“Di Jakarta, kamu berangkat kantor jam berapa?”
“Jam 5 pagi”
“Serius? Memangnya kamu butuh waktu berapa lama nyampe kantor?”
“Kalau lancar butuh dua jam.”
Awalnya saya kaget mengetahui beberapa teman saya yang tinggal di pinggiran Jakarta menghabiskan waktunya minimal 4 jam untuk perjalanan. Rata-rata, mereka tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Planet Bekasi. Memilih tinggal di pinggiran karena memang harga rumah di Jakarta sudah tidak terjangkau.
Yah, kita tahu, telat sedikit berangkat kantor pasti kena macet. Mending kepagian daripada kesiangan. Pukul 7 teng sudah di kantor, padahal jam masuk kantor itu pukul 8. Telat sedikit, bisa-bisa pukul 9 baru nyampe dan terlambat. Repot lagi kalau kantornya menggunakan finger print.
Ada teman saya tinggal di Depok, ke stasiun pakai angkot dan ditempuh selama 1 jam. Dari Stasiun Depok sampai Stasiun Manggarai butuh 1 jam naik KRL, masih lanjut menggunakan bus trans yang tidak sebentar juga, paling cepat 30 menit. Kemudian sambung naik angkot yang sebenarnya hanya butuh 10 menit tapi karena angkotnya jarang jadi harus nunggu, sehingga bisa memakan waktu 30 menit. Total perjalanan berangkat ke kantor 3 jam kalau lancar. Itu cara paling hemat untuk ke kantor di Jakarta.
Ongkos yang dibutuhkan untuk sekali jalan sekitar Rp20.000, pulang-pergi total Rp40.000, jadi sebulan untuk transpor saja butuh Rp800.000 (20 hari kerja). Itu ongkos minimal. Kalau ada urusan yang mengharuskan lebih cepat sampai kantor harus mengeluarkan ongkos ojek yang tidak murah.
Mereka juga harus mengeluarkan energi lebih banyak karena menggunakan transportasi umum tidak selalu bisa mendapatkan tempat duduk. Bayangkan jika mereka selama di KRL dan bus trans harus berdiri 4 jam untuk pulang pergi, ditambah ketika harus antri menunggu kedatangan transportasi umum tersebut. Tentunya mereka harus menyiapkan stamina lebih untuk melalui itu semua. Untuk memenuhi stamina tersebut salah satunya harus makan yang banyak supaya kuat berdiri berjam-jam.
Ketika bekerja di Jakarta, saya selalu mencari tempat tinggal yang dekat kantor. Sebisa mungkin ke kantor cukup jalan kaki saja, biar hemat tidak ada pengeluaran untuk transportasi dan tidak perlu menyalahkan kemacetan setiap hari. Begitu juga dengan beberapa teman saya, lebih memilih mencari kos atau kontrakan di Jakarta. Selain memudahkan akses juga menghemat waktu untuk ke kantor.
Tentunya hal ini hanya berlaku untuk orang-orang yang masih single dan memang belum berencana menetap bekerja di Jakarta dalam jangka waktu lama. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya mau tidak mau harus membeli atau mengontrak rumah di daerah pinggiran Jakarta. Pertimbangan mereka, supaya biaya hidup bisa lebih terjangkau dan mendapatkan tempat tinggal yang layak dengan harga yang masih sesuai dengan kantongnya.
Bagi sebagian teman saya yang single dan memang berencana atau sudah lama bekerja di Jakarta, banyak juga yang akhirnya membeli rumah di daerah pinggiran. Mereka rela mengeluarkan banyak energi untuk menempuh perjalanan ke kota saat bekerja.
Memiliki rumah meski di pinggiran menjadi pilihan sebagian orang. Pertimbangannya adalah supaya uang tidak habis tanpa bekas untuk membayar kos atau kontrakan di Jakarta. Karena tinggal di kota, mereka hanya mampu sewa. Membeli apartemen di Jakarta juga bisa. Namun, tidak semua orang punya dana untuk itu.
Selama di Jakarta dan nebeng tinggal di beberapa perumahan daerah pinggiran, saya mengamati dan merenungkan. Ternyata kalau dipikir-pikir semakin banyaknya orang single yang memiliki rumah sendiri, makin banyak juga energi yang terbuang. Selain energi fisik dan waktu, orang tersebut jadi boros listrik dan bahan bakar.
Ketika penghuninya tidak berada di rumah, bukan berarti tidak ada energi yang dibutuhkan. Penerangan di malam hari harus menyala supaya tidak didatangi maling, minimal lampu teras. Kulkas juga tentunya tidak bisa dimatikan. Jadi selalu ada energi yang “terbuang”.
Kita coba hitung untuk penggunaan listrik minimalis dengan 3 lampu 30 watt yang dinyalakan 12 jam, 1 TV LED yang dinyalakan 5 jam sehari dan 1 kulkas saja orang membutuhkan sekitar 8.530 watt (8,5 kwh). Jika harga per Kwh Rp1.325, sebulan listrik yang dibutuhkan satu rumah bisa sampai Rp337.875.
Kalau ada 1000 orang, sudah adaRp 337.875.000 biaya yang terbuang untuk listrik dalam satu bulan. Belum kalau penggunaan listrik dihitung per tahun, bisa sampai 4 miliar lebih biaya energi listrik yang harus dibayarkan dan kebermanfaatnnya tidak maksimal dan cenderung mubazir.
Selain itu tentunya juga banyak lahan yang akhirnya beralihfungsi karena banyaknya kebutuhan rumah. Rumah itu tidak dihuni keluarga tapi hanya dihuni sendiri-sendiri jadi sayang juga kan lahan yang sudah dialihfungsikan jadi tidak maksimal penggunaannya. Bahkan mengganggu penghuni lama, seperti ular-ular yang tadinya tinggal di sawah jadi berkeliaran ke rumah warga.
Belum lagi kalau kita hitung penggunaan bahan bakar kendaraan seperti bensin di Jakarta. Perumahan-perumahan yang harganya miring jauh dari akses kendaraan umum. Mau tidak mau tetap membutuhkan biaya untuk menuju stasiun KRL, MRT maupun shelther trans Jakarta.
Beberapa ada yang menggunakan jasa ojek tetapi banyak juga yang membawa motor sendiri. Hitung saja jika jarak dari rumah ke stasiun 10 km, PP berarti 20 km. Rata-rata bensin 1 liter bisa digunakan untuk 60 km, jadi 1 liter bensin bisa dipakai 3 hari. Kalau sebulan berarti butuh 10 liter bensin, satu tahun 120 liter bensin untuk satu motor. Kalau yang menggunakan 1000 orang, maka setahun ada 120.000 liter bensin yang dibutuhkan.
Jadi sepertinya tidak membeli rumah di Jakarta juga termasuk usaha menghemat energi. Secara tidak langsung kita berkontribusi mengurangi alih fungsi lahan menjadi hunian, mengurangi penggunaan listrik, mengurangi penggunaan bensin, dan mengurangi kemacetan.
Jadi, mari berjuang untuk menghemat energi dengan tidak membeli rumah di Jakarta yang dipakai sendirian. Ah, itu aslinya hanya alibi saya saja karena belum mampu membeli rumah.
BACA JUGA 4 Kelebihan yang Membuat Jakarta Timur Tidak Bisa Dipandang Sebelah Mata atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.