“Meski Tidak Punya Tangan, Jonny Berhasil Menjadi Atlet Makan Kerupuk Terbaik di Dunia”
“Jono Mampu Membangun Perusahaan Besar Level Internasional Walaupun Dibatasi Ketidakmampuan Melihat yang Dideritanya Sejak Kecil”
Kita tentu sering melihat headline serupa di berbagai media. Headline yang menggemborkan prestasi disabilitas disertai embel-embel ke-disabilitas-an yang mereka miliki. Kemudian, para manusia yang pandai bersyukur dan berempati akan mengomentari dengan kata-kata serupa “Kita harus bersyukur dan bekerja lebih giat, dia aja yang nggak punya (blablabla) bisa, masak kita nggak” atau “Kasian banget, jangan nyerah, ya” atau “Kamu pasti bisa. Tunjukin sama dunia kalo orang seperti kamu pun bisa”, dan lain sebagainya.
Begitulah postingan mengenai prestasi disabilitas menjadi landasan bersyukur dan motivasi orang lain atau asupan objek simpati yang kurang tepat. Seolah-olah para disabilitas adalah makhluk lain yang berbeda dari masyarakat dunia pada umumnya sehingga kehadirannya dan prestasinya adalah sebuah kelangkaan yang patut diapresiasi.
Dalam lingkungan sehari-hari misalnya, berapa banyak kita menemukan disabilitas berada di tengah-tengah masyarakat yang memandangnya seperti alien yang baru turun dari langit? Keheranan, kasihan, jijik, dan bersyukur karena tidak terlahir sepertinya. Jika kamu salah satu dari anggota masyarakat yang memandang begitu, tolong hentikan sekarang juga. Tolong pandanglah mereka selayaknya kamu memandang temanmu atau manusia pada umumnya.
Ya, masyarakat kita pada umumnya belum ramah dan sadar akan eksistensi disabilitas di tengah-tengah mereka. Ketidaksadaran ini menimbulkan pandangan yang membuat risi para penyandang disabilitas. Sehingga sulit bagi mereka untuk berbaur dengan masyarakat. Coba hitung berapa banyak serial TV atau film yang menyajikan contoh disabilitas? Coba hitung berapa kartun anak yang mengekspos disabilitas agar anak-anak mulai menyadari kehadiran mereka sejak dini? Kalaupun ada, kebanyakan menggambarkan tokoh disabilitas sebagai objek yang tidak mampu berdaya, jahat, atau alienisasi lainnya. Namun, mari kita apresiasi sejenak tokoh Nussa dalam serial animasi Nussa yang menyajikan tokoh disabilitas dengan cara yang berterima bagi para disabilitas.
Kembali lagi ke headline berita-berita yang bombastis itu. Mari kita telaah lebih jauh kemanusiaan yang selama ini kita abaikan. Apakah pantas menjadikan prestasi penyandang disabilitas itu topik inspirasional yang terkesan malah menjatuhkan? Malah menjadikannya objek bagi masyarakat kita yang haus memberi simpati verbal tanpa melihat kedalaman perasaan. Apakah memang mereka perlu rasa kasihan semacam itu bagi mereka? Apa kita tidak bisa membantu secara langsung ketimbang hanya bergelut dengan kolom komentar untuk menunjukkan bahwa kita sudah jadi orang baik dengan komentar motivasi ala Mario Teguh kita?
Menjadi disabilitas bukanlah pilihan, sama halnya menjadi manusia bukanlah hal yang bisa kita tentukan dari awal. Disabilitas adalah manusia yang punya kekurangan, sama sepertimu, sama seperti semua manusia tanpa terkecuali. Tidak ada yang beda dari mereka. Tidak pula ada yang spesial. Mereka memang butuh bantuan, tapi bukan berarti menjadikan mereka objek. Bantulah seperlunya mereka, komunikasikan apa yang mereka inginkan dan apa yang bisa kita beri. Bentuklah komunikasi yang efektif antarsesama. Berikan ruang privasi bagi mereka. Jangan asal memotret tanpa izin, lalu mempostingnya dengan kata-kata inspirasional yang malah menjatuhkan. Sekali lagi, apa betul hal semacam itu yang mereka mau?
Bukan itu mau disabilitas. Para disabilitas hanya ingin mendapat hak hidup dan kehidupan yang sama dengan sesama manusia, menikmati fasilitas negara seperti masyarakat umumnya, serta berada di tengah-tengah masyarakat tanpa ada pandangan aneh yang menjatuhkan harga diri dan karakter. Mereka (mungkin) ingin dibantu, tapi bukan dikasihani. Mereka juga ingin berdaya dan berkontribusi bagi kehidupan ini.
Meski begitu, perlahan-lahan masyarakat kita mulai tumbuh dan menerima kehadiran disabilitas. Terbukti dengan beragam gerakan dan organisasi yang lantang menyuarakan kesetaraan disabilitas. Contohnya saja lembaga Thisable Enterprise yang telah berdiri selama hampir sepuluh tahun sebagai wadah untuk mengatasi masalah sosial melalui pemberdayaan masyarakat dan menjadi support system bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
Mari bersikap toleran dan empatis. Buatlah dirimu dan lingkungan kita menjadi tempat yang baik untuk semua manusia, termasuk para disabilitas.
BACA JUGA Etika Berinteraksi dengan Penyandang Disabilitas: Menghargai, Bukan Mengasihani