Jadi Waiter Itu Nggak Pernah Mudah

Jadi Waiter Itu Nggak Pernah Mudah

Jadi Waiter Itu Nggak Pernah Mudah (Shutterstock.com)

“Enak, ya kerja jadi waiter. Tinggal bantu-bantu masak, cuci piring, melayani tamu. Udah gitu doang. Modal otot doang”

“Nggak ada lagi capek otak dan mental kayak pekerja kantoran, bye!”

Begitulah pemikiran saya selama ini sebelum bekerja sebagai salah satu staf dapur pada sebuah gerai makanan di Bandung. Oh, to be young and reckless.

Apa pun pekerjaan seseorang, nggak ada yang enak sepenuhnya. Sungguh. Mau kerja jadi office boy, manajer, bahkan presiden sekalipun, kerja nggak ada yang enak, MyLov! Kerja apa pun pasti capek! Apalagi yang beban pekerjaannya sangat banyak dan bertumpuk seperti Pak Luhut, capek banget pasti. Respect, Pak, semangat!

Saya akui, sebagai pekerja kerah biru, jadi waiter itu “kurang greget” jika dibandingkan dengan pekerja kerah putih di kawasan SCBD karena rutinitasnya gitu-gitu aja. Kasarnya “nggak perlu mikir” gitulah. Tapi, bukan berarti gampang, lho.

Justru, jadi waiter itu capek banget, MyLov. Nggak cuma mencatat pesanan pengunjung, tapi juga bantu-bantu masak di dapur. Setelah kalian selesai makan, waiter bertugas membereskan meja dan langsung mencuci alat makan yang sudah kalian gunakan biar bisa digunakan pengunjung lainnya.

Makanya, please banget ini mah, kalau makanan yang kalian pesan datangnya lama, jangan marah-marah dulu sama waiter. Kita bukannya nggak pingin pingin makanan yang kalian pesan datang dengan cepat, tapi semua butuh proses, kan?

Setelah mencatat pesanan yang kalian pesan dan melakukan proses pembayaran, staf dapur harus memasak makanannya terlebih dahulu. Yang pastinya bakalan ada antrean panjang karena yang pesan makanan bukan cuma satu orang, tapi bisa puluhan bahkan ratusan orang ketika long weekend atau hari libur nasional. Selain itu, jumlah waiter yang ada pastinya nggak akan sebanding dengan jumlah pengunjung yang ada, makanya kita suka kewalahan.

Dari awal tempat makan itu buka, sampai tempat makan itu tutup, waiter itu nggak ada santainya sama sekali. Bahkan ketika pengunjung lagi sepi pun, waiter nggak bisa santai-santai main HP karena mereka harus bersih-bersih meja, nyapu, ngepel, cuci piring, sampai belanja ke pasar. Semuanya demi kenyamanan para pengunjung.

Waiter juga nggak cuma melakukan tugas-tugas yang saya sebutkan di atas, lho. Kita juga kadang bertugas untuk memastikan nominal uang yang masuk pada mesin kasir sesuai jumlah pesanan yang kita catat. Jangan sampai nominal uang yang masuk pada mesin kasir tidak sesuai dengan jumlah pesanan yang kita catat. Kita harus memastikan seluruh pengunjung yang memesan makanan membayar pesanan mereka.

Ini penting banget, MyLov, biar kita nggak nombokin kekurangan uang di mesin kasir. Soalnya pernah ada kejadian di mana ada pengunjung nggak bayar makanan yang mereka pesan entah karena lupa atau sengaja kabur gitu aja. Jadinya honor seluruh staf dapur harus dipotong buat nombokin deh. Waktu itu jumlah pengunjung lagi banyak banget karena long weekend dan hari libur nasional jadi kita kecolongan deh. Hadeuh!

Sebagai bentuk antisipasi, kami sudah meminta pengunjung untuk membayar terlebih dahulu saat melakukan pemesanan makanan di meja kasir sebelum makanannya kami antarkan biar nggak kecolongan. Tapi, masih banyak pengunjung yang penginnya makan dulu baru bayar ke kasir sebelum pulang. Dan kami nggak bisa berbuat banyak.

Selain itu, banyak waiter yang kerja lebih dari 8 jam tanpa henti. Buat makan atau salat aja curi-curi waktu, gantian satu sama lain. Makanya terkadang suka ada beberapa jenis makanan atau minuman pengunjung yang tidak tercatat. Kadang-kadang juga suka ada makanan atau minuman pengunjung yang tertukar satu sama lain karena nyasar ke meja sebelah saking banyaknya pengunjung. Ujung-ujungnya kita dimarahin pengunjung dan cuma bisa meminta maaf pada mereka atas kesalahan yang kita lakukan. Apa pun alasannya, “The customer is always right!”, MyLov.

Banyak juga pengunjung menyebalkan yang tetap nongkrong ketika kita akan tutup meskipun kita sudah “ngasih kode” dengan beres-beres kursi dan meja sembari menyapu dan mengepel. Malah ada juga yang keukeuh pesan makanan padahal closing satu jam sebelum tutup.

Ada juga yang sudah pesan makanan banyak tapi malah nggak dihabiskan. Bikin sakit hati karena makanan yang mereka pesan lebih mahal daripada gaji si waiter itu sendiri. Please deh, kalau nggak dihabiskan ya minta dibungkus aja gitu, jangan buang-buang makanan. Kita lebih senang kalau kalian membungkus makanan yang kalian pesan alih-alih membuangnya begitu saja.

Seperti itulah unek-unek saya. Mereka yang nggak pernah kerja jadi waiter sih pastinya nggak akan relate dengan yang saya utarakan ini. Kalau ada yang bilang, “Kerja jadi waiter itu gampang. Kualifikasinya nggak tinggi. Lulusan SMA bahkan yang nggak sekolah aja bisa jadi waiter”, saya suka kesal. Soalnya, jadi waiter itu nggak sesederhana itu. Mau jadi waiter di abang-abang gerobak sampai jadi waiter di hotel bintang lima sekalipun, tetap nggak gampang, MyLov.

Sebab, sejatinya, semua orang yang bekerja itu punya tujuan yang sama: agar meja makan selalu terisi dan hidup selalu terjamin.

Penulis: Raden Muhammad wisnu
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Daihatsu Luxio dan Stigma Mobil Murahan yang Melekat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version