Sekolah favorit merupakan gelar yang disandang oleh sekolah-sekolah ternama yang setiap tahunnya tidak mungkin kekurangan peminat. Bahkan, ratusan sampai ribuan siswa sampai rela belajar mati-matian demi dapat tempat duduk di sekolah favorit. Memang, sekolah yang menjadi impian banyak siswa pasti memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan sekolah lain.
Namun, sama seperti segala hal di dunia, banyak sekolah yang memiliki embel-embel favorit pun pasti memiliki sisi negatif yang mungkin belum diketahui banyak orang. Dan disini saya akan membeberkan hal-hal tidak mengenakkan yang ada di sekolah “yang katanya” favorit, dari sudut pandang saya sebagai siswanya, dan menyesal kenapa dulu sempat ngotot mau daftar ke sini.
Menjaga citra baik, atau memang suka pencitraan?
Seperti hal-hal terkenal lainnya, sekolah favorit juga punya muka untuk dipertahankan. Ya, kalau pada kenyataannya memang baik, ya tidak apa-apa. Namun, sayangnya ada sekolah yang hanya terlihat baik waktu ada penilaian saja, hehe.
Guru-guru yang biasanya rohnya ketinggalan di rumah waktu mengajar, tiba-tiba semangatnya menggebu-gebu. Para pegawai TU yang biasanya jutek, tiba tiba jadi super-duper ramah. Ya hanya waktu ada penilaian dari dinas saja pastinya.
Kamar mandi yang biasanya bau dan tidak ada sabunnya, waktu penilaian tiba-tiba bersih, wangi dan tersedia sabun batang yang masih kotak sempurna. Kelas yang biasanya… ya biasa saja, tiba-tiba harus dibersihkan dan dipel, karena katanya akan ada pengawas yang datang. Lalu lagi, paving sekolah yang tiba-tiba dicat saat ada penilaian adiwiyata, setelah itu ya dibiarkan lumutan seperti biasanya.
Kegiatan yang bejibun, tapi kurang maksimal
Sebenarnya, kegiatan-kegiatan non-akademis diperlukan untuk mengasah kemampuan siswa, sekaligus sebagai refreshing di sela-sela pembelajaran. Namun, dengan catatan bahwa kegiatan-kegiatan ini benar benar berdampak positif dan dicintai oleh siswanya. Bukan kegiatan yang hanya “dengan tujuan”, tapi harus benar terbukti bahwa kegiatan tersebut memberi kemajuan pada diri siswa.
Tapi itu kan harapannya, sayangnya di sini saya bicara tentang realitas. Kenyataannya sangat banyak dari kegiatan non-pembelajaran tadi yang hanya berjalan ala kedarnya dan terkesan “yang penting terselenggara”.
Yang katanya, “kami punya banyak ekstrakurikuler”, tapi yang datang setiap minggu hanya sebagian kecil dari anggota ekstrakurikuler tersebut. Benar ekstrakulernya ada, tapi keadaannya seakan hidup segan mati tak mau.
Lalu, ada lagi yang katanya “Pekan Olahraga”, tapi bisa berlangsung satu setengah sampai dua bulan, dimana penyelenggaraannya setiap pertengahan Januari dan bisa berakhir paling lama pada bulan Maret. Dan siap-siap saja bagi mereka yang menjadi panitia, karena bulan Maret adalah waktunya UTS. Kasihan sekali nasib para panitianya, karena tentu para guru tidak peduli meski mereka sering pulang malam dan terlalu lelah untuk belajar.
Dan yang paling mengecawakan dalam pengalaman saya adalah saat perayaan HUT sekolah. Waktu itu diadakan pawai keliling kota, setiap kelas telah mengenakan atribut terbaiknya demi memeriahkan acara tersebut. Setelah semua atribut siap, yel-yel telah bergema, dan barisan telah berangkat, lalu saya dibuat terkejut dengan rute pawai kami.
Meski sempat melewati SATU jalan yang cukup ramai dan sempat melewati dua sekolah saingan (mungkin untuk pamer), ternyata rute yang kami lewati didominasi oleh jalan kecil di pinggiran kota dan area persawahan (sempat melewati pabrik tekstil juga, sih). Ini mau pawai atau perarakan anak habis sunatan? Lucunya lagi, dengan fakta bahwa hampir setengah dari rute kami adalah area persawahan, para pembawa acara tetap bicara ini-itu dengan harapan dapat mempromosikan sekolah kami. Tapi ya… siapa tahu nanti orang-orangan sawah atau padi yang bergoyang ingin daftar ke sekolah kami.
Proker yang cenderung kaku
Bukan sekolah favorit kalau tidak punya proker kebanggaan. Mulai dari pentas seni sampai invitasi olahraga rasanya tidak boleh absen tiap tahunnya. Sayangnya, proker di sekolah sistemnya gitu-gitu aja. Beberapa proker saya rasa tidak memiliki peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggarannya dibandingkan tahun sebelumnya. Dan yang paling menyebalkan, saat ditanya waktu ada masalah, jawabannya pasti “ini sudah ikut sistem tahun lalu”.
Pernah ada suatu proker antara organisasi utama sekolah dengan kami para siswa yang sebelumnya dinobatkan sebagai duta sekolah. Di sini terjadi pertikaian tentang sistem penyelenggaraan proker. Saat kami bertanya apa dasar dari kebijakan organisasi utama, mereka menjawab “ini sudah berdasarkan tahun lalu, kok”. Asal para pembaca tahu, tahun lalu juga terjadi pertikaian yang sama, oleh dua organisasi yang sama, di proker yang sama, dan tentang kebijakan yang sama pula.
Apa berarti hal seperti ini memang harus terjadi setiap tahunnya? Kenapa tidak sekalian prokernya diubah menjadi “tawuran antar organisasi”?
Eh, sebentar, kalau dipikir-pikir jika setiap tahun aturannya ikut tahun sebelumnya, berarti peraturan tahun ini bisa jadi sama dengan aturan sepuluh tahun lalu dong? Hehe, bercanda
Sama seperti para caleg yang kebanyakan visi dan misi, sekolah favorit ternyata juga bisa begitu lho. Sekolah sering mengutarakan keinginan-keinginannya pada para siswa, namun entah kenapa mata kami tidak melihat wujud nyata dari usaha memenuhi keinginan tadi. Langsung saja saya beri contoh konkret agar ini mudah dipahami.
Sekolah saya pada awalnya sering menorehkan prestasi, yang sebagian berasal dari prestasti akademis, entah itu olimpiade sains, lomba karya ilmiah, debat, dll. Namun, entah kenapa semakin tahun berjalan, sekolah kami sedikit demi sedikit mengalami penurunan.
Lalu, tidak sedikit guru yang akhirnya mendeklarasikan upaya untuk kembali meraih kejayaan di bidang akademis, dengan mengatakan akan melakukan bimbingan intensif bagi para siswa yang terpilih, khusunya pada olimpiade sains dan sosial tingkat kota.
Ya, bimbingan intensifnya terlaksana… pada H-30 hari. Memangnya belajar olimpiade satu bulan dapat apa? Baca daftar isi pun rasanya belum tamat. Di saat sekolah lain melakukan persiapan selama enam bulan sampai setahun, sekolah kami hanya dalam waktu sebulan! Sangat wow sekali. Gitu minta menang.
Memang, ada beberapa siswa yang berhasil juara, tapi saya yakin itu semua berkat usaha pribadi mereka yang pastinya sudah mereka siapkan jauh-jauh hari. Dan ujung-ujungnya, prestasi mereka bakal diklaim sekolah, hehe.
Sekolah ingin prestasimu, tapi mikir dulu kalau keluar biaya
Ini nih, yang paling menyebalkan. Sekolah yang selalu membangga-banggakan prestasi dari para siswanya ternyata tidak selalu mau membiayai siswanya saat mengikuti lomba atau kompetisi. Selalu ada-ada saja alasan di balik sulitnya meminta dana bantuan dari sekolah, mulai dari yang katanya proposal kurang jelas, dana yang minim, atau terkadang dana sudah teralokasikan untuk kegiatan lain.
Waktu itu saya yang mengikuti ekstrakurikuler paduan suara akan mengikuti lomba di luar kota yang terbilang cukup jauh. Dan apa ada dukungan dari sekolah? Sepertinya ada, tapi bisa dibilang sangat kurang, karena ya…bantuannya hanya berupa uang makan. Bukannya kurang bersyukur, tapi ayolah, ini lomba tingkat provinsi, lho. Dan karena pembagian babak penyisihan dan final, kami harus di sini selama empat hari tiga malam. Kami berangkat menggunakan mobil milik pembina dan wali murid. Kami urunan untuk menginap di tempat yang tergolong sederhana. Karena uang dari sekolah tidak cukup, kami beberapa kali dibayari makan oleh pembina kami di sana. Masih untung kami dapat pulang membawa piala juara ketiga. Dan ujung-ujungnya, juara kami diklaim pihak sekolah, hadeh.
Dan satu lagi, yang paling menohok adalah pengalaman sahabat saya. Dia mengikuti lomba LKIR tingkat nasional yang diselenggarakan oleh LIPI, dan berhasil masuk 10 besar. Ini tingkat nasional lho ya, bukan tingkat RT, penyelenggaranya juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dan tahukah anda bantuan apa yang dia dapat untuk terbang ke Jakarta mendekati babak final? Uang untuk tiket berangkat, titik. Tidak kurang dan tidak lebih. Ya siapa tahu sekolah berpikir bahwa sahabat saya tidak perlu makan, hanya perlu berfotosintesis, dan dia bisa pulang berjalan kaki. Sahabat saya tadi masih beruntung karena ia berasal dari keluarga yang tergolong mampu. Jika tidak, ia mungkin tidak bisa terbang ke Jakarta dan gugur begitu saja karena tidak dapat mengikuti babak final.
Intinya, seperti segala macam branding lainnya, jangan mudah termakan embel-embel sekolah terbaik, atau sekolah favorit. Yang terpenting dari suatu sekolah adalah dukungan bagi para siswa untuk berkembang. Karena segala bentuk dukungan, dari dukungan moral sampai finansial sangat berpengaruh bagi siswa di suatu sekolah.
Karena percuma kan, kalo cuma punya brand tapi isinya tidak sesuai? Brand-nya saja yang Supreme, rasanya kan tetap Oreo. Kelihatannya saja yang favorit, dalamnya ternyata oweooo…
BACA JUGA Alasan Mengapa Politik Dinasti Banten Begitu Digemari Warganya atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.