Ketika melihat Moonshot Camera sebagai salah satu fitur kebanggaan Infinix Zero X Neo dan Zero X Pro, dua “flagship” baru Infinix di Tanah Air, saya jadi teringat Huawei P30 Pro. Ya, ketika kita belum bisa pergi ke bulan seperti judul lagu Cherrybelle, at least bisalah membidik foto cantik nan detailnya dari Bumi. Tapi, pakai ponsel dengan prosesor MediaTek Helio G95?
Mari kita bedah dulu Infinix Zero series ini. Tanpa membedah, kita nggak bisa membuktikan klaimnya bukan?
Membidik bulan ini dilakukan dengan bantuan lima kali optical zoom oleh lensa periskop beresolusi 8 MP. Sekalipun ponselnya adalah ponsel yang benar-benar masuk kelas flagship, saya masih kesulitan menemukan keberadaan lensa telephoto sekalipun dengan kemampuan dua atau tiga kali optical zoom karena kalah pamor dengan lensa makro dan depth sensor.
Tidak sampai di situ, resolusi lensa utamanya juga tinggi. Si Neo mendapatkan 48MP, sedangkan si Pro lebih tinggi lagi yaitu 108MP. Tidak istimewa sih, 48MP jelas kalah dari Redmi 10 dengan 50MP dan 108MP juga dimiliki oleh Redmi Note 10 Pro. Tetapi, tidak kecil juga untuk persaingan ponsel zaman sekarang.
Melengkapi susunan triple camera, Neo mendapatkan black and white sensor beresolusi 2MP dan Pro mendapatkan lensa ultrawide beresolusi 8MP. Lengkap sudah apa yang dimiliki oleh Pro seperti kriteria saya selama ini. Tetapi, memang Neo belum dan ini mungkin tidak masalah bagi ibu-ibu gaptek yang malas menukar lensa kamera untuk berfoto. Soal vlogging, keduanya juga sudah mendukung OIS dan EIS sekaligus dengan resolusi mencapai 4K.
Hal ini dipadukan dengan baterai berkapasitas 5000mAh untuk Neo dan 4500mAh untuk Pro, angka yang sedang-sedang saja bagi saya. Daya pengecasan mencapai 45W untuk Pro yang katanya bisa mengisi kapasitas baterai hingga 40 persen dalam 15 menit. Keamanannya sudah dibuktikan dengan sertifikasi TUV Rheinland. Sedangkan Neo harus puas dengan 18W yang sudah tergolong lambat saat in. Setidaknya, kalau dipakai sambil dicas harusnya keterisian baterai masih naik.
Tak sampai di situ, kedua ponsel yang mengunggulkan kamera ini juga dibekali dengan layar yang diklaim super fluid alias sangat lancar. Dengan resolusi Full HD+, Neo dibekali dengan layar berukuran 6.78″ berpanel IPS dan refresh rate 90Hz. Infinix Zero X Pro punya resolusi sama dan ukurannya sedikit lebih kecil di 6.67″. Tetapi, panelnya sudah AMOLED dan refresh rate naik ke 120Hz.
Keduanya sudah mendukung Widevine L1 alias bisa menonton konten beresolusi tinggi di Netflix. Terlepas dari kekesalan saya terhadap ponsel keluaran terbaru yang masih menggunakan panel IPS, apalagi di segmen yang katanya “flagship”, agak bingung bagaimana Infinix menyeimbangkan refresh rate layarnya. Padahal kualitasnya lebih dari standar, kemampuan fotografi yang memukau itu, dengan chipset yang mumpuni pula.
Prosesor Helio G95 dengan fabrikasi 12 nanometer yang dibanggakan Infinix awalnya ditujukan MediaTek untuk konsumen gamers ini memang bukan prosesor kelas bawah. Cukup bersaing dengan Qualcomm Snapdragon 720G yang sampai hari ini masih jadi andalan dari Oppo Reno6 4G. Pengaturan PUBG Smooth-Extreme atau HDR-Ultra juga sudah terbuka. Tetapi kalau main Genshin Impact cuma dapat frame rate sekitar 30fps dengan pengaturan lowest. Ya, cukup mubazir refresh rate tinggi itu.
Infinix Zero X Pro sendiri hanya mendukung refresh rate layar hingga 90 Hz dan resolusi kamera mencapai 64 MP. Seperti pengaturan milik Infinix Note 10 Pro dan Redmi Note 10S. Oleh karena itu, khusus si Pro, Infinix perlu memberikan satu chip tambahan bernama individual graphic unit. Sebenarnya, MediaTek sudah meluncurkan varian refresh G96 untuk mengakomodasi dua kebutuhan itu. Tetapi, mungkin Infinix sudah mempersiapkan dan memproduksi Zero X Pro sebelumnya. Di keluarga MediaTek, prosesor berikutnya setelah Helio G96 yang mendukung kamera dan layar seperti itu adalah Dimensity 900 milik Oppo Reno6 5G.
Bagi Anda yang membutuhkan ponsel juga bisa mengisi saldo kartu e-money tanpa perlu ke ATM atau minimarket, itu juga tidak bisa karena tidak ada NFC. Jelas sebuah kemunduran dari Infinix Note 10 Pro yang sudah menggunakan NFC. Apalagi mau menggunakan ponsel sebagai remote AC atau TV, tidak ada infrared dan ini jelas keunggulan saingan terdekatnya yaitu Redmi Note 10s. Jadi, apa lagi senjata Infinix?
Senjata berikutnya adalah fitur extended RAM dengan RAM bawaan 8GB yang bisa diekspansi dengan meminjam memori internal sebesar 3GB. Kalau Infinix merilisnya ketika fitur ini masih tergolong langka, tentu akan terdengar istimewa. Apa yang terjadi jika ponsel seperti Vivo Y21 dengan RAM 4GB pun bisa menggunakan teknologi serupa?
Terakhir, memori internal. Infinix Zero X Neo mengusung 128GB dan Pro mengusung 256GB, masih bisa ditambah dengan kartu MicroSD yang slotnya dedicated. Yah, ini sih lagi-lagi tidak istimewa. Ya sudah, berapa harganya?
Harga normal si Neo adalah Rp3,2 juta, ketika Pro tentu lebih mahal dengan Rp4,9 juta. Sampai di sini, saya benar-benar mau ngakak. Brand premium sekaliber Samsung, Oppo, atau Vivo? Bukan. Punya riwayat pembaruan software dan kemudahan servis yang baik, juga tidak. Membeli lensa periskop lima kali optical zoom dengan harga itu terasa kurang worth bagi saya, kecuali jika Anda memang sering membutuhkannya.
Infinix Note 10 Pro yang jauh lebih mending bisa dibawa pulang dengan harga resmi Rp2,8 juta. Jika daya pengecasan 18W cukup bagi Anda, kamera 48MP tanpa adanya lensa telephoto cukup bagi Anda, cukup pakai satu kartu SIM atau tidak pakai kartu MicroSD, dan turun RAM ke 6GB bukan masalah, mending POCO M3 Pro 5G. Prosesornya lebih baru yaitu Dimensity 700 berfabrikasi 7 nanometer itu bisa dibawa pulang dengan harga resmi Rp2,9 juta, udah 5G lagi.
Tidak sampai di situ, Infinix Note 11 Pro sudah meluncur di luar negeri dengan prosesor Helio G96, layar IPS 120Hz, daya pengecasan 33W, memori 8GB/128GB, dan kamera utama 64MP. Resolusi lensa telephoto juga lebih tinggi di 13MP meskipun optical zoom hanya dua kali. Tetapi mungkin ada yang merasa dua kali lebih penting dari lima kali. Tinggal tunggu tanggal mainnya dong di Indonesia?
Infinix Zero X Neo secara otomatis tereliminasi, bagaimana dengan Pro sang kakak?
Di harga setinggi ini, saya tidak mau banyak berspekulasi dengan masa depan ponsel dan lebih baik sedikit memperlebar budget. Samsung Galaxy A52 8GB/256GB dengan harga resmi Rp5,1 juta menjadi pilihan saya karena masa depan pembaruan software hingga tiga tahun. Spesifikasi lainnya juga lebih mendingan.
Jika Anda tidak membutuhkan dukungan software hingga tiga tahun, lebih banyak pilihan tersedia. Misalnya, POCO X3 GT varian 8GB/256GB punya prosesor Dimensity 1100. Ada pula Realme GT Master Edition yang punya baterai sedikit lebih kecil di 4300mAh dan resolusi kameranya tentu lebih rendah, tetapi kemampuan lainnya setara atau lebih tinggi dari Infinix Zero X Pro. Jika kebutuhannya adalah baterai super besar, ada Samsung Galaxy M62 dengan kapasitas 7000mAh. Waduh, tepar terguling-guling alias gagal maning.
Ya, kesimpulannya jelas. Perkembangan pasar ponsel pintar begitu cepat dan menggunakan komponen yang sudah agak “berumur” tentu lebih sulit untuk dihargai tinggi. Konsumen semakin pintar dan lebih memilih ponsel yang all-rounder. Baik di segala sisi spesifikasi sampai layanan pascapenjualan. Alias tidak lagi tertarik pada satu atau dua gimmick yang tidak terlalu banyak bermanfaat dalam penggunaan sehari-hari. Lebih baik Infinix fokus saja bermain di segmen Rp1-2 jutaan dan memberikan yang terbaik kepada konsumen karena naik kelas itu berat.
Sumber gambar: YouTube TeknoLoGue. Sila kunjungi kanalnya.