Membaca tulisan Mas Gusti Aditya tentang doktrin kebencian suporter di bumi Mataram menggerakan saya untuk turut mengomentari kisruh antarsuporter trah Mataram, khususnya perseteruan PSIM Jogja dan Persis Solo. Walau tidak sekota dan seprovinsi, pertandingan ini sampai dijuluki Derbi Mataram mengingat kedua kota ini berasal dari rahim yang sama, sama-sama penerus dinasti Mataram Islam yang terbelah oleh Perjanjian Giyanti 1755. Lalu adakah kaitan kedua klub ini merivalkan diri dengan masing-masing keraton? Mari saya jabarkan.
Jika diuraikan benang merahnya, kebencian suporter PSIM dengan Persis sejatinya lahir dari dua tragedi balas-membalas, yaitu Tragedi Kandang Menjangan 1998 sebagai awal kebencian suporter PSIM terhadap suporter Arseto yang diteruskan hingga Persis Solo kini.
Sebaliknya, suporter Solo menjadikan Tragedi Mandala Krida 4 Juni 2000 sebagai alasan kebencian mereka. Alasan klasik bagi suporter Indonesia untuk merivalkan diri, sama halnya dengan balas-membalas suporter Persib dan Persija.
Yang menjadi ironi, pada perkembangannya perdebatan kedua suporter merembet keluar konteks. Kedua suporter mendramatisir narasi sejarah masing-masing keraton (Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) sebagai micin tambahan seolah tragedi dua tahunan lalu sebagai garam masih belum cukup untuk sajian Derbi Mataram.
Membaca timeline sebelum pertandingan kedua tim ini saya serasa membaca ringkasan Babad Tanah Jawa dan Wikipedia. Misalnya, suporter PSIM menarasikan aib Kasunanan Surakarta yang di awal berdirinya cenderung manut dengan perintah VOC. Sementara suporter Persis menarasikan kepahlawanan priayi asal Solo utamanya Raden Mas Said sebagai salah satu tokoh yang paling keras menentang penjajah untuk membalas olok-olokan suporter PSIM. Polanya seperti itu, berputar-putar saling menampilkan keburukan dan kebaikan masing-masing kerajaan. Lucu!
Narasi ini merembet hingga keluar lingkup kedua suporter. Orang luar Jogja dan Solo, bahkan media pun, tergiring asumsi liar bahwa Derbi Mataram adalah derbi paling panas di Indonesia sebagai kepanjangan perseteruan dua trah Mataram. Padahal kalau kita bicara kaitan keraton terhadap kebencian masing-masing tim, kita akan melihat fakta sebaliknya.
Heroisme kedua tim ini terangkum dalam buku Pustaka Sepak Bola Surakarta. Dalam peresmian Stadion Sriwedari, Sunan Pakubuwono X mengundang PSIM Jogja sebagai lawan tanding Persis Solo dalam laga bertajuk Piala Sunan. Perjumpaan Persis dan PSIM juga terjadi di pembukaan acara-acara adat keraton seperti Sekaten. Kedua suporter saling berdampingan, tidak ada kebencian. Sebaliknya, justru Belanda yang dibuat kalang kabut melihat romantisnya dua tim ini.
Puncaknya ketika itu tim besutan Belanda, NIVB, mengajak tanding tim lokal besutan pribumi Persis Solo. Sebelum pertandingan, pamflet sudah disebar sementara tiket sudah terjual, ujug-ujug NIVB membatalkan pertandingan sepihak. Ternyata laga ekshibisi ini hanya siasat Belanda untuk mempermalukan tim pribumi kala itu supaya kehilangan simpati dari pendukungnya.
Tak kehilangan akal, Persis Solo mengundang tim pribumi lain PSIM Jogja untuk menggantikan NIVB kala itu. Bak gayung bersambut, PSIM mengiyakan, padahal PSIM dalam keadaan yang tidak siap. Ibu Soeratin (istri ketua PSSI) dan Ibu Sahir (istri ketua PSIM) sampai harus blusukan ke pasar demi mencari pemain yang kala itu bekerja sebagai tukang sate, tukang cukur, dan lain-lain. Semua dipersiapkan dalam waktu yang singkat dan PSIM sampai di Solo tepat waktu. Berkat PSIM, Persis Solo tak harus menanggung malu oleh siasat Belanda lewat NIVB-nya.
Persis Solo dan PSIM Jogja pula yang turut menginisiasi terbentuknya PSSI. Romantisme Persis dan PSIM berlanjut pada 1936 kala kedua tim didaulat mewakili tim PSSI untuk bertanding melawan Winner Sports Club, kesebelasan asal Austria.
Sayang, kisah heroisme ini jarang diangkat ketika kedua tim bersua. Padahal kisah di atas jelas ada kaitan langsung antara keraton dan kedua tim. Kebalikannya, sejarah yang tidak ada kaitannya selalu dibawa untuk memupuk kebencian yang sebenarnya baru lahir karena dua tragedi dua puluh tahunan lalu.
Entahlah, mungkin kebencian lebih mendongkrak animo atau sebenarnya kedua suporter mekso membawa sejarah yang tidak ada kaitannya dengan sepak bola, supaya pertandingan ini terkesan sarat dengan sejarah kebencian layaknya Kerajaan Spanyol dengan Real Madrid dan rakyat Katalan dengan Barcelona.
Sebagai pihak yang netral, tak bisa bohong bahwa darah saya masih mendidih termakan gengsi ketika menyaksikan laga ini. Hanya gengsi, selebihnya tak perlu membumbui dengan narasi sejarah perseteruan masing-masing keraton yang tidak ada kaitannya. Persis Solo dan PSIM Jogja tidak lahir sebagai tangan panjang perseteruan trah Mataram sesudah Perjanjian Giyanti, Persis Solo dan PSIM Jogja lahir sebagai manifestasi penyatuan dua trah Mataram dalam melawan penjajah. Bersatulah!
Sumber gambar: Akun Twitter @soloposdotcom.
BACA JUGA Bully yang Dialami Adik Saya dan Surat Cinta Terbuka Untuknya dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.