Jalan Provinsi Lumajang-Jember, Jalan Terburuk di Jawa Timur, Jauh Lebih Menyebalkan ketimbang Jalan di Madura

Jalan Provinsi Lumajang-Jember, Jalan Terburuk di Jawa Timur, Jauh Lebih Menyebalkan ketimbang Jalan di Madura

Jalan Provinsi Lumajang-Jember, Jalan Terburuk di Jawa Timur, Jauh Lebih Menyebalkan ketimbang Jalan di Madura

Saya kira jalan di Madura sudah paling hancur se-Jawa Timur, ternyata jalan provinsi Lumajang-Jember via Jatiroto lebih remuk!

Semasa berkuliah, saya tidak ragu untuk mengatakan jalan provinsi di Madura sebagai jalur terburuk di Jawa Timur. Sepertinya bukan saya saja yang akan mengatakan itu. Orang luar yang menapakkan kakinya di Madura, juga akan mengatakan kalau  jalan provinsi di Madura sebagai jalur terburuk di Jawa Timur. Buktinya, beberapa teman saya yang pertama kali menginjakkan kaki di Madura, kerap mengeluh sama kondisi jalannya. 

Tapi itu dulu. Penilaian saya mengenai keburukan jalan provinsi Madura harus direvisi. Sekarang sudah banyak yang diperbaiki dan diperlebar. 

Jadinya kalau sekarang ada yang bertanya tentang jalan terburuk di Jawa Timur, saya tidak akan lagi menjawab jalan provinsi di Madura. Sekarang, saya akan menjawab jalan provinsi Lumajang-Jember via Jatiroto. 

Semenjak mama saya perawatan di salah satu salon di Jember, saya sering ke kabupaten tersebut setiap pulang kampung ke Lumajang. Terhitung sejak tahun 2024 sampai 2025, sudah lebih dari tiga kali saya menyetir mobil pulang-pergi ke Lumajang-Jember. 

Dengan intensitas yang terjadi, membuat saya merasakan sendiri remuk redam kondisi jalannya. Saya jamin, siapa saja yang akan lewat jalan Lumajang-Jember via Jatiroto, emosinya bakal meledak-ledak. Bahkan bisa menambah dosa. Gimana nggak mau dosa, soalnya rasa ingin mengumpat seperti makanan yang menggiurkan. 

Jalan Provinsi Lumajang-Jember bikin merinding

Ketika melintas di jalan provinsi Lumajang-Jember bagian Jatiroto, pengendara bakal disuguhi keadaan yang merinding. Bukan karena hal mistisnya, melainkan kondisi topografinya yang bikin hati dan pikiran tak nyaman. Pasalnya, jalan di sisi utara ada jurang yang curam. Sedangkan jalan di sisi selatan, ada sungai yang menganga lebar. 

Bisa dibayangkan betapa mencekamnya kondisi perjalanan saat menjadi sopir. Terkadang, ketika saya melintasi jalan Jatiroto, ada rasa geli di perut karena melihat kanan dan kiri ada ruang yang membahayakan, bukan ruang indah seperti lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung”. 

Sebenarnya kehadiran jurang dan sungai menjadi tidak berbahaya kalau ada pagar pembatasnya. Nah masalahnya, sepanjang perjalanan tidak ada pagar pembatas. Jadi, kalau misalkan jatuh ke jurang, tubuh siap dirobek oleh bebatuan.  Atau kalau jatuh ke sungai, siap-siap bernafas di bawah tekanan air. 

Entah mengapa pemerintah daerah Lumajang tidak memberikan pagar pembatas untuk memberikan rasa aman dan nyaman ke pengendara. Padahal di sepanjang jalan, kondisi aspalnya tidak baik. Di setiap jengkalnya, aspalnya bergelombang dan berlubang. Belum lagi ada dua rel kereta api yang nggak aktif, tetapi tidak diambil. Apalagi warna relnya samar-samar dengan warna aspal jalannya. Ditambah lagi kalau malam hari minim penerangan.

Sebenarnya aman-aman saja kalau pengendara yang melintas melajukan kendaraannya dengan pelan. Masalahnya, hampir setiap pengendara yang saya temui di jalan provinsi Lumajang-Jember, melajukan kendaraannya dengan kencang. Sehingga, ada potensi pengendara terpental ke sisi jurang atau sungai karena terhantam jalan yang tak rata atau rel kereta api. 

Jadi bisa dibayangkan, bayang-bayang adegan berbahaya di sepanjang lintasan yang bikin mulut kita ingin misuh-misuh karena rasa tegang pada sekujur tubuh. 

Jember lebih bikin merinding

Itu masih secuil faktor penyebab munculnya rasa kesal di jalan provinsi Lumajang-Jember. Kekesalan yang lebih akut lagi, waktu masuk jalan Kabupaten Jember. Memang, kondisi jalannya tidak ada jurang atau sungai di sisi kanan dan kiri. Tapi, jangan merasa senang dulu karena cobaan sesungguhnya lebih berat. 

Kalau di jalan Lumajang, mobil masih bisa menyalip kendaraan lain dengan mudah. Nah, jangan berharap hal itu bisa dilakukan saat masuk Jember. Soalnya, kondisi jalan ketika baru masuk Jember sampai kota, ukurannya sempit. Selain sempit, kondisi lalu lintasnya padat. 

Bagi pengendara sepeda motor, tentu tidak ada soal karena bisa meliuk-liuk. Kalau mobil? Jangankan menyalip, masuk persneling tiga saja susah kalau di depan ada truk atau bus. 

Kalau dipikir-pikir masih lebih lebar jalan di Madura. Buktinya, walaupun ada truk atau bus di depan, saya masih bisa menyalip dengan mudah. Sedangkan jalan di Jember, untuk menyalip saja, saya biasanya butuh waktu lima menit paling sebentar kalau kondisi jalanan sangat ramai. 

Ketika kondisi jalan ramai, di jalur yang berlawanan, kuantitas kendaraan padat. Mau nggak mau harus sabar untuk menyalip kendaraan, menunggu sepi terlebih dahulu di jalur yang berlawanan. Dan itu momen yang sulit didapatkan. 

Selain sempit, faktor lainnya adalah ada bagian jalan provinsi Lumajang-Jember yang topografinya berkelok, menanjak, dan menurun. Kondisi tersebut semakin mempersulit mobil untuk menyalip karena di jalanan menanjak, menurun, dan berkelok tidak diperbolehkan menyalip. 

Makanya nggak heran kalau keluarga saya yang menikah dengan orang Jember, sering sambat kalau PP Lumajang-Jember. Katanya, kondisi perjalanannya bikin pegal dan letih. 

Kata keluarga saya, itu belum seberapa. Katanya, kalau sudah liburan jumlah kendaraan tambah padat. Apalagi ketika lebaran, katanya bisa macet berjam-jam untuk sampai ke kota. 

Kok nggak bikin flyover sih?

Apa yang dikatakan keluarga saya ada benarnya. Tahun kemarin saat liburan sekolah, saya pergi ke Jember. Yang biasanya untuk menyalip butuh waktu lima menit, ternyata lebih dari lima menit karena dari saking sesaknya kondisi lalu lintas.  Maka dari itu, saya sering misuh di hati. Soalnya kesulitan mendahului kendaraan, bukan hanya bikin capek secara fisik, tetapi juga capek secara mental. 

Puncak kekesalan saya sama jalan di Jember adalah sambat ke teman yang berkuliah di Jember. Saya sambat kenapa jalan di Jember kok tidak diperlebar saja. Ternyata, kata teman saya, sempat ada wacana dibuat flyover di jalan perbatasan memasuki kota. Tapi entah kenapa, kata teman saya tidak jadi direalisasikan. Padahal, kehadiran flyover bisa membantu untuk memecah kepadatan arus lalu lintas. 

Entah apa yang ada di benak pemerintah daerah Jember, kenapa sampai sekarang tidak ada solusi mengenai kondisi jalan yang sempit? Begitu juga dengan pemerintah daerah Lumajang, kenapa tidak meningkatkan rasa aman dan nyaman di jalan Jatiroto? 

Ini semakin menambah overthinking saya pada pemerintah daerah, apakah mereka tega melihat pengendaranya kesusahan dan menanggung risiko besar selama di perjalanan? Apakah mereka juga tega melihat pengendaranya menanggung dosa besar karena sering misuh waktu melintasi kondisi jalan yang nauzubillah?

Kalau mereka gak tega, harusnya segera mencari solusi dan membenahinya. Kalau tega, saya nggak kaget, kok. Namanya juga pemerintah! 

Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Warga Bangkalan Madura Pilih Swadaya Perbaiki Jalan Rusak karena Sudah Muak Menunggu Pemkab

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version