Tujuh tahun tinggal di Jakarta ternyata belum cukup membuat saya sepenuhnya mengenal kota ini. Meski sudah lama menetap di Jakarta, perbedaan Jakarta Utara dengan wilayah lainnya tetap saja mengejutkan bagi saya. Bagi saya, Jakarta Utara adalah wujud nyata quote “Jakarta itu keras”.
Ketika saya memutuskan pindah ke Jakarta Utara sebab urusan pekerjaan, saya dibuat kaget setelah Bus Transjakarta membawa saya dari Bundaran Senayan menuju Tanjung Priok. Deretan kontainer berisi barang impor nangkring membentang sepanjang pelabuhan nomor wahid di Indonesia itu. Pemandangan ini mengingatkan saya pada adegan seru dan beringas dalam film-film aksi berlatar kontainer seperti Deadpool, Iron Man 3, Lethal Weapon 2, dan Pacific Rim.
Belum lagi lalu lintas yang padat oleh hilir mudik truk-truk besar dengan ukuran roda yang besarnya tidak masuk akal. Membuat siapa saja yang melintasi jalanan itu ingin segera banyak-banyak mengucap istighfar.
Jakarta Utara memang mengerikan
Tidak cukup sampai di situ, di Jakarta Utara juga terdapat fenomena rumah-rumah kontrakan yang lebih menyerupai kandang burung dara daripada sebuah bangunan yang layak dihuni manusia. Di wilayah Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan misalnya. Kontrakan dan kos-kosan dibuat ala kadarnya saja, dengan material dari kayu dan dinding berbahan triplek serta berbentuk sekat-sekat sampai dua lantai. Apa tidak kebablasan nekat? Yo, nekat banget.
Kondisi jalanan di Beting Remaja, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja juga masih berupa bekas jalan beton yang rusak dimakan usia sehingga bebatuannya ada di sana-sini. Jauh dari gambaran Jakarta yang ada di benak kita semua yang gemerlap dan mewah.
Belakangan, saya juga mengamati, di Kawasan Penjaringan dan Cilincing. Banyak berdiri pabrik dan gudang-gudang penyimpanan yang luput memperhatikan keselamatan para pekerjanya. Mereka bekerja dengan hanya mengenakan kaos dan celana pendek saja, tidak safety dan tentu saja dibayar dengan upah yang murah.
Sepertinya, tujuh tahun kemarin saya keliru menyematkan predikat “Jakarta Keras”. Padahal sepanjang hari cuma menetap di Jakarta Pusat atau sesekali bertandang ke Jakarta Selatan. Bermain-main sekitaran Sarinah sampai Taman Suropati, yang sepanjang mata memandang berdiri gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah megah yang harganya juga selangit. Fasilitas jalanannya juga mulus dengan trotoar yang ramah pejalan kaki serta disabilitas. Saya menjadi sangat malu sendiri tatkala merasa pongah bisa survive di Jakarta yang keras menurut definisi saya yang lalu.
Tempat yang tepat untuk membentuk mental
Konon, Tanjung Priok dan sekitarnya masyhur dengan label keras, sebab letak geografisnya di pesisir. Terdapat pelabuhan sebagai pintu masuk orang-orang dari segala penjuru yang hendak menuju ke Jakarta. Tempat berkumpulnya orang yang mau buang duit dan orang yang mencari duit, serta beragam latar belakang lainnya. Namun di saat yang sama, minimnya kesempatan orang asli Priok untuk mengakses ekonomi di tanah kelahiran mereka membuat ketimpangan bukan omong kosong belaka.
Berita penemuan mayat, tawuran, bajing loncat, dan perkelahian sudah menjadi kabar yang biasa. Mereka cuma bakal menjawab, “Oh, yang di sono.”
Saran saya, buat siapa saja yang mau merasakan kerasnya Jakarta, menetaplah sebentar di Jakarta Utara. Tanjung Priok, Cilincing dan Penjaringan siap memberikan sensasi pengalaman kerasnya hidup di Jakarta. Sebagai informasi tambahan, jangan lupa mempersiapkan tubuh yang sehat, mental yang kuat, dan seminimalnya sedia BPJS Kesehatan untuk jaga-jaga, itu pun kalau punya.
Penulis: Lucky Maulana Azhari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kamu Bilang Jakarta Keras? Sini Maen Dulu ke Tanjung Priok