh kali untuk berobat. Bagi mereka (mungkin) selama masih bisa dirawat sendiri, lebih baik dirawat sendiri. Atau selama masih bisa bekerja, artinya mereka belum benar-benar sakit. Tapi, sebenarnya mereka punya kesadaran yang baik untuk berobat ketika sakit.
Keterbatasan membuat masyarakat Bengkayang Kalimantan Barat dekat dengan sumber penyakit
Di lain sisi, lingkungan yang tidak bersih dan pola hidup kurang sehat juga menjadi biang keladi sakit penyakit. Bukan bermaksud untuk menyalahkan, tetapi banyak kebiasaan masyarakat—yang karena keterbatasan mereka—juga membuat mereka sangat dekat dengan sumber penyakit.
Misalnya saja masih banyak kampung yang belum memiliki sanitasi terpadu yang layak seperti WC dengan septic tank. Banyak warga yang masih membuang hajat sembarangan. Mereka belum mampu untuk membangun WC dan septic tank karena keterbatasan ekonomi. Sayangnya, pemerintah setempat tak acuh dengan kondisi ini.
Saya pernah berdiskusi dengan petugas puskesmas setempat kalau keadaan seperti ini minim bantuan dari pemerintah. Ya meski ada bantuan, tapi sifatnya hanya pembangunan tanpa adanya edukasi dasar untuk mengubah perilaku. Bagi dia, ini bukan penyelesaian yang komprehensif.
Saya tidak tahu pasti apakah dinas terkait mengetahui masalah-masalah ini dengan detail atau tidak. Tetapi, seperti inilah realita yang dihadapi setiap hari oleh warga Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Warga berhadapan dengan akses yang sulit dan membuat mereka terisolasi. Kemudian masih dihadapkan dengan masalah ekonomi yang kian menjadi.
Syukur-syukur masih ada kebiasaan berburu yang membuat mereka masih bisa menikmati atau menjual daging dari hasil buruan. Tapi, itu juga tak selalu dapat mereka lakukan karena faktor cuaca, hutan yang makin sempit, dan hewan buruan yang semakin sedikit. Selebihnya, ya mereka menikmati makanan dari ladang mereka atau kalau ada kelebihan rejeki mereka ke pasar membeli sayur dan telur.
Pengalaman berobat jauh hingga ke Kota Singkawang
Saya mau cerita sedikit mengenai pengalaman saya ketika sakit gigi di Bengkayang Kalimantan Barat. Saat gigi saya sakit luar biasa, saya mendatangi salah satu rumah sakit. Tertulis di gerbang rumah sakit ada poli gigi. Tetapi ketika saya ke bagian pendaftaran rawat jalan, ternyata poli gigi sudah tidak ada lagi. Mereka menyarankan saya ke dokter gigi klinik yang dokternya seminggu sekali belum tentu ada. Saya pun terpaksa menahan sakit gigi berhari-hari sampai dokter itu ada karena dokternya hanya satu.
Sejak saat itu, ketika saya sakit, saya mending berobat agak jauh ke Kota Singkawang dengan waktu tempuh 2 jam. Atau terkadang, saya konsultasi ke teman dokter dan meminta resep yang bisa saya cari sendiri di apotek.
Masyarakat Bengkayang Kalimantan Barat memang tak bisa berharap banyak mengenai fasilitas. Banyak yang harus berobat sampai ke Kota Singkawang atau Pontianak yang perlu ditempuh dalam waktu 4-5 jam. Jika ada kelebihan rezeki, bisa juga berobat sampai ke Kuching Malaysia dengan waktu tempuh 8-10 jam. Ini dilakukan karena Bengkayang tak punya fasilitas kesehatan yang memadai.
Pekerjaan rumah bagi pemerintah
Setali tiga uang, kita dapat melihat “bantalan kesehatan” masyarakat terasa sangat rapuh. Seharusnya, dengan sistem jaringan sosial kesehatan yang ada, baik dari tingkat dinas sampai ke level desa mampu dengan efektif menyelenggarakan hajat kesehatan yang terjamin bagi semua. Dengan begitu, masyarakat tak perlu ragu untuk check up rutin kesehatan, terutama untuk mereka yang termasuk kelompok rentan.
Seluruh pihak harusnya proaktif mencari solusi dari gumpalan masalah yang tak memiliki ujung ini agar dalam situasi mendesak, masalah akses, biaya, tunggakan BPJS, dan fasilitas yang tidak memadai itu dapat dicarikan solusi dengan cepat. Melalui segala struktur birokrasinya, sepertinya tidak sulit kalau semua diniatkan.
Apa jadinya jika masyarakat di suatu daerah seperti di Bengkayang Kalimantan Barat terbelah menjadi dua ketika sakit? Bagi yang tidak punya biaya, mereka berdiam di rumah menunggu “keajaiban” datang atau bisa memaksakan diri berobat ke fasilitas kesehatan seadanya. Lalu, bagi yang punya uang bisa ke luar kota atau ke luar negeri dengan pelayanan yang lebih baik. Rumit, kan?
Saya jadi teringat perkataan salah satu warga yang pernah bercerita ke saya, “Kalau orang kita di Bengkayang bah jangan sampai sakit! Kalaupun sakit, biasanya kami cuma kepikiran ke dukun atau berdoa saja sudah cukup.”
Semoga perkataan tersebuut tak dirasakan lagi bagi mereka yang marjinal, ya.
Penulis: Daniel Pradina Oktavian
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Realitas Pahit di Kabupaten Bengkayang: Tidak Punya Akses Listrik, Mau Charge HP Harus Jalan Sejam.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.