Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah

Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah

Bengawan Solo: Sungai Legendaris yang Kini Jadi Tempat Pembuangan Sampah (Midori via Wikimedia Commons)

Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa yang membentang sepanjang 600 kilometer, telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lagu “Bengawan Solo” ciptaan Gesang bahkan mendunia, melukiskan keindahan sungai yang mengalir tenang melewati kota-kota bersejarah.

Akan tetapi ironi pahit kini menyelimuti sungai legendaris ini. Bengawan Solo yang dulu jernih dan menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi tempat pembuangan sampah raksasa yang tercemar parah.

Bengawan Solo tercemar limbah domestik dan industri

Kondisi Bengawan Solo saat ini sungguh memprihatinkan. Data dari Badan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa kualitas air sungai ini telah melampaui batas ambang pencemaran yang diperbolehkan. Limbah domestik dari rumah tangga mengalir bebas ke sungai tanpa melalui pengolahan yang memadai. Detergen, sabun, minyak goreng bekas, hingga limbah kakus langsung mencemari air sungai yang dulunya menjadi sumber air bersih bagi jutaan penduduk di sepanjang alirannya.

Lebih parah lagi, puluhan industri di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo membuang limbah produksi mereka tanpa pengolahan maksimal. Pabrik tekstil, pengolahan makanan, hingga industri kimia menjadikan sungai sebagai pembuangan akhir limbah berbahaya. Warna air sungai sering berubah-ubah, kadang kehitaman, kadang kemerahan, bergantung pada jenis limbah yang dibuang hari itu. Bau busuk menyengat tercium dari jarak puluhan meter, menjadi pertanda betapa tercemar air yang mengalir.

Ikan-ikan yang dulu melimpah kini hampir punah. Petani dan nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari sungai kehilangan mata pencaharian. Sawah-sawah yang diairi Bengawan Solo menghasilkan panen dengan kualitas menurun karena air irigasi yang tercemar. Siklus kehidupan yang bergantung pada sungai mulai terputus.

Kesadaran rendah warga dalam membuang sampah

Perjalanan menyusuri bantaran Bengawan Solo menyajikan pemandangan yang menyedihkan. Tumpukan sampah plastik, botol bekas, kantong kresek, hingga kasur dan perabotan rumah tangga menumpuk di tepian sungai. Warga dengan santai membuang sampah langsung ke sungai, seolah-olah itu adalah tempat sampah umum yang disediakan gratis.

Kesadaran lingkungan masyarakat yang masih rendah menjadi akar permasalahan. Banyak warga yang tinggal di bantaran sungai menganggap membuang sampah ke sungai adalah hal wajar dan sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Mereka tidak memahami atau tidak peduli bahwa sampah yang mereka buang hari ini akan mencemari air yang mereka sendiri gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Edukasi lingkungan yang minim dan tidak merata memperparah kondisi ini. Program-program penyuluhan yang dilakukan pemerintah sering kali bersifat seremonial, tidak menyentuh akar perubahan perilaku masyarakat. Tanpa kesadaran kolektif, upaya membersihkan sungai akan sia-sia karena pencemaran terus berlangsung setiap hari.

Kolaborasi stakeholder yang belum efektif

Penanganan pencemaran Bengawan Solo melibatkan berbagai pihak, di antaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, masyarakat, hingga organisasi lingkungan. Namun, kolaborasi di antara mereka masih jauh dari efektif. Ego sektoral dan perbedaan kepentingan membuat koordinasi tersendat.

Pemerintah daerah di sepanjang aliran sungai sering kali tidak sinkron dalam membuat kebijakan pengelolaan sungai. Apa yang dilakukan di hulu tidak sejalan dengan program di hilir. Penegakan hukum terhadap industri yang membuang limbah sembarangan juga lemah. Sanksi yang dijatuhkan tidak membuat jera karena lemahnya pengawasan berkelanjutan.

Partisipasi masyarakat dalam program-program pembersihan sungai masih sporadis dan tidak berkelanjutan. Kegiatan bersih-bersih sungai sering dilakukan hanya saat ada peringatan hari lingkungan atau ketika ada kunjungan pejabat. Setelah itu, sungai kembali menjadi tempat pembuangan sampah seperti biasa.

Ironi Bengawan Solo: sungai yang menjadi ikon malah tercemar

Ironi terbesar dari kondisi Bengawan Solo adalah statusnya sebagai ikon budaya yang diagungkan namun diperlakukan dengan sangat buruk. Lagu “Bengawan Solo” terus dinyanyikan di berbagai acara sebagai simbol kebanggaan lokal, tetapi sungai yang menjadi inspirasi lagu tersebut diabaikan dan dibiarkan sekarat.

Bengawan Solo seharusnya menjadi aset wisata dan budaya yang bisa mendatangkan manfaat ekonomi. Sungai yang sehat bisa menjadi destinasi wisata sungai, spot fotografi, lokasi olahraga air, hingga sumber air bersih yang berkelanjutan. Namun, kondisinya saat ini malah menjadi aib yang memalukan.

Generasi muda yang mendengar lagu tentang keindahan Bengawan Solo merasa tertipu ketika melihat kondisi riil sungai yang penuh sampah dan berbau busuk. Kesenjangan antara narasi romantis di lagu dengan kenyataan di lapangan menciptakan disonansi kognitif yang membuat orang semakin apatis terhadap nasib sungai ini.

Pemerintah lebih suka bikin patung daripada bersihkan sungai

Kritik tajam layak dialamatkan kepada pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan proyek-proyek fisik yang terlihat megah namun tidak menyelesaikan masalah mendasar. Alokasi anggaran untuk membangun patung-patung raksasa, taman-taman yang tidak terawat, dan proyek mercusuar lainnya jauh lebih besar dibandingkan anggaran untuk pengelolaan sungai yang komprehensif.

Pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal yang sangat dibutuhkan berjalan sangat lambat. Fasilitas pengolahan sampah di bantaran sungai minim. Kampanye kesadaran lingkungan tidak mendapat pendanaan yang memadai. Pengawasan terhadap industri yang mencemari sungai tidak diperkuat dengan teknologi dan sumber daya manusia yang cukup.

Pemerintah tampak lebih tertarik pada proyek-proyek yang bisa diresmikan dengan pemotongan pita dan foto bersama, dibandingkan dengan kerja keras pembersihan dan pemulihan ekosistem sungai yang hasilnya tidak instan dan tidak glamor. Prioritas pembangunan yang keliru ini mencerminkan absennya political will yang serius untuk menyelamatkan Bengawan Solo.

Sudah saatnya bergerak serius

Bengawan Solo tidak bisa menunggu lebih lama. Kerusakan yang terjadi sudah sangat parah dan jika dibiarkan akan mencapai titik tidak bisa dipulihkan. Diperlukan komitmen bersama dari semua pihak, yaitu pemerintah harus mengalokasikan anggaran memadai dan menegakkan regulasi dengan tegas, industri harus berinvestasi pada pengolahan limbah yang proper, dan masyarakat harus mengubah perilaku dalam membuang sampah.

Bengawan Solo adalah warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Sungai yang sehat adalah sungai yang memberikan kehidupan, bukan mengancam kesehatan. Sudah saatnya kita semua bertindak, sebelum lagu “Bengawan Solo” hanya tinggal kenangan tentang sungai yang dulu pernah indah.

Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 3 Fakta Menarik tentang Kota Batu yang Jarang Dibicarakan Orang, Salah Satunya Pernah Terkenal dengan Perkebunan Kina.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version