Sudah jadi rahasia umum kalau jalanan Jakarta itu menyebalkan. Sudah macet, beberapa titik jalan tidak mulus, penggunanya nggak tertib lagi. Pokoknya melewati jalanan Jakarta sehari-hari itu menyebalkan. Kondisinya semakin parah ketika musim hujan seperti sekarang ini. Jalanan Jakarta bak neraka.
Saya sudah hafal pola akhir-akhri ini. Pagi hari langit tampak cerah seolah-olah tidak akan terjadi hujan hari itu. Siang harinya, matahari menyengat begitu terik. Namun, jangan tertipu, sebab memasuki sore hari sekitar pukul 5 sore, tiba-tiba langit mendung. Tidak lama setelahnya akan turun hujan.
Artinya apa? Artinya warga Jakarta harus menghadapi jalanan yang menyebalkan. jalanan akan basah (bahkan mungkin banjir, ojek online langka, tarif akan naik tiga kali lipat. Apabila tidak nekad menerjang hujan, kalian akan terjebak di kantor. Tapi, kalau diterabas, kalian akan basah kuyup. Ujung-ujungnya pilek.
Musim hujan di Jakarta adalah mimpi buruk bagi pengguna sepeda motor
Naik motor waktu hujan di Jakarta itu bukan sekadar perjalanan. Itu ujian hidup. Jalanan licin, pandangan buram, dan pengendara lain melaju tanpa logika. Jas hujan tipis yang saya beli di pinggir jalan cuma bertahan lima menit sebelum air tembus sampai ke dalam kaus.
Saya pernah sampai rumah dengan celana seperti baru dicelup di ember, kaus nempel di badan, dan sepatu mengeluarkan suara berdecit tiap melangkah. Kalau ada lomba “siapa yang paling basah sampai rumah” saya mungkin juara bertahan tiga tahun berturut-turut.
Dan, lucunya, hujan di Jakarta itu nggak bisa ditebak. Kadang deras banget, tapi sebentar, kadang gerimis kecil tapi tahan tiga jam. Saya sering nunggu hujan reda di warung, tapi pas hujan berhenti dan saya jalan, tiba-tiba hujan lagi.
Akhir pekan jadi terganggu
Bagi banyak orang, khususnya para pekerja, akhir pekan adalah saat ditunggu-tunggu. Beberapa orang menghabiskan waktunya dengan rebahan, tapi tidak sedikit juga yang keluar rumah untuk melepas penat.
Saya tipe yang ke-2. Saya suka nongkrong, cuci mata, atau sekadar jalan-jalan ke taman di akhir pekan. Namun, rencana healing saya di akhir pekan terganggu oleh hujan.
Sabtu pagi yang mestinya cerah untuk jalan ke kafe, malah diguyur hujan sampai sore. Akhirnya, bukan nongkrong di luar, tapi rebahan di kamar sambil nonton hujan di jendela.
Dan, yang paling ngeselin, begitu Minggu sore, pas besoknya udah mau kerja lagi, hujan malah berhenti. Langit tiba-tiba cerah seperti tidak pernah berbuat salah. Sementara banyak orang sudah terlalu malas untuk keluar rumah di saat itu. Mending mempersiapkan diri menyambut hari Senin.
Musim hujan di Jakarta mengajarkan pasrah
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan: mungkin hidup di Jakarta memang butuh payung lebih dari satu. Satu untuk melindungi dari hujan, satu lagi untuk menahan emosi, dan satu lagi untuk menutupi kenyataan bahwa kita sebenarnya udah capek banget dengan ritme kota ini.
Tapi, ya begitulah, meski tiap hari basah kuyup, kita tetap bangun lagi besok pagi, tetap berangkat kerja, tetap berharap hujan kali ini datangnya malam saja, biar kita sempat pulang dengan kering, meski cuma sekali seminggu.
Dan, kalaupun nanti hujan tetap turun pas jam pulang kerja, ya sudah. Setidaknya kita bisa bilang ke diri sendiri. “Tidak apa-apa, toh aku sudah terbiasa. Aku dan hujan, hubungan kami rumit: aku benci dia, tapi dia selalu datang menjemput.”
Penulis: Adly Febrian
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
