Kalau kamu pernah melintasi jalur selatan Jawa, khususnya dari Purworejo (Jawa Tengah) menuju Kulon Progo (Yogyakarta), pasti tahu sensasi uniknya. Sama-sama jalan nasional, tapi kualitasnya terasa jomplang banget. Begitu melewati perbatasan, rasanya kayak pindah dunia hanya dalam beberapa detik. Dari jalan tambalan penuh gelombang, tiba-tiba jadi mulus dan lega.
Begitu masuk wilayah Purworejo, pengendara biasanya langsung sadar bahwa perjalanan ini butuh kesabaran lebih. Aspalnya penuh tambalan, seperti jalan yang sudah sering diperbaiki tapi tidak pernah tuntas. Efeknya, permukaan jalan bergelombang, bikin kendaraan harus ekstra hati-hati.
Naik motor rasanya kayak main roller coaster mini, shockbreaker bunyi tiap kali kena gundukan, badan ikut goyang kanan-kiri. Naik mobil pun sama saja, suspensi dipaksa kerja keras apalagi kalau bawa muatan berat.
Perbedaan ini tentu saja bikin saya heran. Gini lho, kan jalur ini jalan nasional. Agak aneh kalau perbedaannya terasa jomplang. Jalan nasional itu masuknya jalur strategis, jadi agak aneh kalau perbedaannya jomplang. Justru karena sudah punya status “nasional”, harusnya kualitasnya sama. Begitu kan seharusnya?
Makin dilihat, makin aneh
Makin dilihat, makin aneh rasanya saya melihat jalan nasional Purworejo. Menurut saya, Lebarnya relatif sempit. Kalau pas ada truk besar dari arah berlawanan, motor-motor terpaksa minggir rapat ke pinggir. Marka jalan ada, tapi kadang samar karena ketutup tambalan aspal. Jujur aja, jalan Purworejo lebih terasa kayak jalur bertahan hidup ketimbang jalan nasional.
Nah, begitu ban menyentuh aspal Kulon Progo, atmosfernya langsung beda. Aspal mulus, permukaan rata, marka jalan jelas kelihatan. Jalannya terasa lebih lebar, bikin pengendara bisa bernapas lega. Bahkan kalau ketemu truk besar pun, motor atau mobil lain masih punya ruang untuk melaju tanpa harus mepet pinggir.
Di sini, perjalanan terasa lebih tenang. Kendaraan lebih awet, pengendara lebih santai, dan risiko kecelakaan karena gelombang jalan jadi jauh berkurang. Jalan Kulon Progo seolah membuktikan bahwa jalan nasional memang seharusnya nyaman, aman, dan terawat.
Jalan nasional Purworejo-Kulon Progo begitu timpang
Yang paling menarik adalah momen saat melewati perbatasan Purworejo–Kulon Progo. Bedanya langsung terasa, bahkan tanpa harus menengok papan nama provinsi. Dari sempit, bergelombang, penuh tambalan di Purworejo, tiba-tiba berganti mulus dan lebar di Kulon Progo. Transisinya terlalu drastis untuk diabaikan.
Sering kali orang yang baru pertama kali lewat spontan berkomentar, “Lho, kok beda banget ya begitu masuk Jogja?” Memang benar, perbedaan lebar jalan langsung bikin kaget. Di Purworejo, dua kendaraan besar berpapasan saja sudah bikin deg-degan. Tapi di Kulon Progo, jalurnya terasa lapang, cocok buat semua kendaraan.
Fenomena ini jelas menunjukkan bahwa istilah “jalan nasional” tidak otomatis berarti kualitasnya seragam. Faktanya, kondisi jalan tetap bergantung pada bagaimana tiap daerah mengelola dan merawatnya. Purworejo dengan tambalan dan gelombangnya bikin orang sering mengeluh, sementara Kulon Progo bisa jadi contoh bagaimana jalan nasional seharusnya.
Jadi, meski statusnya sama-sama jalan nasional, kualitasnya jelas beda kelas. Purworejo lebih cocok dijadikan jalur latihan suspensi, sementara Kulon Progo layak disebut jalan sirkuit. Perbedaan ini mungkin sederhana, tapi cukup untuk menggambarkan bagaimana standar pembangunan infrastruktur bisa terasa timpang hanya dalam hitungan meter saja.
Penulis: Riko Prihandoyo
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















