Ini Cara Saya Berdamai dengan Panasnya Sidoarjo

Ini Cara Saya Berdamai dengan Panasnya Sidoarjo

Ini Cara Saya Berdamai dengan Panasnya Sidoarjo (Pixabay.com)

Jika ada satu kata yang dirasa tepat menggambarkan Sidoarjo, kata itu adalah panas.

Betul, Sidoarjo panasnya nggak masuk akal. Setidaknya bagi saya yang bukan orang asli situ. Tapi, entah kenapa, kini saya sudah berdamai dengan panasnya kota tersebut. Mungkin ini terdengar nggak masuk akal, tapi beneran, kini saya sudah berdamai. Setidaknya sih, saya nggak ngeluh-ngeluh amat.

Saya akan menceritakan proses perdamaian tersebut.

Perjalanan yang hangat, literally

Semua dimulai saat libur semester makin mendekat. Suasana kos-kosan mulai terasa sepi dengan banyak teman yang pulang ke kampung halaman masing-masing. Kondisi tersebut membuat saya berpikir untuk mengusir kebosanan di kos-kosan yang sepi dengan berkunjung ke Sidoarjo, tempat di mana saya memiliki kenalan yang pasti dan bersedia menyediakan tempat tinggal untuk saya.

Meskipun sudah lama tinggal di malang, namun saya belum pernah menetap di sidoarjo meskipun itu hanya berkunjung sebentar. Sehingga Perjalanan ini akan menjadi peluang saya untuk merasakan perbedaan suhu antara Malang dan Sidoarjo, serta mengeksplorasi pengalaman ngopi di kota tersebut.

Ketika saya ingin pergi ke Sidoarjo, kebetulan teman saya ada yang ingin pulang ke Gresik, sehingga saya pun menumpang dengannya karena lumayan untuk menghemat ongkos juga. Saya dan teman memutuskan untuk berangkat pada malam hari dengan menggunakan motor. Pilihan ini diambil untuk menghindari kemacetan dan teriknya matahari

Namun, hal tersebut nyatanya tak berguna. Meskipun sudah berangkat pada malam hari, perbedaan suhu sudah mulai terasa. Perbedaan tersebut cukup membuat saya merasa gerah di ketika perjalanan. Perbedaan suhu mulai terasa di perbatasan antara Lawang dan Pandaan. Udara yang lebih hangat membuat saya merasakan sensasi seperti masuk ke dalam dunia yang berbeda.

Sampai di Sidoarjo, perbedaan suhu makin terasa. Walaupun sudah malam, udaranya masih terasa hangat dan sedikit membuat gerah, berkebalikan dengan Malang yang udaranya malamnya dingin dan berangin. Meskipun jarak kedua kota ini tidak jauh, tetapi perbedaan iklimnya cukup kontras.

Pengalaman ngopi di Sidoarjo

Keesokan harinya saya diajak teman saya untuk lebih mengeksplor panasnya kota sidoarjo.Kami berangkat pukul 8 pagi ke sebuah warkop. Walaupun masih pagi, panas Sidoarjo sudah mulai terasa. Ketika sampai di warkop kamipun langsung memesan es teh jumbo. Nggak usah tanya kenapa saya pesen es teh di warkop, kalian tau sebabnya.

Seiring berjalannya waktu, keringat pun mulai bercucuran di tubuh saya. Suhu di Sidoarjo perlahan naik dan mencapai puncaknya ketika jarum jam menunjukkan pukul 10 siang. Entah kenapa dalam diri ini ingin berkata kotor akibat panas yang luar biasa.

Baca halaman selanjutnya

Malang vs Sidoarjo

Perbedaan suhu Malang vs Sidoarjo yang begitu terasa

Keluhan saya terhadap panasnya Sidoarjo memang bukan masalah yang penting. Namun sebagai mahasiswa yang telah menghabiskan hampir 4 tahun di Malang, membuat saya terbiasa dengan iklim yang cenderung dingin dan sejuk. sehingga panasnya Sidoarjo rasanya seperti cobaan yang saya cobain.

Saya yang sering mengeluhkan Malang makin panas belakangan ini, jadi merasa malu. Ya memang keduanya hal buruk sih, tapi ya, tetap saja merasa aneh.

Berkaca pada kedamaian masyarakat Sidoarjo

Melihat teman-teman saya yang terlihat begitu santai meskipun tubuh mereka tetap berkeringat, rasa penasaran pun mendorong saya untuk bertanya, “Kok bisa, sih, tahan sama panasnya?”

Mereka dengan ramah memberikan jawaban yang cukup membuat saya merenung. Pertama, mereka sudah terbiasa dengan iklim Sidoarjo yang panas. Kedua, mereka menyarankan untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan tidak terlalu memikirkan rasa panasnya. “Simpelnya, nggak usah dipikirin rasa panasnya, fokus saja ke kerjaanmu, pasti rasa panas di otakmu hilang,” ujar salah satu teman.

Mendengar penjelasan tersebut, dalam hati saya berpikir, benar juga ya. Sidoarjo memang memiliki karakter panasnya yang khas, dan terus mengeluh hanya akan membuat suasana terasa makin panas. Mengeluh juga tidak membuat cuaca lebih dingin kan.

Mungkin, rahasia teman-teman saya yang terlihat begitu tenang adalah dengan memandang panas sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Fokus pada pekerjaan atau aktivitas lainnya jauh lebih berfaedah ketimbang mengeluh.

Mengubah persepsi diri

Dari pengalaman perjalanan dan interaksi dengan teman-teman setempat, pemahaman saya terhadap panasnya udara di Sidoarjo mulai berubah. Saya sadar bahwa setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri, termasuk karakteristik iklimnya. Melalui proses ini, saya mulai mengganti interpretasi terhadap perbedaan suhu ini, dan alih-alih melihatnya sebagai sesuatu yang negatif, saya mulai menemukan keindahan dan keunikan yang dimiliki setiap tempat.

Saya berterima kasih pada Sidoarjo, yang bisa memberi saya pelajaran penting untuk hidup saya. Mengeluh tak membuat keadaan jadi lebih baik. Jadi ya, lebih baik berdamai. Tentu saja itu lebih baik kan?

Tapi tetep saja, panas tenan, Rek.

Penulis: Dedi Syah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sidoarjo Ramah untuk Pebisnis, tapi Tidak Ramah untuk Perantau

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version