Jalan Raya Dieng-Kejajar bukan untuk pengendara yang kesabarannya setipis tisu.
Pada Rabu lalu, untuk pertama kalinya, saya memutuskan untuk mendaki salah satu gunung yang berada di dataran tinggi Dieng, yaitu Gunung Prau. Kebetulan, saya dan tiga orang kawan turun dari puncak gunung pada kamis siang. Tepat pukul 12.30 kami tiba di basecamp pendakian Gunung Prau via Patak Banteng. Seusai beres mengurus registrasi kedatangan, saya pun memutuskan untuk solat dan bersih-bersih di luar area basecamp. Tepat pukul 14.00, kami melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Pada artikel sebelumnya, saya sudah menuliskan betapa menderitanya melalui Jalan Raya Karangkobar. Jadi, pada perjalanan pulang ke rumah kali ini, kami memutuskan untuk lewat jalur Wonosobo kota. Artinya, saya harus melintasi Jalan Raya Dieng-Kejajar.
Ternyata, jalur tersebut tidak jauh berbeda dengan Jalan Raya Karangkobar. Ibarat kata, kedua jalur tersebut adalah saudara kembar yang hanya berbeda kabupaten saja. Jalan Raya Dieng-Kejajar ini membuat saya mengelus dada sembari mengeluh. Bahkan, sesekali waktu saya sampai misuh. Kenapa bisa begitu?
Daftar Isi
#1 Jalan Raya Dieng-Kejajar dipenuhi pengendara lokal yang superior dan angkuh
Hujan yang sedari tadi rintik di dataran tinggi Dieng sudah mereda tatkala saya melintasi Jalan Dieng-Kejajar. Meski demikian, jejak hujan masih membasahi aspal yang mengeluarkan bau petrikor. Saat saya sedang memacu kendaraan dengan santai dan elegan, tiba-tiba ada sebuah mobil berplat nomor AA yang membunyikan klakson. Klakson tersebut memberi tanda si pengendara hendak mendahului saya.
Tanpa pikir panjang, saya pun menepikan kendaraan dan mempersilahkan mobil berwarna putih tersebut untuk melintas. Tak lama berselang, mobil telah menyalip kendaraan saya dengan kecepatan tinggi. Tidak sampai disitu, mobil bak yang sedang tidak memuat barang tersebut dengan cekatan menyalip dua kendaraan roda empat di depan saya sekaligus. Saya hanya bisa melihat kejadian itu sambil geleng-geleng kepala.
Bayangkan saja, dalam kondisi Jalan Dieng-Kejajar yang menurun dengan kemiringan sekitar 40 derajat, mobil tetap menyalip dengan kecepatan tinggi. Padahal, hanya berjarak 8 meter dari jalan yang menurun tersebut ada sebuah tikungan tajam. Saya paham betul, kalau mobil itu adalah milik warga lokal. Tapi, ya mbok tolong, jangan ugal-ugalan. Lagian, kalau sampeyan celaka, pengendara lain juga bisa kena getahnya lho.
#2 Mobil yang parkir kendaraan di tanjakan memang ngajak ribut
Tak jauh dari tikungan tajam yang meliuk seperti huruf C di Jalan Raya Dieng-Kejajar, saya berpapasan dengan sebuah mobil yang berhenti tatkala sedang menanjak. Saya mengira kalau mobil tersebut sedang mogok. Nyatanya saya tidak mendapati batu atau kayu yang mengganjal di ban mobil sedan tersebut.
Rasa heran dalam diri saya semakin memuncak tatkala kemacetan di belakang mobil tersebut mengular. Meski tak begitu panjang, tapi kemacetan cukup mengganggu lalu-lalang kendaraan Jalan Dieng-Kejajar. Sudah tau jalannya menanjak dan sempit, kok masih sempat parkir di tengah jalan.
#3 Rem motor yang sedikit bermasalah adalah petaka nyata di Jalan Raya Dieng-Kejajar
Sebetulnya, sebelum melakukan perjalanan ini, saya setengah yakin dengan kondisi motor. Bukan karena saya tidak rajin servis, saya merasa tidak yakin lantaran kontur jalan yang hendak ditempuh. Selain itu, terakhir kali servis motor, saya hanya disarankan untuk ganti oli saja. Ya mau gimana lagi, wong mesinnya aja masih oke, kok.
Namun, perjalanan berangkat yang dipenuhi tanjakan dan turunan curam membuat kondisi rem motor sedikit mengendur. Ada ketakutan di benak saya jika sampai kampas rem motor habis. Kalau habis, bisa blong ini motor.
Saya pun tidak mau gegabah. Di sepanjang jalan ini, saya menekan tuas rem dengan halus. Menekan tuas rem dengan mendadak saya minimalisir. Tujuannya, agar piringan cakram motor tidak semakin panas. Untung saja, hingga saya melewati Jalan Dieng-Kejajar, rem motor masih sehat wal afiat.
Beberapa kejadian yang dialami tersebut membuat saya mengeluh di sepanjang jalan. Pokoknya, Jalan Raya Dieng-Kejajar ini nggak cocok buat kalian yang nggak suka tantangan, bisa-bisa mengeluh sepanjang jalan. Apalagi buat kalian yang gampang misuh. Bisa jadi, ada puluhan hingga ratusan hewan kaki empat yang akan keluar dari mulut kalian dengan spontan. Nggak percaya? Jajal bae, Sedulur!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Jalan Alternatif Magelang-Boyolali antara Merbabu dan Merapi, Indah Sekaligus Menantang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.