Jangan Naik Transjakarta Jika Terburu-buru

halte bus transjakarta

Sebagai orang yang sudah cukup lama tinggal di Jakarta, saya merasakan betul perbaikan dan kemajuan yang terdapat pada transportasi publik. Jakarta yang dulunya memiliki bus kota berusia tua yang tidak tertib, sekarang perlahan berubah menjadi bus modern, yang nyaman dinaiki. Kita mengenalnya dengan Transjakarta.

Saya ingat betul, bus kota di Jakarta dahulu sering ngetem di sembarang tempat, sering balapan untuk mengejar setoran. Lantaran bus yang tidak pernah ingin berhenti dengan sempurna, maka wajib hukumnya untuk selalu ingat menggunakan kaki kiri jika ingin turun dari bus. Jika tidak, siap-siap saja akan kepleset.

Untuk sekarang Jakarta telah memiliki bus Transjakarta yang bahkan sudah menjangkau daerah pemukiman. Biayanya pun sangat murah, hanya Rp3500, udah bisa keliling Jakarta dari ujung ke ujung.

Walau sudah ada Transjakarta yang tergolong nyaman dan murah, tapi saya masih belum bisa mengandalkannya secara penuh. Begini. Bagi saya, Transjakarta bukanlah transportasi yang cocok jika sedang terburu-buru.

Saya tinggal di daerah Bintaro, dan bekerja di daerah Kuningan. Kurang lebih jarak antara rumah dengan tempat saya bekerja hanyalah 13 km. Dengan menggunakan sepeda motor secara santai, saya hanya mengeluarkan waktu tempuh di bawah satu jam perjalanan. Waktu tersebut, dihitung mulai dari saya menutup pintu rumah, memanaskan sepeda motor, hingga sampai tujuan. Bahkan jika saya mengisi bensin pun waktu tempuhnya masih sama.

Berbeda dengan menggunakan TransJakarta. Setidaknya saya harus menyiapkan waktu satu setengah jam, atau bahkan lebih. Jika pukul tujuh saya keluar rumah, kemungkinan saya sampai di tempat kerja sekitar pukul 8:40.

Pertama, dari rumah saya harus berjalan kaki, ke plang pemberhentian bus yang kurang lebih memakan waktu empat menit. Setelah itu saya harus menunggu bus yang lewat 15 menit sekali. Nah, bus Transjakarta di Bintaro tidak memiliki jalur sendiri, maka harus rela terjebak macet juga di kawasan Tanah Kusir.

Untuk sampai ke Kuningan, saya harus transit pada terminal Blok M, dan berpindah ke bus lainnya. Di sini kembali saya harus menunggu bus yang lewat kurang lebih 10 menit sekali. Pada daerah Kuningan bus Transjakarta juga tidak memiliki jalur sendiri, dan kemungkinan bakal terjebak kepadatan proyek LRT.

Dari rute yang saya lalui, sepeda motor masih jadi alternatif jika ingin sampai tujuan dengan cepat. Hanya saja di sini kelemahan sepeda motor adalah parkirnya. Pada daerah perkantoran biaya parkir motor sangat mahal. Jika ingin memarkir motor yang dikelola oleh warga setempat, umumnya juga cukup penuh di waktu tertentu.

Sepengalaman saya, untuk bepergian dengan jarak dekat, atau jarak menengah sepeda motor adalah kendaraan yang paling tepat. Hanya saja jika memang ingin bepergian agak jauh—di atas 20 km—mungkin Transjakarta adalah solusi. Saya pernah membandingkan menggunakan sepeda motor dan Transjakarta, dengan tujuan Lebak Bulus ke Harmoni. Dari waktu tempuhnya memang kurang lebih sama. Tapi, setidaknya dengan Transjakarta saya bisa duduk anteng, sambil ngadem.

Selain itu rute bepergian juga harus diperhatikan. Transjakarta yang memiliki jalur sendiri, harusnya memiliki waktu tempuh yang sangat singkat. Seperti Transjakarta dari CBD Ciledug menuju Tendean. Bayangkan saja berjalan 20 km tanpa gangguan kendaraan lain. Walau harus nunggu bus 10 menitan, dan harus berdesak-desakan rasanya tidak masalah.

Pada akhirnya pilihan menggunakan Transjakarta, atau sepeda motor semua tergantung dari keadaan. Mulai dari jarak dan rute yang akan ditempuh. Dalam beberapa kasus yang saya alami sepeda motor masih lebih efisien, tapi dari beberapa kasus lainnya, Transjakarta juga tidak kalah. Walau kadang harus meluangkan waktu lebih, setidaknya dengan menggunakan Transjakarta bisa membantu mengurangi polusi udara.

Sumber gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version