Jagat Sinema Bumilangit vs Satria Dewa Universe. Superhero Local Pride Mana yang Lebih Keren?

Jagat Sinema Bumilangit satria dewa universe gundala mandala gatotkaca joko anwar hanung bramantyo superhero lokal mojok.co

Jagat Sinema Bumilangit satria dewa universe gundala mandala gatotkaca joko anwar hanung bramantyo superhero lokal mojok.co

Kemarin Gundala dari Jagat Sinema Bumilangit tampil perdana di SCTV setelah tahun lalu Gundala tampil pertama kali di layar lebar. Buat yang belum pernah nonton, Gundala ini film tentang superhero (atau jagoan) yang diangkat dari komik terkenal karya Hasmi. Bedanya di film ini diperlihatkan momen dimana alurnya pisah dari komik aslinya.

Disutradai oleh Joko Anwar, film ini tampil dengan nuansa “dark” ala Batman keluaran DC. Bahkan kalau lupa sama judulnya, bisa-bisa mikir ini film dengan genre distopia macam Foxtrot Six. Daripada dibahas terlalu panjang di sini mending nonton langsung aja. Yang jelas secara umum Gundala sudah menjalankan peran yang cukup sebagai pembuka Jilid 1 Jagat Sinema Bumilangit (JSB).

Lho..lhoo…lhooo

Pembuka? Benar sekali pembuka. Jadi Gundala yang kita saksikan ini adalah film yang dirilis oleh Bumilangit Studio yang memegang lisensi atas sekitar 1.100 karakter jagoan dan musuhnya. Jumlah karakter yang banyak sekali ini adalah ciptaan para legenda komikus Indonesia. Nah Bumilangit sendiri mengadopsi konsep Jagat yang serupa dengan Universe yang diusung Marvel atau DC. Jadi para jagoan bisa saling bertemu di cafe, main poker atau karambol bareng di pos ronda.

Masalahnya, ternyata tidak semua jagoan itu lahir di waktu yang sama. Secara umum yang tua-tua macam Mandala, Si Buta Dari Gua Hantu, masuk ke golongan pendekar sedangkan yang masih muda yang hidup di masa sekarang masuk ke golongan jagoan. Mungkin Gundala sama Godam bisa aja taruhan uno dari sore sampai dini hari, tapi Si Buta Dari Gua Hantu susah dipaksa ikutan. Beda umur, beda zaman, ra nyambung obrolane.

Untuk Jilid 1 JSB akan berfokus sama dua golongan itu. Tapi karena terlalu banyak tokoh maka pembagiannya harus lebih jauh lagi dan dibuat lah empat periode: Legenda, Jawara (yang isinya pendekar, Patriot (yang isinya jagoan sekarang), dan Revolusi.

Pembuatan film Gundala bukan proses yang satu kali tembak gol. Panjangnya proses bahkan lebih lama dari skripsimu yang belum kamu sentuh itu, buruan woy temenmu udah pada lulus.

Film ini asalnya sempat dipasrahkan ke tangan Hanung Bramantyo, tepat sekali, sutradara film Bumi Manusia. Sabar ya Mas Hanung, kalau jodoh nggak kemana kok.

Panjangnya proses yang terjadi dapat dibilang cukup terbayar. Gundala menjadi salah satu film lokal dengan penjualan tertinggi di tahun 2019. Walaupun masih kalah dari filmnya Iqbal CJR

Entah sengaja entah tidak, Gundala dirilis setelah Avengers: Endgame yang merupakan penutup Phase 3 dari MCU. Hal ini berarti baik Jilid 1 JSB maupun Phase 4 MCU akan tayang dalam waktu yang sama. Kenapa menarik, karena pasca Endgame MCU akan mengalami perombakan yang cukup besar. Yang paling terlihat adalah ada tokoh pentingnya yang meninggal dan pensiun yang berarti di masa depan The Avengers akan diisi oleh sosok-sosok baru. Selamat jalan Captain America :((

Hal ini juga berarti bahwa Marvel perlu usaha lagi untuk mempromosikan tokoh-tokoh barunya nanti. Sebenarnya akan jadi menarik bila kita bisa melakukan perbandingan penjualan tiket marvel pasca Endgame, tapi karena pandemi yang melanda maka tahun ini belum ada film baru yang tayang.

Satu hal yang dapat kita lihat yaitu Bumilangit Studio memiliki kesempatan untuk turut mewarnai layar lebar Indonesia dan dunia di ranah superhero. Tak menutup kemungkinan bila film selanjutnya sukses, maka mereka dapat merebut pasar Indonesia.

Bumilangit tidak akan sendirian mewarnai perfilman Indonesia. Ada juga Satria Dewa Studio dengan Satria Dewa Universe mereka yang juga turut hadir dengan superhero mereka. Perbedaan yang cukup mencolok antara kedua studio ini adalah Satria Dewa tidak berangkat dari cerita komik.

Mereka membuat dunia mereka sendiri yang mengangkat cerita yang lebih kuno lagi yaitu dunia wayang. Dalam kanal YouTube yang mereka miliki, ditunjukkan bahwa perseteruan antara Pandawa dan Kurawa masih berlanjut hingga saat ini. Titisan para Kurawa yang dikendalikan oleh Aswatama adalah sumber angkara murka di dunia. Lawannya tentu saja titisan para Pandawa.

Bila dibandingkan dengan Bumilangit, Satria Dewa terasa lebih mirip dengan serial Percy Jackson karya Rick Riordan yang memiliki latar mitologi yunani. Satria Dewa akan segera hadir dengan film pertama mereka yang berjudul Gatotkaca. Sama seperti Gundala, produksi Gatotkaca juga menjalani proses yang panjang.

Trailer dan teaser yang baru saja rilis merupakan versi terbaru yang berbeda dari yang dulu sempat keluar. Sayang sekali kita belum akan melihat film ini tayang dalam waktu dekat. Oh iya, sutradara untuk film Gatotkaca adalah Hanung yang kita bahas tadi. Bener kan kalo jodoh nggak kemana.

Perbedaan yang mencolok antara basis cerita JSB dan SDU membuat persaingan yang mungkin muncul antara keduanya tidak perlu kita pandang sebagai DC vs Marvel Indonesia. Paling tidak mereka tidak perlu dibagi jadi dark vs colorful.

Biarlah nanti alur cerita yang menentukan harus dibuat seperti apa filmnya. Kompetisi juga bagus agar masyarakat bisa ikut tahu dan berpartisipasi dalam #localpride versi perfilman Indonesia. Fastabiqul Khoirot kalo kata teman saya. Mendobrak monopoli Marvel dan DC tentu saja tidak mudah, sehingga perlu usaha yang luar biasa.

Kedua studio ini perlu belajar dari pengalaman Gundala. Tidak seperti naga Indosiar, kekurangan utama dari film Gundala justru bukan dari CGI yang digunakan. Alur cerita yang di awal terasa solid, tiba-tiba patah di pertengahan. Ini terjadi karena sutradara memilih pendekatan memutar untuk memasukkan elemen-elemen yang akan berguna bagi kelanjutan JSB.

Tentu saja ini tak akan jadi masalah bila tidak mengganggu jalannya cerita, tapi ternyata banyak yang merasa terganggu. Masalah selanjutnya adalah pertarungan di akhir yang rasanya hambar karena Pengkor kalahnya gitu-gitu aja. Mirip sama endingnya Red Skull di The First Avengers, minus build up permusuhan antara protagonis dan antagonis. Beberapa penonton mungkin merasa serum amoral itu tidak masuk akal, tapi ya sekali lagi ini memang film fantasi.

Toh serum kejujuran tidak jauh beda kan, tapi tidak ada yang protes.

Untuk adegan tarung sebetulnya tidak perlu dipaksa jadi mirip The Raid yang berdarah-darah. Secukupnya saja lah kalau kata Hindia. Power Ranger juga kan digemari anak-anak hingga dewasa walaupun berantemnya wagu.

Film-film yang akan datang juga perlu hati-hati agar tidak jatuh jadi Joker (2019). Film yang bagus, tapi akan jadi sama saja bila judulnya bukan Joker. Gambaran tentang perlawanan kelas ada, kesehatan mental ada, dan banyak hal lain yang membuat film ini sukses.

Akan tetapi kita tidak melihat kenapa cerita ini harus jadi Joker, misal tokohnya diganti jadi Kerjo pun sama aja gitu lho. Hal ini karena gambaran Joker di film ini sulit sekali kita temukan mirip dengan Joker yang biasa kita lihat. Sekali lagi, Gundala hampir saja seperti ini. Mungkin cukup sampai disini. Semoga pandemi cepat berlalu dan kita dapat segera menyaksikan aksi para jagoan di layar lebar.

BACA JUGA Gelisah Karena Gundala: Harapan Baru Jagat Perfilman Indonesia dan tulisan Terminal Mojok lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version