Jika ada satu kata yang dirasa tepat menggambarkan Sidoarjo, kata itu adalah panas.
Betul, Sidoarjo panasnya nggak masuk akal. Setidaknya bagi saya yang bukan orang asli situ. Tapi, entah kenapa, kini saya sudah berdamai dengan panasnya kota tersebut. Mungkin ini terdengar nggak masuk akal, tapi beneran, kini saya sudah berdamai. Setidaknya sih, saya nggak ngeluh-ngeluh amat.
Saya akan menceritakan proses perdamaian tersebut.
Perjalanan yang hangat, literally
Semua dimulai saat libur semester makin mendekat. Suasana kos-kosan mulai terasa sepi dengan banyak teman yang pulang ke kampung halaman masing-masing. Kondisi tersebut membuat saya berpikir untuk mengusir kebosanan di kos-kosan yang sepi dengan berkunjung ke Sidoarjo, tempat di mana saya memiliki kenalan yang pasti dan bersedia menyediakan tempat tinggal untuk saya.
Meskipun sudah lama tinggal di malang, namun saya belum pernah menetap di sidoarjo meskipun itu hanya berkunjung sebentar. Sehingga Perjalanan ini akan menjadi peluang saya untuk merasakan perbedaan suhu antara Malang dan Sidoarjo, serta mengeksplorasi pengalaman ngopi di kota tersebut.
Ketika saya ingin pergi ke Sidoarjo, kebetulan teman saya ada yang ingin pulang ke Gresik, sehingga saya pun menumpang dengannya karena lumayan untuk menghemat ongkos juga. Saya dan teman memutuskan untuk berangkat pada malam hari dengan menggunakan motor. Pilihan ini diambil untuk menghindari kemacetan dan teriknya matahari
Namun, hal tersebut nyatanya tak berguna. Meskipun sudah berangkat pada malam hari, perbedaan suhu sudah mulai terasa. Perbedaan tersebut cukup membuat saya merasa gerah di ketika perjalanan. Perbedaan suhu mulai terasa di perbatasan antara Lawang dan Pandaan. Udara yang lebih hangat membuat saya merasakan sensasi seperti masuk ke dalam dunia yang berbeda.
Sampai di Sidoarjo, perbedaan suhu makin terasa. Walaupun sudah malam, udaranya masih terasa hangat dan sedikit membuat gerah, berkebalikan dengan Malang yang udaranya malamnya dingin dan berangin. Meskipun jarak kedua kota ini tidak jauh, tetapi perbedaan iklimnya cukup kontras.
Pengalaman ngopi di Sidoarjo
Keesokan harinya saya diajak teman saya untuk lebih mengeksplor panasnya kota sidoarjo.Kami berangkat pukul 8 pagi ke sebuah warkop. Walaupun masih pagi, panas Sidoarjo sudah mulai terasa. Ketika sampai di warkop kamipun langsung memesan es teh jumbo. Nggak usah tanya kenapa saya pesen es teh di warkop, kalian tau sebabnya.
Seiring berjalannya waktu, keringat pun mulai bercucuran di tubuh saya. Suhu di Sidoarjo perlahan naik dan mencapai puncaknya ketika jarum jam menunjukkan pukul 10 siang. Entah kenapa dalam diri ini ingin berkata kotor akibat panas yang luar biasa.
Baca halaman selanjutnya