Jalan tol di Lampung memang membuat mobilitas makin kencang. Tapi, ada satu korban yang harus menerima hantaman, yaitu UMKM
Kalau ada yang bilang Jawa adalah kunci, iyain saja, karena pada titik tertentu, itu benar. Benar, karena (pembangunan) infrastruktur semua dipusatkan di Jawa. Yang lain, baru belakangan. Nggak usah ngomongin infrastruktur yang canggih, kayak jalan tol aja, yang ada di benak pasti ya Pulau Jawa.
Sebagai orang yang sering bolak-balik Lampung-Jawa Tengah, saya merasakan betapa nikmatnya jalan tol. Sayangnya ya, saya hanya merasakan hal itu ada di Jawa.
Saat mendengar ada wacana dari presiden untuk membangun jalan tol di Provinsi Lampung, saya bahagia betul. Saya menganggap pembangunan ini bisa menjadi salah satu sumber kemajuan infrastruktur dan mobilitas di daerah saya.
Fast forward, jalan rampung. Bisa ditebak, mobilitas begitu lancar, dan volume kendaraan meningkat. Tapi, ada satu pihak yang jadi korban atas kemajuan tersebut.
Ya, korbannya adalah UMKM.
Daftar Isi
Jalan tol Lampung bikin rumah makan tutup
Perubahan perilaku pengguna jalan di Lampung yang beralih ke tol dan meninggalkan jalan Trans Sumatera, membuat UMKM macam rumah makan harus terkena pukulan berat. Jalanan yang sepi bikin pengusaha rumah makan harus menelan pil pahit kenyataan.
Jalan tol memang membantu mobilitas. Hal ini tak bisa dimungkiri, tapi sebagaimana banyak kemajuan, ia akan memakan korban. Apakah ini harga yang sepadan untuk sebuah pembangunan?
Seperti kota mati
Lampung Selatan memang bukan salah satu kota besar di Indonesia, melainkan salah satu daerah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Selat Sunda, dan Kota Bandar Lampung. Namun, sebagai pintu Pulau Sumatera, bukankah seharusnya kabupaten ini menjadi daerah maju, terutama dari sektor transportasi hingga wisata?
Faktanya, daerah ini tetap biasa-biasa saja. Bahkan, jika kamu sudah meninggalkan Pelabuhan Bakauheni sejauh 2-5 KM, maka kamu akan menemukan simulasi Rock Bottom. Hampir mati karena sepi.
Lampung Selatan itu, sebelum ada tol saja udah sepi. Apalagi ada tol, makin-makin.
Masalah-masalah tak perlu
Sebagai masyarakat yang hidup di daerah Lampung Selatan sejak 24 tahun lalu, saya punya beberapa pengalaman kurang mengenakkan saat mudik menggunakan angkutan umum dari pelabuhan Bakauheni. Banyak sekali, oknum-oknum egois, tamak, aji mumpung, dan suka ingkar janji.
Momen terapes saat dapet angkutan yang ngetem berjam-jam tapi mengancam kita kalau pindah ke angkutan lain. Menurut saya, salah satu faktor ini yang membuat Lampung Selatan semakin menjadi daerah mati, ketidaknyamanan atau ketidaksanggupan pemerintah mengatur angkutan yang nyaman, murah, sekaligus bisa mensejahterakan para sopir angkutan membuat terminal Lampung Selatan jadi tidak diminati masyarakat.
Hasilnya, banyak pelancong yang lebih menggunakan mobil pribadi, atau mobil-mobil angkutan jarak jauh yang melewati jalan tol.
Begal merajalela, dan itu bikin jalan tol ramai
Alasan yang menurut saya lumayan punya faktor besar peralihan pengendara ke jalan tol adalah begal.
Banyak masyarakat yang enggan melintas Jalan Trans Sumatera biasa, karena takut dibegal. Misal tidak ada begal, saya lumayan yakin kalau peralihannya tidak semasif ini. Dan yang jelas, UMKM tidak akan terhantam sekeras ini.
Itu tadi beberapa pendapat saya kenapa jalan tol “membunuh” UMKM, dan penyebab masyarakat atau pelancong lebih tertarik melewati jalan tol. Pembangunan yang hebat, akan punya dampak yang hebat. Sometimes good, sometimes bad, sometimes a bit of both.
Penulis: Anissa Maharani
Editor: Rizky Prasetya