Hutan Blora Sudah Tak Mistis, Kini Malah Kritis Akibat Alih Fungsi Lahan

Hutan Blora Sudah Tak Mistis, Kini Malah Kritis Akibat Alih Fungsi Lahan

Hutan Blora Sudah Tak Mistis, Kini Malah Kritis Akibat Alih Fungsi Lahan

Kabupaten Blora dikenal sebagai daerah dengan kawasan hutan terluas di Jawa Tengah, yakni mencakup sekitar 13,96% dari total luas hutan di provinsi ini. Tak mengherankan bila keberadaan hutan menjadi hal yang lazim ditemui di wilayah ini, apalagi hampir setengah dari luas wilayah Blora terdiri atas kawasan kehutanan.

Bagi kalian yang pernah melintasi jalur antara Cepu dan Blora Kota, pasti tahu betul suasana hutan Blora yang dulu begitu lebat dan sunyi, bahkan kerap memunculkan rasa merinding, terutama saat pagi-pagi buta atau menjelang malam. Tapi beberapa waktu lalu, saat saya kebetulan melewati jalur itu lagi, saya cukup terkejut. Deretan pohon jati tinggi yang biasanya mendominasi pemandangan kini tergantikan oleh hamparan tanaman jagung yang tampak subur dan siap panen.

Maklum saja, sudah cukup lama saya tidak melintasi jalur ini karena belakangan lebih sering memilih naik kereta saat pulang kampung. Lebih cepat, lebih santai, dan tentu saja tidak harus menyusuri hutan panjang yang dulu terasa menyeramkan. Tapi kali ini, ketika akhirnya kembali lewat jalur hutan Blora, saya justru diliputi rasa asing, seperti mengambil rute yang salah.

Untungnya, teman saya yang ikut dalam perjalanan meyakinkan saya bahwa kami memang berada di jalan yang tepat. Ini memang jalur yang biasa kami lalui dulu, hanya saja nuansa hutannya sudah tak lagi sama.

Blora memang daerah penghasil jagung

Tidak bisa dimungkiri, Blora memang menjadi salah satu daerah penghasil jagung utama di Jawa Tengah. Produksi jagungnya cukup tinggi dan menjadi tulang punggung ekonomi pertanian bagi banyak warga desa yang tinggal di Blora, terutama bagi yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Jadi wajar saja jika peluang untuk memanfaatkan sebagian lahan hutan menjadi area menanam jagung langsung disambut sangat antusias.

Tanaman jagung dianggap cocok dengan kondisi tanah dan iklim Blora, serta punya siklus panen yang relatif cepat. Artinya, hasil dari bertani jagung bisa langsung dirasakan, dan pastinya bisa membuat dapur untuk tetap ngebul. Meskipun demikian, justru karena terlalu cocok inilah, jagung pelan-pelan menjadi “penguasa lahan”. Dari awalnya hanya sebagai selingan di sela pohon jati, sekarang banyak kawasan hutan yang identitasnya nyaris hilang karena sudah di dominasi ladang jagung.

Produktif, tapi kehilangan karakter

Perubahan wajah hutan Blora ini tentu bukan tanpa sebab. Sebagai lahan hutan produksi memang secara resmi diperbolehkan untuk ditanami jagung, khususnya melalui program perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat sekitar hutan. Melalui kerja sama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau Kelompok Tani Hutan (KTH), masyarakat diberi akses untuk mengelola lahan dalam rangka mendukung ketahanan dan swasembada pangan nasional.

Secara ekonomi, jelas langkah ini punya nilai strategis. Lahan yang sebelumnya ditumbuhi tanaman liar kini bisa dioptimalkan untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan sekaligus meningkatkan pendapatan petani lokal. Namun, di balik keberhasilan tersebut, ada hal yang diam-diam turut tergeser: karakter dan jiwa dari hutan itu sendiri. Ketika hamparan jagung menggantikan rimbunnya pohon jati, bukan hanya perubahan visual yang terjadi, tetapi juga pergeseran makna. Hutan Blora yang dulu disegani karena keangkerannya—karena sunyinya yang memaksa orang berdoa saat melintas—kini berubah menjadi sekadar lahan pertanian.

Perubahan Hutan Blora yang justru memicu bencana

Ironisnya, kehilangan aura angker hutan bukanlah satu-satunya dampak dari alih fungsi lahan. Tanpa perhitungan yang matang, perubahan tersebut justru dapat berpotensi menimbulkan bencana. Belum lama ini, saya membaca berita tentang banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Blora. BPBD mencatat bahwa 10 kecamatan terdampak dan sekitar 1.600 rumah warga terendam air. Sebagai orang yang mengenal Blora sejak lama, saya merasa semakin asing. Sepanjang ingatan saya, Blora tak pernah mengalami banjir sebesar ini.

Dari situ, timbul pertanyaan: apakah alih fungsi hutan menjadi ladang jagung memang sudah dipikirkan secara menyeluruh? Sudahkah risiko jangka panjangnya benar-benar dipertimbangkan sebelum keputusan itu diambil?

Terlebih lagi, mengutip pernyataan Kepala BPBD Blora, Mulyawati, yang menyebutkan bahwa banjir terjadi akibat meluapnya debit air dari Bengawan Solo dan Sungai Lusi, yang semakin diperburuk oleh konversi hutan menjadi lahan pertanian jagung. Hal ini jelas menunjukkan bahwa perubahan lahan menjadi pemicu bencana banjir melanda Kabupaten Blora.

Bukan berarti pertanian jagung harus disalahkan, namun bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan ruang itu dilakukan secara bijak—itu yang lebih penting. Jika tidak, Blora tampaknya akan terus kehilangan lebih banyak dari sekadar suasana hutan yang dulu menyeramkan. Ia bisa kehilangan identitas, kehilangan daya dukung alam, dan pada akhirnya, menghadapi bencana yang lebih sering dan lebih parah.

Hutan memang tak lagi keramat, tapi jangan sampai kita juga menghilangkan kehormatannya sebagai bagian dari kehidupan yang layak untuk tetap dijaga.

Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Ironi Kabupaten Blora: Menerima Mie Gacoan dengan Tangan Terbuka, tapi Mati-matian Menolak UNY, Lebih Penting Hiburan ketimbang Pendidikan!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version