Ibu-ibu Cerita Rakyat yang Hobi Playing Victim

Ibu-ibu Cerita Rakyat yang Hobi Playing Victim

Ibu-ibu Cerita Rakyat yang Hobi Playing Victim (Pixabay.com)

Cerita rakyat memang berisi moral yang patut dijadikan teladan, masalahnya adalah, ceritanya kadang punya cela yang terlewat kalau dilihat sekilas

Sebagai kalangan menengah ke bawah, saya nggak tumbuh bersama Disney Princess. Karena dulu nggak semua orang mampu dan mau bawa anaknya nonton di bioskop lalu beliin anaknya merchandise Disney. Jangan lupakan juga bahwa hanya orang-orang yang terberkati dengan harta yang melimpah saja yang bisa membeli laser disc buat nonton film di rumah. 

Jadi, saya tumbuh bersama cerita rakyat. Cerita-cerita ini saya baca lewat buku, majalah, atau biasanya cerita-cerita ini juga ditampilkan dalam FTV atau serial di televisi. Dan hal ini sebetulnya sangat familiar buat anak-anak yang lahir sebelum tahun 2000.

Saat itu saya menikmati sekali cerita rakyat karena seru dan banyak pesan moral yang kalau saya pikir sekarang sih kayaknya terlalu eksplisit, dan nggak bikin mikir. Si baik selalu mengalahkan si jahat, lalu orang-orang yang kuat dan baik hati akhirnya akan dinikahkan dengan putri raja, Gadis miskin akan bisa menikah dengan pangeran kalau hatinya baik dan Si sabar dan teraniaya akhirnya akan hidup bahagia. 

Yah pokoknya kisah-kisah happy ending yang kalau sudah dewasa, kita sadar bahwa itu nggak selalu terjadi. Kadang si sabar dan teraniaya akan tetap teraniaya. Dan yang akan menikah dengan pangeran, tentu adalah putri dari negeri seberang atau minimal anak perdana menteri lah.

Yang jelas gara-gara cerita rakyat juga saat masih kecil, goal saya adalah diangkat menjadi sirkel kerajaan.

Tapi itu semua berubah ketika saya punya anak dan membelikannya buku cerita rakyat sebagai pengantar tidur. Saya pikir sensasi menyenangkannya akan sama, tapi saat saya baca kembali cerita-cerita rakyat ini, saya merasa banyak sekali hal yang nggak relevan dan nggak sesuai value yang saya anut. 

Sangkuriang, jelas cerita ini nggak waras dan agak gore. Lalu cerita-cerita di mana para Raja meminta bantuan orang-orang, dan sebagai imbalannya bagi yang berhasil akan dinikahkan dengan putrinya. Sebagai seorang ibu setengah feminis dari satu anak perempuan, tentu membaca cerita yang isinya perempuan dijadikan sebagai objek, haram hukumnya.

Tapi di antara semua cerita rakyat, yang paling bikin saya gemes adalah cerita-cerita yang isinya tentang ibu yang mengutuk anaknya. Entah itu jadi batu lah, jadi naga, atau tenggelam oleh banjir yang besar.

Selain Malin Kundang, ada juga cerita rakyat tentang anak-anak durhaka lainnya. Beberapa yang saya baca belakangan ini adalah Hikayat Dang Gedunai dari Riau dan Legenda Batu Menangis dari Kalimantan Barat. Cerita-cerita ini memiliki satu kesamaan, yaitu anak-anaknya dikutuk oleh ibu kandungnya sendiri.

Dang Gedunai yang merupakan legenda tentang naga air di Riau ini memiliki kesamaan dengan cerita anak perempuan di Batu Menangis, kelakuannya sama-sama kurang ajar terhadap ibunya. Harusnya mereka ketemu di tengah-tengah, di Jakarta misalnya, lalu jatuh cinta dan menikah biar sama-sama pusing dengan tingkah laku satu sama lain.

Dang Gedunai adalah seorang anak laki-laki yang pemalas. Sementara ibunya bekerja, dia malas-malasan. Saat diminta untuk bekerja, ia malah marah-marah dan meminta ibunya untuk masak karena ia lapar.

Sementara dalam Legenda Batu Menangis, anak perempuannya ini digambarkan sebagai wanita cantik yang senang sekali bersolek. Karena kecantikannya yang paripurna ini, ia jadi lupa daratan, tidak mau bekerja dan kerjaannya hanya dandan. Suatu saat ibunya meminta bantuan, perempuan ini malah memaki ibunya dan minta dimasakan air untuk mandi.

Anak-anak ini kurang ajar, tapi kenapa Dang Gedunai bisa jadi anak pemalas seperti ini? Dan anak perempuan di cerita Batu Menangis bisa jadi anak pesolek yang manja? 

Apakah sejak kecil mereka begitu dimanjakan dan tidak pernah diminta atau diajak bekerja? Padahal kan mereka miskin ya, kok ibunya yang sibuk bekerja di ladang bisa-bisanya masih punya banyak waktu untuk melayani anak-anak mereka. Nggak emosi kah lihat anak-anaknya malas-malasan saat masih kecil? 

Saya nggak semiskin Dang Gedunai, tapi kalau nggak membantu cuci piring, sudah pasti akan dimarahi dan kesalahan saya diungkit terus selama tiga hari tiga malam. Tapi kemampuan ibu saya hanya sampai di situ saja. Ibu saya katanya tidak pernah terpikir untuk mengutuk saya. Baginya, marah saja sudah cukup.

Tapi lain lagi dengan ibu Dang Gedunai dan Batu Menangis.

Setelah anak-anak yang mereka beri makan dan mereka bentuk seperti itu akhirnya dewasa lalu menjadi manusia setengah dajjal, lantas ibu mereka ini langsung merasa jadi manusia paling teraniaya.

“Kenapa anakku melakukan hal seperti ini?” tentu karena ibu nggak tegas, Buuu!

Padahal jelas-jelas kesalahan ada di mereka yang mungkin nggak pernah marah, dan diam-diam saja saat anak-anaknya memerintah mereka.

Setelah merasa jadi manusia paling teraniaya, dan playing victim, Ibu Dang Gedunai dan ibu Batu Menangis lalu mengutuk anak-anak ini atas dosa yang telah anak-anak mereka perbuat. Konon katanya anak-anak ini tidak berbakti, padahal salah siapa hayo anaknya tidak berbakti?

Enak banget ini, bertahun-tahun salah mendidik anak, giliran gagal langsung minta backingan dewa, Hih!

Penulis: Nia Purnamasari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Cukup Malin Kundang Saja yang Dikutuk, Pemerintah Jangan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version