Jangan-jangan, yang Dinyinyirin Billie Eilish Selama Ini Adalah Kiwil

Kiwil glorifikasi pernikahan ketidaksetaraan

Kiwil glorifikasi pernikahan ketidaksetaraan

Dua tahun lalu pernah ramai dibahas di medsos perkataan dari Billie Eilish saat wawancara dengan Pitchfork, “Why is every pretty girl with a horrible-looking man? I’m not shaming people for their looks, but I am. You give an ugly guy a chance, he thinks he rules the world.”

Saya tidak sepakat dengan perkataan tersebut, memakai kata “every” dan menilai seseorang dari penampilannya ini kurang tepat dan prematur. Tapi, setelah menyimak jawaban-jawaban Kiwil saat diwawancara Feni Rose, susah untuk nggak ngomong: “Billie Eilish ada benernya juga, ya!” Saya buatkan verbatim untuk Anda yang belum nonton videonya:

Kiwil: “Bicara soal istri, boleh nggak gua alibi yang lain, mobil, mau nggak Feni dikasih mobil satu?”

Feni Rose: “Mungkin mau.”

Kiwil: “Enggak mungkin. Karena banyak temen-temen gua juga begitu bullshit lah, besok gua pengin usaha ini, besok punya mobil ini, gua ganti ini.”

Feni Rose: “Kenapa analoginya benda?”

Kiwil: “Karena harus punya pilihan. Misalnya gini, gua enggak pernah nolak apa yang dikasih, bukan berarti gua nyari, enggak kok… Memang enggak ada, yang gua harapkan dari sini enggak ada, dari sini enggak ada, gua udah punya mobil ini, mobil ini, tapi yang gua harepin enggak ada.”

Feni Rose: “Yang dicari enggak ada, yang dicari apa sih dari seorang perempuan, dari seorang istri?”

Kiwil: “Taat saja sama suami, ini pun konsep dasar dari dulu seperti itu.”

Terlepas Kiwil yang ngomong nggak jelas maksudnya ini, pendapat dia sama sekali nggak mashok. Kon kemu a?

Nggak semua “horrible-looking man” kayak Kiwil, jangan pukul rata. Sebab, ganteng dan jeleknya muka tidak ada hubungannya dengan kewarasan. Tapi, sebagai sampel quote Billie Eilish, Kiwil memang tepat banget.

Coba perhatikan bagaimana Billie Eilish mengubah “horrible-looking man” menjadi “ugly guy” setelah menyertakan konteks laki-laki jelek mendapat pasangan perempuan cantik. “You give an ugly guy a chance, he thinks he rules the world.” Pemakaian “ugly” bukan lagi soal tampilan fisik, kata tersebut bisa berarti kasar dan buruk.

Kalau status hubungan dengan “ugly guy” baru pacaran masih banyak peluang untuk dan memulai cerita baru. Berbeda jika sudah dilembagakan dalam perkawinan. Menjadi lebih rumit, selalu perempuan yang cenderung disalahkan dan mendapat stigma negatif. Seperti para mantan istri Kiwil, sudah cerai masih saja dibawa-bawa di tiap wawancara dengan media.

Diperlakukan bagai pesakitan yang punya aib.

Punya istri banyak dan sering ditaksir perempuan, membuat Kiwil merasa dunia berputar mengelilinginya. Attitude jelek semacam ini disebut self-righteous yang artinya merasa benar sendiri. Sudah argumennya dengan memakai analogi mobil itu pointless, brainless pula karena menempatkan istri sebagai objek sementara suami adalah pemegang kendali.

Kiwil sebodo amat pada kenyataan istrinya telah dimadu, ditelantarkan baik psikis maupun finansial, nggak dijaga perasaan serta martabatnya, dan bertahun-tahun jadi bahan berita tayangan infotainment.

Masih percaya diri mendaku pendakwah pula meski terang-benderang perlakuannya pada anak dan istri jauh dari apa-apa yang diajarkan dalam Islam. Seseorang menjadi salih dan berhak mendaku pendakwah bukan karena sudah pernah poligami. Agama Islam bukan cuma soal kawin dan taat suami membabi-buta, istri punya hak yang harus dipenuhi dan Islam tidak menempatkan perempuan sebagai barang yang dimiliki laki-laki setelah terjadi perkawinan. Duh, pendakwah yang nyampah memang selalu bikin pengin muntah. Dahlah.

Kenapa, ya, “ugly guy” seperti Kiwil masih belum punah di era society 5.0 seperti sekarang? Kiwil dan “ugly guy” lainnya mungkin berpikir dunia ini berputar mengelilingi mereka. Kenyataannya tidak, dunia ini bergerak cepat. Meski eksistensinya masih ada, mereka sudah pasti akan ditinggalkan zaman. Nggak akan berhasil bertahan, nggak laku.

Era society 5.0 digagas Jepang tahun 2019, dalam konsep tersebut manusia dianggap lebih penting dari teknologi. Dibuat sebagai antisipasi dari disrupsi akibat revolusi industri 4.0 yang dikhawatirkan menggerus nilai-nilai karakter dan kemanusiaan.

Dalam society 5.0 dinyatakan pentingnya menguasai kecakapan hidup abad 21. Dikenal dengan istilah 4C yaitu creativity, critical thinking, communication, dan collaboration.

Jawaban-jawaban Kiwil dalam wawancara dengan Feni Rose jelas menggambarkan ketidaksiapan untuk hidup di abad 21. Apalagi perlakuannya pada Rochimah dan Meggy, istri dianggap seperti koleksi mobil dan tak boleh berpendapat.

Boro-boro kreatif, berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi. Perilaku self-righteous dalam berumah tangga ala Kiwil itu pada akhirnya akan toksik untuk anak dan istrinya karena tak sesuai zaman.

Kasus Kiwil perlu menjadi pengingat bagi semua orang. Nggak ada gunanya menyengsarakan diri sendiri terjebak dengan “ugly guy” dalam sebuah perkawinan. Tidak ada istri dan anak-anak yang pantas diperlakukan buruk dan ditelantarkan.

Memang masih saja ada orang yang berpikir lebih baik tetap bertahan ketimbang jadi janda. Si istri dianggap kurang bersyukur, tak paham agama, dan tidak tahu diri sebagai perempuan (yang telah diangkat derajatnya lewat perkawinan). Masukan-masukan seperti ini kerap diberikan bahkan oleh orang terdekat. Membuat perempuan makin terpuruk, penderitaan dan rasa sakitnya tak digubris.

Perlu diingat bahwa yang paling tahu tentang rasa sakit adalah orang yang menjalani. Apakah orang lain yang berkomentar itu yang akan menyembuhkan luka hati seorang perempuan yang perasaan dan martabatnya diinjak-injak suaminya? Apakah yang memberi masukan jangan bercerai itu yang akan menutup kebutuhan jasmani dan rohani seorang istri dan anak-anak yang ditelantarkan? Jawabannya tidak, karena itu orang lain sebaiknya tutup mulut saja.

Stop glorifikasi perkawinan yang membuat perempuan terpaksa bertahan meski diperlakukan buruk oleh suaminya. Seperti kata Feni Rose, it takes two to tango. Goblok banget kalau sampai ada yang berpikir perkawinan itu dilakukan untuk mengangkat derajat perempuan. Atau berpendapat bahwa perkawinan pasti berhasil asal si istri taat.

Perempuan bukan gender kedua. Sebelum diklasifikasikan ke dalam gender, ia adalah manusia sama seperti laki-laki. Oleh karena itu dalam perkawinan pun perempuan boleh mengiyakan dan/ atau menolak sesuatu. Hukum negara dan hukum agama sudah mengatur tata caranya.

Jika perkawinan gagal, bukan berarti derajat perempuan drop. Kenyataannya memang ada kasus-kasus perceraian yang perlu dirayakan. Setelah lepas dari perkawinan dengan “ugly guy” yang toksik, mantan-mantan istri Kiwil mungkin malah nyanyi lagunya Billie Eilish, “Happier Than Ever”.

When I’m away from you

I’m happier than ever

Wish I could explain it better

I wish it wasn’t true, mmm

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version