Kalau ada segolongan masyarakat yang cenderung acuh dengan pro kontra kandungan dan program vaksin Covid-19 namun deg-degan berlebihan saat kejatah vaksin, trypanophobia adalah jawabannya, keadaan ketika seseorang takut jarum suntik.
Semasa sekolah dasar dulu, saya punya teman laki-laki. Sebut saja Kumbang, bukan nama sebenarnya. Badannya kurus kerempeng. Ia sering berulah di kelas. Sebab itu, ia kerap dimarahi guru karena dianggap mengganggu proses belajar mengajar.
Nah, waktu itu siswa kelas atas di sekolah saya mendapat jatah vaksin. Saya lupa vaksin apa yang diberikan. Kami pergi ke aula sekolah dan berbaris mengantre dengan jantung berdebar-debar dan kepo tingkat kecamatan.
Anak-anak perempuan mengomentari jas putih yang dikenakan dokter dari Puskemas. Mengungkapkan rasa takut jarum suntik sambil mengintip teman yang duluan disuntik. Tak lupa menggosipkan siapa-siapa saja yang menangis setelahnya.
Sementara anak laki-laki saling sesumbar. Mengaku sebagai abang jago. Tidak takut jarum suntik dan pantang menangis.
“Cemen. Masak cah lanang disuntik nangis.”
Harga diri anak laki-laki sekolah dasar dipancang kuat di tiang imunisasi. Jagoan boleh menang belakangan, tapi dilarang menangis. Begitulah stigma laki-laki di masyarakat kita. Sungguh pengasuhan anak laki-laki yang keliru.
Balik lagi ke antrean vaksin di sekolah. Tibalah waktunya si Kumbang disuntik. Alih-alih membuktikan sesumbarnya, dia memberontak. Beberapa guru berusaha memeganginya, tapi Kumbang berhasil lolos. Melarikan diri dari kami.
Sampai vaksinasi selesai, Kumbang tidak berhasil ditemukan. Ia pulang sebelum jam sekolah usai. Masa itu, amat langka anak sekolah dasar berani kabur. Kumbang melompati dua hal sekaligus. Kabur dari sekolah dan kabur dari vaksin. Versi anak badung, perbuatannya disebut jagoan.
Ketakutan ekstrem pada tindakan medis yang melibatkan jarum suntik ini disebut trypanophobia. Tak selalu sama wujud fobianya. Ada yang histeris saat akan disuntik. Meronta dan melawan meski sadar tiada guna. Ada pula yang lemas tak berdaya. Jantungnya melemah dan timbul keringat dingin di kedua tangannya. Boro-boro kabur, nggak pingsan aja udah alhamdulillah.
Golongan ini barangkali tak ambil pusing saat masyarakat kita adu pro kontra program vaksin Covid-19. Penolakan mereka pada vaksin jauh dari idealis. Dibilang halu juga bukan. Sebab fobia itu nyata. Takut kadang tidak bisa didefinisikan secara ilmiah. Trypanophobia adalah salah satunya.
Nervous ala trypanophobia terhadap vaksin berbeda dengan mereka yang menolak vaksin secara logis. Atau dilogis-logiskan. Atau sebab alasan ras, agama, suku dan adat-istiadat lainnya.
Rasa takut jarum suntik umumnya memang dialami anak-anak. Tak peduli meski pak Ganjar Pranowo bilang disuntik itu rasanya seperti gigitan semut. Perbuatan menyuntikkan jarum tajam ke jaringan bawah kulit secara sengaja cukup menakutkan. Belum termasuk darah yang keluar. Sak crit sih tapi namanya juga takut. Ditambah efek ngilu dan bengkak pada bagian yang disuntik sesudahnya. Wajar dong anak-anak takut.
Apalagi macam generasi saya. Autoparno melihat jejak-jejak suntikan pada lengan orang tua yang terpampang nyata. Kedua orang tua saya, memiliki bekas suntikan segede gaban meskipun mereka tidak menderita keloid. Mblaret seperti luka sebab disiksa.
Pemandangan melihat bopeng suntikan pada lengan orang tua, pengalaman traumatik, serta informasi hoaks bisa membangun persepsi keliru. Salah satunya menyebabkan anak kecil takut berlebihan pada jarum suntik. Mungkin itu yang dialami Kumbang.
Namun, tidak hanya anak kecil yang mengalami trypanophobia. Remaja dan orang dewasa dapat mengalaminya juga. Seperti kabar yang viral di media sosial belum lama ini. Beredar video 39 detik berisi rekaman pria dewasa yang berteriak histeris sebelum disuntik vaksin Sinovac. Ia meronta dan berusaha melepaskan diri. Matanya melotot ke arah jarum suntik. Awaludin Rahim namanya.
Pria ini adalah kepala puskesmas di Bone Bolango, kabupaten Gorontalo. Kepada media, ia mengaku berteriak sebab fobianya terhadap jarum suntik. Ia mengalami pengalaman trauma dan takut jarum suntik di masa kecil. Ia histeris bukan sebab persoalan vaksin yang merugikan. Ia takut merasakan rasa sakit akibat disuntik lagi.
Tidak semua trypanophobia suuzan dengan kandungan vaksin made in China ini. BPOM menyebutkan Sinovac tidak mengandung bahan non halal. Asrorun Niam, ketua MUI menyebutkan vaksin ini halal dan suci. Meski tentu saja tidak menyucikan.
Trypanophobia juga tidak merasa perlu susah payah menghitung efikasi Sinovac. Tingkat kemanjuran vaksin ini saat tahap uji klinis sudah melampaui syarat WHO, yaitu 50 persen. Sinovac aman di angka 65,3%. Meskipun, beberapa sumber mengatakan, hasilnya bisa berbeda pada tiap negara. Bukan ini alasannya.
Trypanophobia juga tidak ambil pusing dengan perbandingan vaksin Sinovac dengan Pfizer dan Moderna. Hampir semua vaksin memiliki efek bawaan termasuk Sinovac. Vaksin itu semacam paket lengkap menyuntikkan virus mati berikut KIPInya atau kejadian ikutan pascaimunisasi. Tentu saja efek ringan seperti demam, nyeri, ngilu pada bekas suntikan. Kalau efeknya berat dan banyak, tidak mungkin program ini dijalankan pemerintah. Gila apa pemerintah menghabisi warganya sendiri?
Awaludin sebagai individu dengan fobia jarum suntik, memberanikan diri disuntik demi mendapatkan manfaat vaksin. Sebagai warga negara yang bekerja di instansi medis, ia ingin memperlihatkan pada masyarakat bahwa vaksin ini aman. Pendek kata kesadaran bervaksin sudah merasuki seorang trypanopobhia.
Kalau yang fobia saja sanggup divaksin, apa kabar tim enggan vaksin? Misal mereka yang menolak sebab tidak percaya dengan keamanan kandungan vaksin. Golongan kontra ini mungkin perlu menyusun ulang alasan mereka secara haqiqi. Sebab alasan logis dan halu sudah tertolak.
Sudah untung negara memfasilitasi program vaksinasi Covid-19 ini. Gratis, meski jumlahnya masih sangat terbatas. Pejabat dan tenaga medis jadi prioritas. Artis dan presiden sudah mengendorse keampuhan vaksin ini. Buktinya, Raffi Ahmad baik-baik saja meski berpesta setelah divaksin. Beda kondisinya dengan bupati Sleman, Sri Purnomo yang berstatus OTG pascavaksin Sinovac tahap pertama. Pakar berpendapat, vaksin perlu waktu membentuk kekebalan di dalam tubuh. Bukan simsalabim main sulap. Bukan pula setelah divaksin seseorang otomatis terhindar dari Covid-19.
Tinggal kita yang rakyat jelata dan bukan siapa-siapa menunggu program vaksin selanjutnya. Barangkali efektif dan ada perpanjangan kuota gratis. Masa iya herd immunity yang digadang secara nasional cukup dengan 3 juta vaksin gratis saja.
Tapi, jika ada yang menolak vaksin sebab tak percaya dengan kandungan vaksin sebab gratisan, boleh saja mereka menunggu vaksin Covid-19 versi berbayar. Para marketer bilang, ada harga ada rupa. Asal jangan protes aja,
“Ta-tapi, vaksinnya kok mbayar. Ini kan demi kepentingan nasional.”
Jadi, kamu maunya apa Bambang? Dikasih gratis nggak percaya. Disuruh bayar protes soal harga. Fix, kamu bukan trypanophobia yang takut jarum suntik, tapi duitphobia!
Photo by Polina Zimmerman via Pexels.com
BACA JUGA Saya Disuntik Vaksin Covid-19 dan Nggak Jadi Buaya