IAIN Ponorogo Menyimpan 3 Kebohongan yang Perlu Diluruskan

IAIN Ponorogo Menyimpan 3 Kebohongan yang Perlu Diluruskan (Unsplash)

IAIN Ponorogo Menyimpan 3 Kebohongan yang Perlu Diluruskan (Unsplash)

Di antara pembaca Terminal Mojok, ada yang pernah mendengar nama kampus IAIN Ponorogo? Enggak? Yah, nggak heran. Nama kampus ini masih jauh di bawah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Konon, ada yang menyebut 2 kampus tersebut sebagai kiblatnya PTKIN se-Indonesia.

Walaupun begitu, kamu nggak bisa memandang IAIN Ponorogo sebelah mata. Kampus ini juga memiliki sejumlah prestasi. Misalnya, IAIN Ponorogo masuk 10 besar kampus PTKIN terbaik 2023. 

Mengutip pendis.kemenag.go.id, IAIN Ponorogo menempati peringkat ke-7. Bahkan, kampus ini berada di atas UIN Sunan Ampel Surabaya yang notabene-nya merupakan induk dari IAIN Ponorogo. UIN Sunan Kalijaga? Ada di peringkat 4.

Nah, setelah membaca beberapa tulisan di Terminal Mojok, saya menemukan beberapa tulisan tentang kebohongan atau stereotip yang salah, tetapi melekat di suatu kampus. Ya, sebut saja Unnes, Unsoed, dan UIN Walisongo. Melihat itu, saya menjadi terpantik. Lah, ini juga terjadi di kampus saya. Apa sajakah itu?

Baca halaman selanjutnya: Cap dan kebohongan lainnya yang menempel kepada nama IAIN Ponorogo.

Banyak yang mengira IAIN Ponorogo adalah STAIN. Bohong itu!

Pertama, soal status kampus. Jadi, status kampus saya berubah menjadi IAIN Ponorogo pada 2016. Namun, meski sudah berubah, nama kampus saya tetap kurang dikenal, bahkan oleh masyarakat Ponorogo sendiri. 

Misalnya, saya pernah ditanya oleh seseorang saat hendak membayar UKT di bank. Orang itu bertanya kepada saya kuliah di mana. Saya menjawab kalau saya kuliah di IAIN. Spontan, orang itu langsung menjawab, “Oalah, STAIN to, Mas.”

Masih banyak masyarakat Ponorogo yang masih lekat dengan nama STAIN dan kurang mengenal IAIN. Memang, nama STAIN yang disandang oleh kampus ini cukup lama sekali, ya mulai sekitar 1997 hingga 2016. Mungkin ya ini sebabnya masyarakat Ponorogo lebih familiar dengan nama STAIN Ponorogo daripada IAIN Ponorogo.

Saya menemukan hal berbeda ketika ngobrol dengan orang yang lebih tua. Mereka justru tidak mengenal nama STAIN Ponorogo atau IAIN Ponorogo. Yang mereka kenal adalah Watoe Dhakon atau IAIN Sunan Ampel. 

Ya maklum, nama Sunan Ampel sudah melekat pada kampus ini. Secara dulunya kampus IAIN Ponorogo merupakan cabang dari UIN Sunan Ampel (yang dulunya masih bernama IAIN Surabaya). Sementara itu, nama Watoe Dhakon diambil dari nama gedung yang menjadi ikon IAIN Ponorogo. Dulu, gedung ini sangat megah dan tinggi menjulang, ya karena dulu gedung kampus nggak banyak yang tinggi, gak kaya sekarang.

Sehingga, bagi maba IAIN Ponorogo, jangan kaget ya. Misalnya nanti ditanya orang harus jawab apa. Atau jika ada orang yang menyebut kampus kamu ini dengan sebutan lain, jangan bingung, ya.

Mendapat julukan kampus hijau. Bohong!

Sebagaimana kampus lain di tanah air, kampus IAIN Ponorogo juga memiliki julukan yang sangat melekat dan khas. Julukan tersebut adalah “kampus hijau”. Yaps, adanya julukan kampus hijau yang melekat pada satu-satunya kampus Islam negeri di wilayah karesidenan Madiun ini juga tak lepas dari polemik yang menyelimuti.

Wajar sih, jika kampus ini dijuluki kampus hijau. Sebab, jika kalian berkunjung di kampus ini (baik kampus 1 maupun kampus 2), semua bangunan kampus didominasi dengan cat warna hijau, kecuali gedung Graha Watoe Dhakon serta gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Ya, kalau cuma warna cat gedung, cukup sesuai dengan julukan ini.

Secara nomenklatur, julukan “kampus hijau” diberikan kepada perguruan tinggi yang sudah bisa mengelola lingkungan hidup. Namun, apakah ini sesuai dengan realita di kampus ini? Bohong, sih, tapi sudah diupayakan.

Di samping itu, dengan dominannya warna hijau di kampus ini, masih banyak orang Ponorogo yang beranggapan bahwa kampus ini adalah underbow dari salah satu ormas Islam yang itu. Yaps, itu loh yang diketuai sama Gus Yahya. Agak menggelitik emang, tapi ya itu sudah menempel di masyarakat. Di sini saya mau sedikit meluruskan ya, bahwa IAIN Ponorogo itu kampus negeri. Sehingga tidak hanya ada satu ormas tertentu saja, tetapi juga mewadahi seluruh mahasiswa Islam.

Kuliah di IAIN? Mau jadi modin? Ya nggak, lah!

Salah satu cap yang sangat salah melekat di IAIN Ponorogo. Yaitu, kalau kamu bilang kuliah di IAIN, pasti orang keukeuh menganggap kamu akan “berprofesi” sebagai modin. Jadi, modin adalah sebutan lain bagi seorang perangkat desa yang tugas utamanya mengurusi masalah agama dan sosial, misalnya mengurus kematian seseorang.

Saya akui bahwa kampus IAIN merupakan institusi di bawah naungan Kemenag yang berisikan berbagai jurusan agama. Terlebih lagi, IAIN Ponorogo dulunya merupakan cabang dari kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya (sekarang UIN Sunan Ampel). Jurusan yang pertama kali dibuka saat itu adalah jurusan Ahwal Syahsiyah (sekarang Hukum Keluarga Islam) dan Qodlo.

Ya, dengan sejarah tersebut, tidak salah juga sih kalau ada yang beranggapan demikian. Namun, ya pendapat ini tidak benar. Sebab, sekarang, jurusan yang dibuka sudah sangat beragam, mulai dari Pendidikan, Hukum, Ushuluddin, dan juga Ekonomi. Jadi nggak melulu soal modin ya.

Itulah tadi cap dan kebohongan yang melekat pada IAIN Ponorogo. Saya memang hendak meluruskan, tetapi juga nggak sepenuhnya menyalahkan juga. Ada juga cap lain yang melekat di kampus ini. Misalnya saja Madrasah Kulon Bangjo. Ya, mau gimana lagi? Orang isinya lebih kaya sekolah, bukan institusi perguruan tinggi. Gitu sih.

Penulis: Miftakhu Alfi Sa’idin

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Ponorogo, Kota dengan Sejuta Julukan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version