Kapan nikah? Anaknya Bu Endah teman SD mu dulu sudah punya anak, kamu kapan bawa pacar ke rumah? Ingat umur udah mateng!
Belakangan urusan pernikahan menjadi hal yang krusial yang benar-benar harus dicarikan solusinya. Acara keluarga jadi salah satu mimpi buruk bagi mereka muda-mudi berumur cukup atau dianggap cukup untuk membina rumah tangga. Ironisnya, di balik banyaknya kasus pernikahan dini akibat tekdung duluan, ternyata rerata usia pernikahan zaman sekarang bagi para orang tua zaman baheula tergolong tua. Bagaimana tidak, zaman dulu remaja yang baru “mekar” dari masa pertumbuhannya sudah siap menata rumah tangga dengan anak-anak yang jumlahnya buuuaanyak sekali. Maklum, prinsip banyak anak banyak rezeki seolah sudah mendarah daging nenek moyang kita.
Pernikahan, rumah tangga, dan masa depan bukan hal sepele. Sebelum memilih untuk menikah, membentuk rumah tangga, dan menjalani bahtera kehidupan masa depan, yakinkan diri bahwa keputusan yang diambil merupakan hasil perenungan yang benar-benar matang. Ketiga hal ini bukan main-main, sekali salah langkah bisa fatal akibatnya. Ibarat salah ngegrebek kamar hotel, bisa brabeee cuy!
Pertanyaan-pertanyaan haram untuk dijawab namun selalu menggentayangi kala om, tante, dan semua sanak sodara nyeletuk dengan rasa penasarannya yang cukup tinggi mempersoalkan pasangan yang tak kunjung mereka lihat wujudnya. Pertanyaan iseng yang mungkin sekedar basa-basi bagi mereka itu sadar tak sadar membuat kita takut menghadapi hari esok. Takut sebulan, dua bulan, bahkan setahun kemudian belum menemukan jodoh dan berujung hopeless akan masa depan.
Memilih sendiri untuk sementara, memilih untuk tidak terburu-buru menikah, atau memilih berlama-lama menjalani masa lajang bukanlah dosa besar yang harus dipersoalkan seluruh silsilah keluarga. Memangnya setelah kita berganti status menjadi istri atau suami orang, om-tante yang tadi kepo banget itu bakal dapat doorprize gitu dari tamu undangan karena telah berhasil melepaskan rantai kejombloan saya? Enak sih terbebas dari jerat nestapa kesendirian, tapi…….
Tapi, aku takut jadi orang tua yang gagal!
Jleb! Pengalaman memang guru terbaik. Sekitar sebulan yang lalu di busway yang penuh sesak dengan masyarakat Jakarta ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶e̶n̶t̶a̶r̶ ̶l̶a̶g̶i̶ ̶b̶a̶k̶a̶l̶ ̶j̶a̶d̶i̶ ̶w̶a̶r̶g̶a̶ ̶k̶a̶m̶p̶u̶n̶g̶,̶ ̶y̶h̶a̶a̶a̶a̶!̶ seorang pasangan suami istri beserta dua anaknya ikut berebut oksigen di tengah keramaian manusia yang tidak peduli duduk atau berdiri yang penting sampai tujuan yang sejauh apapun harga ongkos tetap ekonomis.
Diam-diam ̶a̶k̶i̶b̶a̶t̶ ̶k̶e̶t̶u̶l̶a̶r̶a̶n̶ ̶o̶m̶-̶t̶a̶n̶t̶e̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶s̶u̶k̶a̶ ̶k̶e̶p̶o̶ tanpa sengaja kedua bola mata ini memperhatikan gerak-gerik dan obrolan mereka yang berhasil mencuri perhatian. Sebagai calon ayah dan ibu masa depan, tentu setiap kita berharap agar anak yang dititipkan Tuhan kelak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas dan lincah. Tapi siapa sangka, ada orang tua yang super duper disiplin hingga kebangetan. Disiplin sih bagus kalau tujuannya supaya sang anak berperilaku mandiri dan sopan terutama di depan banyak orang. Tapi ini lho, kok beda ya.. Masa iya anak “heboh” dikit dimarahin habis-habisan sampe diancam bapaknya segala.
Bu, Pak, apa sih salahnya anakmu ketawa-ketiwi selama perjalanan? Kalau kedua bocah itu merasa ada yang lucu dan suara tawanya tidak mengganggu orang, kenapa harus di-sssttt-in sih padahal yang dengar juga ga ada kali selain saya yang kepo abis ini??!!
Mereka sedang berimajinasi melihat cahaya ibu kota di malam hari lalu membicarakan rahasia yang hanya dimengerti anak seusia mereka. Lagian orang tua tahu apa sih?
Tahu nya sstt-in doang, tidak tawar-menawar dulu asal main pendisiplinan sepihak. Giliran anak kerjanya cuma diam dan ga berani angkat suara di depan umum baru deh tahu rasa. Perkembangan anak kok dibatasin.
Menjadi seorang ibu yang mengajarkan anak tentang indahnya kehidupan dan seorang ayah yang membentuk anak menghadapi kenyataan dunia memang tidak mudah. Pekerjaan otodidak dan mau ga mau harus profesional alias mampu menjadi orang tua yang baik dan benar.
Ironisnya kalau sudah begini anak yang menjadi korban. Coba bayangkan, anak polos yang bahkan mungkin mereka tidak menginginkan dilahirkan ke dunia ini tetapi terpaksa harus kena imbas dari orang tua yang mereka panggil ayah-ibu, mama-papa, yang mungkin sebenarnya tidak layak mendapat julukan mulia itu. Orang tua selain karena umurnya lebih tua tentu karena pengalamannya berjuta lebih banyak, dan apapun ceritanya mereka pasti pernah jadi anak-anak. Masa belum paham sih dunia anak-anak? Katanya “orang tua”……
Menjawab pertanyaan paling dihindari dari om-tante tadi, mungkin ini cukup menjawab mengapa masih ada keponakan-keponakan anda di negri ini yang masih belum siap menjadi orang tua. Trauma sosial. (*)
BACA JUGA Things I Learned From Living in Jakarta For the Last 5 Years atau tulisan Devi Simbolon lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.