Kalau uang di sakumu cuma tinggal dua ribu, kira-kira mending kamu kasih ke tukang parkir di depan minimarket yang bahkan nggak bantu mengeluarkan motormu atau ke pak ogah yang membantumu menyebrang jalan?
Pernah nggak sih merasa mangkel kena biaya parkir motor dua ribu rupiah? Apalagi kalau disuruh bayar di tempat yang seharusnya nggak perlu bayar parkir dan tukang parkirnya njelehi. Mending kalau dibantu keluarin motor dari parkiran sampai nyebrang, tak jarang tukang parkir ngeselin ini cuma tiba-tiba datang terus nyemprit peluit sekali, lalu pergi. Lha, ngapain?
Tak dapat dimungkiri, semakin ke sini, Jogja yang katanya istimewa menjelma jadi Jakarta dengan kearifan lokal. Macet kini bisa kita jumpai di tiap sudut Jogja. Selain karena durasi lampu merah yang lamanya naudzubillah, juga karena jumlah kendaraan yang semakin bertambah banyak di Kota Pelajar. Banyaknya ruas jalan yang dibuat putar balik, nyeberang, dan bahkan jadi parkiran liar bikin macet semakin semrawut.
Soal jalanan yang semrawut begini, saya setuju kalau di setiap potongan jalan yang digunakan untuk putar balik atau menyebrang seharusnya ada pak ogah yang bertugas membantu pengendara. Seriusan, deh, susah banget lho menyebrang jalan atau putar balik dalam situasi jalanan yang bikin kepala cenat-cenut itu.
Tak banyak pengendara yang mengapresiasi kehadiran pak ogah di tengah jalan
Sebenarnya, di beberapa titik perpotongan jalan di Jogja sudah ada pak ogah yang sukarela membantu pengendara yang hendak putar balik atau menyebrang. Nah, kalau begini, saya lebih setuju memberikan uang pada pak ogah daripada ke tukang parkir yang nongkrong di tempat-tempat yang sebetulnya nggak perlu-perlu amat dijaga.
Mungkin nominal dua ribu rupiah terlihat kecil. Tapi coba deh bandingkan antara memberikan uang tersebut ke pak ogah yang membantu kita menyebrang jalan dengan tukang parkir di depan Indomaret, misalnya. Saya rasa, kalian juga lebih ikhlas memberikan uang dua ribu tersebut ke pak ogah. Seperti yang kita tahu bahwa kebanyakan tukang parkir ini kerjanya ya cuma minta uang parkir. Kalau dikasih seribu, bilangnya “Parkir dua ribu, Mbak.” Nyebahi tenan.
Baca halaman selanjutnya: Nggak banyak pengendara yang memberikan uang “terima kasih”…
Sayangnya berdasarkan pengamatan saya selama ini, malah nggak terlalu banyak pengendara yang memberikan uang “terima kasih” untuk pak ogah. Padahal kerjaan pak ogah berdiri di tengah jalan, lho. Mereka rela panas-panasan di siang hari dan membantu pengendara menyebrang jalan atau putar balik dengan taruhan nyawa. Apa iya sekadar dua ribu rupiah aja kita nggak mau ngasih? Yah, terlepas dari latar belakang apakah pak ogah ini orang mampu atau kurang mampu.
Kerja ikhlas
Lagi pula kalau dilihat lagi, kebanyakan pak ogah ikhlas membantu pengendara di jalanan. Kalau dikasih uang, ya mereka akan mengulurkan tangan untuk menyambutnya. Tapi kalau nggak dikasih, ya nggak masalah, mereka tetap membantu kita menyebrang jalan atau putar balik. Sejauh ini saya nggak pernah melihat ada pak ogah yang misuh-misuh ke pengendara lantaran nggak dapat apa-apa.
Salah seorang pak ogah yang pernah saya ajak ngobrol bahkan mengatakan, “Saya ndak tega kalau lihat ada yang kecelakaan. Di jalan sini ndak pernah sepi dan orang-orangnya ngebut, Mbak. Ndak masalah saya ndak dibayar, yang penting pada selamet.”
Saya jadi membayangkan. Seandainya di jalanan nggak ada pak ogah sama sekali, bukan tak mungkin berkendara di jalanan Jogja jadi terasa seperti neraka. Sudah semrawut, panas, ada yang kebut-kebutan, ada yang mengklakson tan tin tan tin, dll. Terus yang mau nyebrang jalan atau putar balik kudu gimana? Mosok kudu terbang? Nggak sedikit lho kasus kecelakaan yang menimpa orang yang sedang nyebrang.
Intinya, nggak ada salahnya memberikan sebagian dari uang kita untuk pak ogah. Seribu atau dua ribu yang dilihat bukan nilai uangnya, melainkan keselamatan yang telah dipertaruhkan mereka. Kalau saya sih mendingan ngasih uang dua ribu ke pak ogah daripada ke tukang parkir yang cuma datang tak dijemput dan pergi begitu aja.
Penulis: Shila Nurita
Editor: Intan Ekapratiwi