Ibadah Kurban dan Solidaritas Kemanusiaan

ibadah kurban

ibadah kurban

Sebenarnya, hari raya kurban adalah terjemahan harfiah dari Idul Adha. Kata “Adha” terambil dari akar kata yang artinya “berkurban”. Biasanya istilah kurban dan berkurban memiliki arti yang berbeda, bila kita berkata kurban, maka artinya sesuatu yang menimpa seseorang akibat ulah orang lain. Sementara kata berkurban lebih merujuk pada jenis persembahan kepada sesuatu.
Dalam bahasa Indonesia, kurban bermakna derita atau kerugian yang dialami akibat ulah pihak lain. Tapi bila saya berkata “berkurban”, maka lebih identik pada penggambaran suatu aktivitas yang menunjukkan pada kesetiaan atau mengandung makna kebaktian, misalnya seperti kalimat “kita berkurban untuk bangsa dan negara”. Inilah pengertian yang umum dimaknai dalam terminologi bahasa Indonesia untuk menyebut kedua istilah tersebut.
Hemat saya, kata “kurban” dalam arti ibadah terambil dari bahasa Arab yang berakar kata “qurb” (dekat) dan ditambah imbuhan “an” (sempurna). Sehingga boleh dikatakan bahwa daging korban itu merupakan simbol dari suatu aktivitas yang dipersembahkan kepada Allah dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya. Kurban model ini adalah sesuatu yang sempurna dan sebuah bukti kesetiaan, pengagungan, dan kebaktian kepada Allah.
Jadi, hari raya kurban atau Idul Adha adalah satu hari raya di mana terdapat sesuatu yang disyariatkan bagi setiap muslim untuk menyembelih binatang. Boleh dikata, bahwa manusia yang sadar akan kehambaannya pasti merasa memiliki hutang budi kepada Allah, sehingga kurban yang dia laksanakan juga dalam rangka membalas budi itu.
Di dalam Alquran, kata korban muncul sekitar tiga kali. Salah satu makna kurban dalam Alquran melukiskan tentang peristiwa “kurban” pertama kali yang dilakukan oleh manusia. Hal ini dilakukan oleh dua orang anak adam, Qobil dan Habil. Seperti tergambar dalam Surat Al-Maidah ayat 5, “Bacakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam dengan sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban…”
Dalam perkembangannya, manusia sadar bahwa semakin besar dan tinggi nilai yang dikurbankan, maka Allah akan semakin senang dengan orang yang berkurban. Karenanya, dalam sejarah, ada Nabi-nabi yang begitu ingin mempersembahkan sesuatu dalam bentuk kurban agar Allah merasa senang kepadanya, bahkan sampai mau berkurban berupa anak manusia.
Sejarah mencatat, misalnya seperti keberadaan orang-orang Mexiko yang menyembah matahari, mereka berkurban atau mempersembahkan sesuatu kepada apa yang diyakininya berupa jantung dan darah. Orang-orang Mesir zaman dulu, memiliki tradisi mempersembahkan seorang gadis cantik di sungai Niel. Orang-orang Kan’an di Irak, juga memiliki kebiasaan berkurban dengan mempersembahkan seorang bayi. Riwayat kisah kurban dari berbagai belahan dunia ini juga tidak lepas dari peristiwa yang sangat kita kenal dari kisah Nabi Ibrahim yang darinya kita mengenal syariat kurban.
Dari sisi kesejarahan ini tergambar dengan jelas bahwa peristiwa kurban sebagai bentuk ibadah, sebenarnya telah banyak dilakukan oleh berbagai kelompok di penjuru dunia dan puncaknya dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebagai bentuk persembahan yang setinggi-tingginya kepada Allah. Bagaimana tidak, Nabi Ibrahim berani mengambil resiko dengan mengorbankan anaknya untuk disembelih setelah mendapatkan titah dari-Nya lewat mimpi.
Kendati pada akhirnya Allah memberikan keringanan kepada Ibrahim agar mengganti kurban atas nama anaknya dengan seekor domba saja, langkah pengabdian Ibrahim dan Ismail ini sungguh merupakan ibadah dan pengorbanan yang sangat besar. Dengannya, kita dituntut untuk meneladani dengan memberikan sepenuhnya cinta kita kepada Allah, mengalahi cinta kepada harga, keluarga, dan kedudukan.
Kiranya, ibadah kurban ini haruslah dimaknai dalam pengertian yang seluas-luasnya dan maknanya harus disesuaikan dengan semangat zaman, yakni sebagai aksi-aksi kemanusiaan dalam konteks kepedulian sosial. Sebab, selama ini aksi-aksi kemanusiaan dari ajaran agama, seperti zakat dan kurban lebih bersifat fisikal dan cenderung beredar dalam kelompok internal agamanya sendiri. Akibatnya, ibadah yang berdimensi sosial ini kurang menyentuh akar kemanusiaan.
Di samping itu, kita juga perlu pahami bahwa ibadah kurban merupakan mata rantai dari ibadah haji, yang arti luasnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dan pada saat yang sama memiliki peranan sosial yang sangat besar. Ia bukan semata-mata ibadah individual si pelaku kurban kepada Allah, melainkan juga terdapat unsur kepentingannya bagi si pelaku dan lebih luas lagi untuk sesama manusia .
Artinya, seorang muslim hanya dapat dikatakan dekat kepada Allah bila senantiasa dekat dengan sesama manusia yang berkekurangan dalam hal materi. Bila seorang muslim merasakan kenikmatan harta yang lebih dari cukup, dia harus membagikan kenikmatan itu kepada orang lain, terutama bagi yang berkekurangan.
Jadi, bila sekiranya masih ada seorang muslim yang kaya raya dan berkuasa lalu membiarkan ketimpangan sosial ekonomi berlangsung, sedangkan rakyat masih banyak yang hidup kekurangan, maka sudah sepatutnya untuk mengoreksi kualitas ritual ibadah yang dilakukannya, apakah sudah sesuai dengan hakikat beragamanya, atau malah makin menjauh dari nilai-nilai hakikinya.
Semangat untuk berkurban sejatinya haruslah dapat menggerakkan kesadaran sosial setiap orang yang memiliki aset ekonomi berlebih. Hal ini dilakukan semata-mata untuk tujuan pemerataan sosial ekonomi yang lahir dari kesadaran moral dan keagamaan seseorang. Dari kesadaran inilah diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi proses pembangunan keadilan sosial dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. (*)

 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Exit mobile version