Setelah saya berkeliling dari Vietnam, Kamboja, sampai Thailand, tak ada tanah seindah Indonesia dalam masalah suporter untuk tim lokal. Mereka selalu bergairah. Seakan, tak ada hari tanpa mengibarkan panji-panji kedaerahan tim lokal mereka. Merah, biru, hijau, oranye, dan warna-warna lainnya, tak bisa menggeser beberapa tim besar Eropa, sebagai episentrum sepak bola dunia.
Thailand memang punya antusiasme tinggi masalah sepak bola. Namun, hal ini hanya terjadi untuk beberapa tim saja. Vietnam memang ramai, namun ramainya kurang lebih sama seperti anak SMA yang sedang suporteran di GOR, mendukung sekolah mereka. Kamboja apalagi, mereka hanya riuh kala timnasnya berlaga. Indonesia, sebaliknya. Tim lokal, timnas usia muda, timnas senior atau bahkan laga uji coba, selalu meriah. Utopia sepak bola tidak ada di Brazil, namun ada di negeri sendiri.
Di balik teriakan para suporter, ada noda yang tak kunjung hilang. Pemain kedua belas, tak jarang menjadi bumerang sendiri bagi eksistensi klub yang sedang bermain. Kadang, para suporter ini masih terjebak dalam ranah yang sudah mulai negara tetangga tinggalkan, yakni mengolah rivalitas. Dengan label negara yang selalu memiliki tensi dan gengsi, suporter kita masih kerap terjebak dalam hal yang sejatinya terjadi di masa pra-aksara, kala manusia mengumpulkan kerang di belakang gua persembunyiannya.
Kita ambil contoh kecilnya, di sebuah daerah di mana toleransi dan harmoni adalah kunci, yakni tanah Mataram. Terkhusus untuk Brajamusti, Slemania, BCS, dan Pasoepati. Derby Mataram yang penuh tensi tersaji begitu saja di layar kaca. Rivalitas yang ada tidak diolah dengan baik.
Saya memandang kebencian itu netral. Tidak melulu buruk, pun tidak bisa sepenuhnya dikatakan hal yang baik. Kebencian yang hadir tanpa dilandasi sebab, adalah kebencian yang bisa dibilang bodoh. Dari kebencian yang bodoh inilah korban demi korban selalu hadir. Bangku-bangku tribun, perlahan demi perlahan berubah menjadi pusara yang memberikan trauma.
Dari sifat benci ini, banyak luka yang rasanya terlampau berat untuk dikorek. Tiap mereka bersua, patokannya hanya dendam beberapa laga sebelumnya. Bahkan, kebencian yang mereka olah, hanya berlandaskan bisikan-bisikan generasi sebelumnya. Para generasi sebelumnya, hanya mengajarkan membenci, tanpa memberitahu mengapa mereka harus membenci.
Peran generasi sebelumnya amat besar dalam membentuk pola membenci ini. Tidak ada narasi pajang yang menjelaskan sejarah perselisihan kedua tim, menambah parah rasa benci tersebut. Kita bisa melihat Manchester United dan Liverpool. Kedua tim itu memang saling membenci, namun patokan mereka bukan hanya tindakan rasis Suarez kepada Evra, atau misi utama Sir Alex “Menendang Liverpool dari puncak hirarki sepakbola Inggris”. Kebencian mereka tidak datang dari beberapa pertandingan saja.
Persaingan abadi ini berdasarkan historis mereka yang panjang, beringan dengan industri kedua kota. Liverpool adalah kota pelabuhan, sedangkan Kota Manchester adalah kota industri. Keduanya, seakan saling melengkapi dan menghidupi. Manchester membutuhkan pelabuhan Liverpool, pun sebaliknya. Namun, semua berbalik menjadi rivalitas menakala Daniel Adamson membangun kanal untuk kapal berlabuh langsung di Manchester.
Kebencian ini menjadi “baik” menengok rivalitas mereka dalam ranah sepak bola menjadi arah yang jelas. Kebencian mereka dilandasi esensi, muatan, sebab, akibat, historis dan alasan. Berbeda dengan kebencian yang terjadi kepada suporter tim lokal kita—tidak hanya tim-tim Mataram—mereka hanya memiliki benci, tanpa memikirkan esensi hingga alasan yang melandasi.
Pengalaman saya ketika SD pun membuat saya merinding jika mengingat. Anak-anak di kelas saya, yang baru saja menemukan indahnya sepak bola, suatu hari mereka nge-chants, “(nama tim rival) kelingan ora kowe, mbiyen neng (kota rival) aku mok bandem watu. Saiki kowe teko neng kotaku, tak beleh, tak dadike sengsu, asu”. Ya, anak SD sudah bisa-bisanya berkata “aku bunuh, aku jadikan tongseng asu (anjing)”. Ketika ditanya, kenapa mereka membenci? Jawabannya adalah generasi sebelumnya juga membenci.
Dari sini, permusuhan terlihat amat kerdil. Kita hanya meneropong beberapa laga, beberapa kerusuhan, tanpa mau mengkaji lebih dalam dan lebih jauh dari itu. Dampaknya, generasi ke generasi, mereka akan terus membenci tanpa alasan.
Lalu, pertanyaannya, mengapa suporter tim-tim di wilayah Mataram ini bisa saling sikut, terutama PSIM dan PSS? Padahal, secara geografis, kedua wilayah ini tidak memiliki sejarah panjang rivalitas apapun, tidak semengerikan Liverpool dan Manchester atau Barcelona dan Madrid.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Febriana Muryanto yang berjudul “Faktor Penyebab Konflik Slemania dan Brajamusti dalam Persepakbolaan di Daerah Istimewa Yogyakarta”, yang dikutip dari Kumparan, perselisihan ini terjadi pada tahun 2001, saat itu, suporter PSIM diusir oleh Slemania. Saling lempar benda-benda keras pun tak terelakkan.
Kembali mengutip dari Kumparan, dalam artikel “PSS vs PSIM: Derby Istimewa di Tanah Mataram”, Sirajudin Hasbi mengatakan prestasi berbeda yang dicatatkan kedua tim pada tahun yang sama merupakan benih di masa yang baru. Keberhasilan PSS mencuatkan kecemburuan suporter PSIM. Status PSIM sebagai barometer sepak bola dan representasi DIY perlahan diambil alih oleh PSS.
Saya setuju dengan kata-kata bahwa sepak bola tidak hanya 90 menit saja. Bahkan, sebelum dan setelah 90 menit adalah hal yang lebih seksi. Namun, kita tidak bisa membedakan persaingan sepak bola dan realitas. Sebenci-bencinya Liverpool dan Manchester United, mereka bersatu saat skuat MU meregang nyawa di Munich. Mereka bisa membedakan kapan mereka harus bermusuhan, dan kapan mereka bergandeng tangan.
Melihat beberapa kejadian setelahnya, tidak ada yang bisa dibenahi dari “generasi yang dicekoki oleh kebencian” seperti kita. Rasa benci yang diwariskan, kini sudah mengakar dengan kuat.
Masalahnya hanya satu hal, kita harus merawat generasi berikutnya. Tinggalkan sebuah cerita dengan kenyataan yang ada. Jangan ceritakan hanya dari satu sudut pandang saja, namun menyeluruh dari mana akar permusuhan ini berasal. Hulu dan hilir, warisi semuanya, kelak generasi baru ini akan memiliki sifat “benci yang lebih bermartabat”, mengolahnya dengan perasaan, bisa paham kapan harus membenci dan kapan harus mengerti esensi. Ketimbang kita yang sudah kalah sejak awal, “membenci dengan membabi-buta”, dengan cara yang amat salah.
BACA JUGA 4 Langkah yang Bisa Ditempuh Giring agar Mulus Menjadi Capres dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.