Jalan Raya Karangkobar Banjarnegara sangat menantang, apalagi di saat hujan.
Tanggal merah menjadi angin segar bagi orang kantoran seperti saya. Mengetahui ada long weekend di pekan ini, berbagai rencana sudah memenuhi kepala saya. Akhirnya, sepulang kerja pada hari Rabu yang lalu, saya mengajak beberapa kawan untuk berkunjung ke salah satu gunung yang berada di dataran tinggi Dieng.
Menuju ke lokasi pendakian ada dua pilihan jalur. Pertama, Dieng via Jalan Raya Karangkobar Banjarnegara. Jalur yang kedua yaitu Dieng via Wonosobo kota. Akhirnya, saya dan teman-teman memutuskan lewat Jalan Raya Karangkobar. Selain lokasinya yang lebih dekat dari rumah saya, salah seorang kawan sudah hafal rute jalan yang hendak ditempuh.
Jalur yang menghubungkan Kecamatan Karangkobar dan dataran tinggi Dieng ini ternyata menantang, bikin pengendara nggak tenang. Kenapa saya bisa beranggapan demikian? Jadi begini, Lur, biarkan saya jelaskan.
Daftar Isi
Pemandangan Jalan Raya Karangkobar Banjarnegara indah, tapi penuh tanah
Setelah semua perlengkapan beres, kami berangkat dari Purbalingga pukul 14.00 WIB. Kami sampai di Jalan Raya Karangkobar Banjarnegara sekitar pukul 15.30 WIB. Azan Asar berkumandang. Akhirnya, kami putuskan untuk istirahat sejenak di sebuah SPBU sembari menunaikan salat Asar. Setelah berbincang sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan di Jalan Raya Karangkobar.
Beberapa hari terakhir, daerah Purbalingga dan Banjarnegara tidak turun hujan. Jadi, saya mengira kalau perjalanan kami akan diiringi dengan sinar mentari yang bersahabat. Kenyataannya, rintik hujan perlahan menghiasi Jalan Raya Karangkobar. Harapan perjalanan yang cerah pun pupus.
Padahal, kalau cuacanya cerah, pengendara yang melintasi Jalan Raya Karangkobar bisa menikmati pepohonan rindang di sisi kiri dan kanan jalan. Pemandangan itu sepaket dengan hawa sejuk yang menyegarkan paru-paru.
Hujan membuyarkan itu semua. Hujan membuat tanah yang berada di sisi kiri dan kanan jalan tersapu masuk ke jalan aspal. Oleh karenanya, jalanan menjadi licin. Berapa kali saya mengerem motor secara mendadak karena terkejut dengan kondisi jalan yang tiba-tiba berubah menjadi licin.
Jalan yang bikin pengendara tertantang dan nggak tenang
Melihat pemandangan hijau menjadi sebuah kemewahan bagi orang seperti saya yang sehari-hari menatap layar laptop. Saya memiliki kebiasaan unik ketika berada di daerah hijau. Setiap melewati daerah yang penuh dengan tanaman rindang, saya selalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan. Bagi saya, cara ini jadi sarana meditasi untuk meluruhkan segala beban pikiran yang hinggap di kepala.
Sayangnya, meditasi kecil-kecilan semacam itu tidak bisa saya lakukan tatkala melintas di Jalan Raya Karangkobar Banjarnegara. Jalan raya yang menjadi penghubung Kecamatan Banjarmangu dan Kecamatan Wanayasa ini dipenuhi dengan liukan tajam. Jalan yang menukik dan meliuk ini membuat tangan saya (yang menggunakan motor matic) harus lihai memainkan rem tangan.
Asal tahu saja, kontur Jalan Raya Karangkobar seperti rambut keriting membuat pengendara tidak tenang. Sedikit saja lalai, petaka akan menimpa. Mau nggak mau, saya harus tetap fokus berkendara dan mengabaikan kesejukan dan rindangnya pepohonan di sepanjang jalan.
Menyalip kendaraan lain sama dengan mempertaruhkan nyawa
Sebelum berangkat, kami sudah melakukan estimasi waktu rute yang hendak ditempuh. Saya kira pukul 16.00 WIB rombongan ini akan sampai di kawasan Dieng. Nyatanya, kondisi jalan tidak mendukung. Lalu-lalang kendaraan yang terpantau ramai membuat saya harus bersabar.
Entah berapa kali dan berapa lama saya harus mengekor di belakang kendaraan roda empat. Asal tahu saja, jalanan yang berkelok menyulitkan saya untuk menyalip mobil atau truk yang ada di depan saya. Namun, beberapa kali saya tetap nekat untuk menyalip karena sudah lelah mengekor di belakang kendaraan lain.
Saat menyalip itulah adrenalin saya benar-benar terpacu. Saya masih sayang nyawa, tapi kalau tidak menyalip, berjam-jam saya akan menghirup asap hitam dari kendaraan di depan saya. Pada saat itu, pilihannya hanya dua, tetap mengekor atau atau menyalip dengan segala resiko. Saya memilih yang kedua.
Itu pengalaman saya melewati Jalan Raya Karangkobar Banjarnegara. Sensasinya benar-benar nggak terlupa. Kalian juga pernah melewati jalan itu? Sensasi apa yang kalian rasakan ketika melewatinya?
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Jalan Banyu Urip Surabaya Adalah Simulasi Neraka, Tidak untuk Pengendara Motor Cupu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.