Nggak ada habisnya ghibah Jalan Gejayan. Pagi dan sore, di jam sibuk, Jalan Gejayan adalah ruas jalan yang begitu brengsek. Khususnya di dua ujung jalan ini, yaitu perempatan ringroad Condongcatur dan Pasar Demangan. Penyempitan jalan karena parkir mepet trotoar menjadi penyebab. Selain karena lalu lintas Jogja pada umumnya memang menyebalkan.
Pasar, warung tenda yang buka di atas trotoar, dan warung viral menjadi beberapa spot kemacetan. Sudah begitu, rambu larangan parkir tidak punya taji. Menyedihkan.
Daftar Isi
Kurangnya fasilitas parkir di Jalan Gejayan
Menurut saya, salah satu sumber kemacetan adalah tidak adanya lahan parkir yang memadai. Mungkin hanya kampus dan sekolah yang punya lahan parkir ideal. Selebihnya, mulai dari pasar, tempat perbelanjaan, sampai rumah makan nggak ada lahan parkir yang memadai.
Akibatnya, ya kamu bisa menebak, pemilik kendaraan “terpaksa” memarkir kendaraannya di pinggir jalan, mepet trotoar. Dan, sudah barang tentu, terjadi penyempitan jalan dan membuat arus lalu lintas terganggu.
Tebak siapa yang paling terganggu dengan keadaan ini? Bukan, bukan pengguna motor, melainkan pejalan kaki! Saking ramainya, setiap harinya, ada saja motor, mobil, sampai warung tenda yang “parkir” di trotoar. Padahal, trotoar adalah hak pejalan kaki.
Baca halaman selanjutnya: Gambaran semrawutnya universe Jogja.
Tidak ada lahan lagi
Kenapa tidak ada “lahan parkir resmi” di Jalan Gejayan? Ya karena, pertama, model parkir terpusat begini nggak populer di Jogja. Kedua, nggak banyak masyarakat di Jogja yang menjadikan kendaraan umum kayak Trans Jogja sebagai budaya. Ketiga, ya nggak ada lahan lagi untuk membikin pusat parkir resmi!
Coba saja kamu jalan kaki dari ringroad Condongcatur sampai Pasar Demangan. Jalan saja pelan-pelan. Nah, coba amati setiap jengkal jalan di kanan maupun kiri. Apakah kamu bisa menemukan sebuah lahan yang cukup besar dan ideal untuk menjadi bangunan parkir tersentralisasi? Nggak bakal nemu!
Kalau ada lahan kosong, pasti akan berdiri sebuah bangunan sebagai tempat usaha. Lagian, misal, nih. Ada lahan kosong di tengah Jalan Gejayan. Misal di dekat Mie Gacoan dan oleh pemerintah dijadikan bangunan parkir terpusat 7 lantai, apakah kamu kamu parkir di sana? Saya kok ragu.
Kamu mau parkir di sana padahal kamu lagi pengin ke Warung Tik Tok dekat Pasar Demangan? Mau jalan kaki sejauh itu? Apakah ada kendaraan umum yang bisa dipakai dari dekat Mie Gacoan ke Warung Tik Tok? Nunggu Trans Jogja? Nggak mungkin terjadi!
Kenapa jadi semrawut begini? Ya karena sejak awal, pemerintah Jogja maupun Sleman tidak memikirkan tata kota di Jalan Gejayan. Izin hotel tiba-tiba muncul dengan mudah. Warung yang bikin parkir memenuhi jalanan nggak ditertibkan. Ya mau gimana lagi.
Kalau ada masalah di sebuah kota atau wilayah, saya sering dengar kalimat begini: “Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan peran aktif masyarakat. Karena masyarakat juga harus punya kesadaran bla bla bla.”
Halah. Kalau misalnya tata kota di Jalan Gejayan benar-benar dirancang untuk “manusia”, masyarakat pasti dengan senang hati nurut. Tata kota di Jalan Gejayan, dan mungkin di seluruh Jogja, dirancang untuk bisnis semata. Makanya, masalah parkir nggak dipikirkan banget. Sudah begitu, nggak ada sanksi tegas kepada warung atau bentuk usaha yang bikin macet, kok.
Mungkin, Jalan Gejayan adalah secuil dunia yang menggambarkan semrawutnya universe bernama Jogja. Karena saya tahu, di belahan lain Jogja, masalah parkir liar lebih parah. Kalau sudah begini, ya tinggal nikmati saja semua. Mau apa lagi?!
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.