Manusia, segala sesuatunya selalu berhubungan dan bergantung pada manusia lainnya. Pura-pura kuat sendiri pun pada akhirnya banyak di antaranya yang mati konyol. Sematan sebagai makhluk sosial mungkin jadi pilihan “paling terpaksa” bagi manusia. Hidup bertetangga dan berteman menjadi kenyataan sebagai mestinya, meski memang tidak dapat dimungkiri sering kali menguntungkan, tapi yo luwih sering menjengkelkan.
Kehidupan sosial tidak jarang menghadirkan intrik sentimen baik dalam ranah sosial, ekonomi, agama, identitas, bahkan hingga ke ranah fisik sekalipun. Maka, hampir dapat dipastikan bahwa tidak adanya forum gibah atau psywar antar tetangga maupun pertemanan adalah suatu kemustahilan. Tenanan iki, jajal deloken dewe.
Menjadi pil pahit kita pada takdir yang mengharuskan hidup dengan manusia lainnya. Sekalipun Anda mencoba menjadi orang sebaik apa pun dan mengurung diri selama mungkin, tetap saja Anda tidak bisa terlepas dari potensi kena cocoran tetangga atau teman atau bahkan keluarga sendiri sekalipun. Kali ini saya akan bahas perihal komentar orang perihal fisik saya, botak di usia belia.
Akan dengan mudah kita menemukan contoh komentar orang terhadap kondisi fisik tertentu. Misalnya, dulu saya sudah berkumis sejak SMP kelas 1 dan itu juga yang berperan signifikan dalam asal-usul saya sering dipanggil om, pak, pakde, hingga dianggap suami dari ibu saya sendiri ketika berpergian berdua.
Kebangetan, Lur, tapi kadang juga terpingkal sendiri. Ya, soalnya menjadi privilese tersendiri dianggap sudah tua, sering didahulukan hingga dihormati selayaknya orang sesepuh pada umumnya.
Atau sering kali kita juga menemukan komentar orang perihal ukuran tubuh, jerawat, dan lain sebagainya. Emang ya, enak banget kalau ngomentarin fisik orang, tuh! Lantaran saya suka kelewat batas, terkadang juga kelepasan melontarkan komentar perihal fisik meski konotasinya bercanda tetap saja itu sebenarnya salah. Menyedihkan dan itu tidak patut untuk ditiru (ngaplok diri sendiri).
Sejak menempuh pendidikan di tingkat SMA saya sudah mulai merasakan kegatalan dan kerontokan yang luar biasa ditambah banyaknya ketombe di kepala. Apalagi waktu siang bolong keringetan habis main bola, gojos-gojos, sumuk. Wes rasane umup ditambah guatele nemen, Ndes!
Meski saya sudah sering ganti shampo rambut tetap saja hal itu terjadi. Sebelumnya tidak pernah terpikirkan lebih jauh kalau kejadian itu dibiarkan ternyata punya dampak cukup fatal. Yoi, saat ini di bangku kuliah saya baru menyadari bahwa saya menghadapi kenyataan botak di usia muda.
Ternyata saya terlambat, pengaruh gen lebih cepat bereaksi ketimbang beberapa usaha saya untuk meminimalisir kerontokan rambut ini. Benar, bapak saya juga mengalami hal yang serupa (botak), tetapi blio dulu belum terlalu dini mengalami fase kebotakan.
Kadang aja suka menertawakan diri sendiri, kok bisa secepat ini tu loh erupsinya (karena memang sudah saya prediksi saya akan botak, melihat bapak saya juga botak). Bapak pun juga heran saya bisa secepat ini berada pada fase guguran dan erupsi. Bahkan uniknya, morfologi kebotakan saya dan bapak ternyata juga sama, mirip-mirip Jason Statham, lah, kalau disandingkan.
Sindiran, cemooh, olok-olok, dan apalah itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Wareg! Berbagai penjuru mulai dari tetangga, teman, bahkan keluarga maupun orang yang baru pertama kali kenal pun tak jarang melontarkan serangan tajam nan menukik di telinga. “Tapi yo wes ben lah, piye meneh,” jareku sembari ngayem-ngayem.
Mungkin kalau dibuka memori otak ini akan kamu temukan begitu banyaknya prasasti bukti serangan-serangan itu. Menarik kalau dijadikan museum, bisa jadi wahana wisata edukasi bukti kengerian mulut-mulut tiap insan berambut normal.
Namun, di sisi lain ada hal yang patut saya syukuri. Orang tua dan beberapa teman saya juga ada yang tidak berputus asa menyarankan produk ini itu demi keberlangsungan rambut saya. Hingga pada akhirnya saya menyadari bahwa ini semua sudah terlambat dan sia-sia.
Kemudian saya memutuskan membiarkan dan memulai dengan rasa bangga yang baru, menjadi diri saya seutuhnya atas kenikmatan botak yang Allah beri ini. Untung cuma rambut rontok, ngeri aja kalau sampai otak/akhlak yang rontok, jangan sampai ya Allah.
Biasanya dalam menghadapi komentar orang, saya akan menggunakan jurus andalan yaitu menjawabnya dengan, “Maklum, calon profesor.” Atau kalimat lain yang mengandung unsur meredam suasana. Terkadang juga sekalian saya perlihatkan jelas di matanya bak orang Jepang berterima kasih sampai dia susah nahan ketawa sendiri.
Lantaran saya meyakini kalau direspons terlalu serius justru akan amat menyedihkan, baik bagi saya maupun komentator itu sendiri. Saya akan jatuh sedih dan meratapi kebotakan ini. Sedangkan komentator akan sedih dengan serangan balik saya yang bisa saja menujam lebih dalam. Mending saya berprinsip bak Mojok, sedikit nakal banyak akal. Mashokkk!
Pada masa pandemi, justru menjadi titik di mana saya benar-benar terlahir sebagai manusia seutuhnya setelah memutuskan untuk membotaki habis rambut saya. Selain karena saat itu susah nyari tukang potong rambut, saya pikir sekeren apa pun saya potong rambut juga tetap terlihat botak. Hitung-hitung bisa hemat pengeluaran buat potong rambut.
Oh iya, apalagi sekarang mendekati Hari Kanker Sedunia, tepat tanggal 4 Februari nanti. Itu akan jadi momentum luar biasa, semakin mudah mengampanyekan dan menunjukkan ke orang bahwa saudara-saudara kita banyak yang sedang berjuang menghadapi penyakitnya dan butuh dukungan dari kita.
Setelah botak justru kepercayaan diri meningkat drastis dan memulai petualangan-petualangan baru nan menyenangkan. Salah satunya, saya bisa memberanikan diri menulis untuk Mojok tahun lalu dan Alhamdulillah diterima. Pasalnya, sebelumnya meskipun saya suka nulis, tapi takut untuk mempublikasikannya.
Petualangan lain terus berjalan dan menunggu di depan mata serta semakin acuh terhadap orang-orang yang mengomentari kebotakan saya.
“Nanti saya kasih cerita atas petualangan hidup saya selama botak. Semoga kamu juga bisa bertualang, tidak hanya jalan di tempat dan sibuk mengomentari kebotakan saya,” sering kali semangat saya dalam hati dalam melewati jalan terjal botak di usia muda ini.
BACA JUGA Buat yang Udah Lama Pengin Botak, Masa Karantina Adalah Waktu yang Tepat dan tulisan Fernando Galang Rahmadana lainnya.