Melewati Jalan Daendels pada siang hari adalah simulasi melewati neraka
Saya pernah melewati jalur ini di siang hari. Waktu itu, kebetulan perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Purwokerto. Saya dan tiga orang kawan berangkat sekitar pukul 11.00 dari Yogyakarta. Kami tiba di Jalan Daendels saat waktu sudah menunjukan pukul 12.00. Matahari sedang berdiri tepat di atas ubun-ubun. Sepanjang perjalanan saya hanya bisa misuh lantaran kondisi jalan yang panas. Ora umum pnase, Lur!
Bahkan, kawan saya sengaja untuk mampir ke salah satu toko aksesoris motor hanya untuk membeli sarung tangan sebelum melewati Jalan Daendels. Ia khawatir cuaca yang panas di sepanjang jalur ini bisa membuat tangannya menjadi gosong.
Saya sampai berujar dalam hati bahwa melintasi Jalan Daendels di siang hari adalah simulasi melewati neraka. Meskipun saya nggak tau neraka sepanas apa, tapi tidak ada kata yang pas untuk menggambarkan kondisi cuaca Daendels di siang hari kecuali kata neraka.
Motor bisa bergoyang dan terpelanting jika tidak waspada!
Saya pernah mengemudikan motor Vario 150 melintasi Jalan Daendels bersama seorang kawan. Waktu itu, saya memacu kendaraan dengan kecepatan 90 kilometer per jam. Saya pun masih percaya diri untuk menaikan kecepatan hingga 100 kilometer per jam. Namun, saat hendak menyentuh angka 100, saya berpapasan dengan sebuah truk yang memacu kendaraan dengan kencang. Tanpa disangka, motor yang saya kendarai bergoyang dan sedikit oleng karena sapuan angin dari truk yang lewat. Untung saja kedua tangan saya mampu memegang setang motor dengan erat sehingga masih stabil.
Setelah kejadian itu, saya pun merasa waswas manakala berpapasan dengan kendaraan besar yang memacu kecepatan di atas rata-rata. Kalau saya memacu motor dengan maksimal dan berpapasan dengan truk atau bus yang sama cepatnya, bukan tidak mungkin motor yang saya kendarai bisa terpelanting. Makanya, meski kontur Jalan Daendels hanya lurus-lurus saja, bukan berarti pengendara tidak mengalami kendala yang berarti.
Itulah alasan Jalan Daendels menjadi jalan menyebalkan yang mending nggak usah dilalui. Jadi, apakah kamu masih mau melintasi jalan satu ini? Kalau saya sih ogah banget, ya!
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya