Sebagai mahasiswa, sebenarnya nggak banyak yang kami harapkan dari fasilitas kampus. Setidaknya, cukup beri selayaknya. Kalau kurang layak, mungkin memang masih ada sebagian mahasiswa yang bersuara, sih. Namun, tidak akan seburuk ketika fasilitas itu bahkan nggak bisa diterima sepenuhnya oleh mahasiswa. Apalagi jika melihat UKT kuliah yang makin tak masuk akal tiap tahunnya.
UKT menjadi tuntutan tiap semester. Di kampus saya sendiri, alamat nggak bisa KRS-an kalau belum bayar hingga minggu pertama kuliah dimulai. Risikonya? Ya sabar-sabar saja. Sudah pasti dapat kelas peminatan sisa-sisa. Yang dosennya terkenal serem, atau yang praktik lapangannya bikin geleng-geleng kepala.
Masalahnya, nggak semua mahasiswa dengan mudah melunasi biaya UKT kuliah. Apalagi yang dapet kategori selangit. Beuh. Udah gitu, masih harus menerima kenyataan kalau fasilitas kampus sama sekali nggak sepadan dengan biaya melejit yang dikeluarkan. Sekalipun di PTN yang katanya ‘Negeri’ dan biayanya lebih ekonomis.
Titel perguruan tinggi negeri yang dibanggakan, nggak memenuhi ekspektasi. Kalau negeri, sudah pasti biayanya lebih terjangkau. Padahal, lewat kampus saya yang letaknya di ibu kota Jatim ini, anggapan itu terbantah mentah. Apalagi kalau melihat fasilitas yang diperolah mahasiswa.
Nggak punya gedung tetap, harus berbagi dengan prodi lain
Di mata mahasiswa, berusaha memahami kalau dinamika pengelolaan institusi memang tidak akan mudah. Tentu saja, banyak problematika yang muncul. Sejak awal lolos di program studi saya saat ini, sudah banyak informasi yang mengatakan kalau ada prodi di kampus ini yang memang nggak punya gedung tetap.
Akhirnya, satu gedung dioperasionalkan untuk kepentingan dua program studi. Jujur saja, sebagai mahasiswa baru kala itu, saya sudah sedikit heran. Oh, ini memang seperti ini ya, konsepnya? Sebab, ya aneh. Masa satu gedung sederhana dibagi berdua. Bayar UKT kuliah juga sama keknya.
Masalahnya, ini bukan gedung kuliah bersama (GKB). Hanya gedung 2 lantai sederhana yang lantai bawahnya digunakan sebagai ruang dosen dan ruang referensi. Lantai atas barulah berisi kelas-kelas mahasiswa. Bisa dihitung jari pula. Hanya 6 hingga 7 kelas.
Dengan kondisi tersebut, beberapa kali terjadi gesekan. Kalau kebetulan semua pada offline, ya berujung dengan rebutan kelas. Kali terakhir, saya dan kawan-kawan bahkan harus rebutan ruang sidang untuk seminar proposal.
Overcapacity, kelas nggak ada, tapi maba membludak
Saya beneran tidak paham dengan dunia yang saya hadapi. Maksudnya, ruang kelas yang merupakan hak dasar saja saya tidak dapat dengan proper. Padahal, jumlah mahasiswanya membludak. Ditambah mahasiswa baru masuk, bikin ruang kelas makin tidak mungkin mencukupi. Padahal, bayar UKT kuliah juga rajin. Tapi, hak yang didapat tidak sejalan dengan kewajiban.
Saya pikir, dengan UKT kuliah yang dibayarkan,harusnya mahasiswa dapat hak dasar. Tapi, kenyataan selalu berkata lain.
Saya geleng-geleng kepala, sebab UKT kuliah yang saya bayarkan itu tidak sedikit. Tapi, fasilitas yang saya dapat jauh dari kata menyenangkan. Fasilitas dasar saja tidak ada. Dan yang lebih gila lagi, saya kira UKT saya sudah yang paling mahal. Ternyata, tidak.
UKT kuliah jalur mandiri yang nggak masuk akal
Perkenalkan, jalur mandiri. Dari namanya, kita sudah tahu, biaya kuliah yang harus mereka setorkan jelas lebih mahal. Tapi, fasilitas yang didapat sama saja buruknya. Lalu, kenapa juga mereka harus bayar lebih mahal?
Pantas saja, 2 tahun belakangan, semakin santer mahasiswa baru yang menyuarakan penurunan UKT atau perbaikan fasilitas. Sebab, ya memang jelas nggak sepadan. UKT kuliah segitu bisa dapet NMAX, bisa buat umroh, plus sekalian jalan ke Turki atau luar negeri.
Udah gitu, memang nggak ada perbedaan fasilitas yang didapatkan mahasiswa regular dan mahasiswa jalur mandiri. Tambahkan lagi izin yang super susah untuk menggunakan kelas. Mata kuliah baru selesai 10 menit, sudah disuruh keluar. Sidang sempro terlalu pagi pukul 7, harus kalang kabut cari ibu-ibu yang memang memegang kunci ruangan. Ada aja deh, pokoknya.
Itulah yang bikin saya heran dengan kampus zaman sekarang. Bagaimana bisa mematok bayaran yang nominalnya bikin sedih, tapi fasilitas dasar saja nggak ada. Dan ngerinya, ini tak terjadi hanya di kampus saya. Nyatanya, ini terjadi juga di luar sana, dan nggak hanya satu-dua, tapi banyak.
Bagaimana bisa?
Penulis: Chusnul Awalia Rahmah
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















