Sejak Juni kemarin, Hospital Playlist kembali tayang dengan season kedua. Sebuah drama yang berhasil menarik perhatian pada tahun lalu, sehingga akan pantas rasanya banyak yang menantikan drama medis dan slice of life satu ini.
Bercerita mengenai kehidupan sehari-hari para dokter, drama ini menggabungkan tema medis dengan kehidupan sehari-hari sehingga menjadi pembeda dari drama medis lainnya. Aspek slice of life ini adalah hal yang menarik. Dengan menonjolkan tema kehidupan sehari-harinya, kita jadi bisa melihat lebih dalam sosok di balik sebuah profesi, yang dalam hal ini para dokter. Bahwa di balik seragam dokternya, sosok itu tetaplah manusia yang kadang punya hari yang buruk, ngomongin hal receh, melalui banyak suka dan duka dalam pekerjaannya, sosok yang bisa jatuh cinta dan patah hati, hingga sosok yang punya hubungan keluarga.
Dari sekian banyak kepingan plot cerita yang ada di Hospital Playlist, cerita mengenai hubungan Lee Ik Jun dengan anaknya adalah salah satu yang saya sukai. Hubungan mereka sebagai ayah dan anak menggemaskan, namun di satu sisi selalu bisa menimbulkan kesan kasihan. Bagaimana Ik Jun memperlakukan Uju dengan istimewa dan perhatian, membuat hati saya begitu hangat, belum lagi respons Uju yang punya celetukan-celetukan lucu. Tapi di satu sisi, profesi Ik Jun sebagai dokter yang sangat menyita waktu sehingga harus mengorbankan waktu kebersamaannya bersama Uju pun membuat saya ikut patah hati.
Di awal-awal episode dalam season ini, tampak terlihat perkembangan karakter dari Uju. Perlahan, Uju semakin menunjukan kedewasaannya. Seperti dalam episode 3 kemarin, saat Uju dan ayahnya punya waktu bersama, bahkan sedang bernegosiasi untuk punya acara berkemah. Tiba-tiba telepon Ik Jun berbunyi yang setelah diangkat rupanya sebuah panggilan tugas agar Ik Jun segera kembali ke rumah sakit. Sontak raut wajah kecewa terlihat pada Ik Jun yang tampak tak tega pada Uju. Namun secara dewasa, Uju malah mengatakan pada ayahnya untuk segera pergi. Ik Jun tentu merasa bersalah dan harus meminta maaf pada Uju.
Adegan itu jujur saja menimbulkan emosi yang campur aduk. Di satu sisi, saya bangga pada Uju karena kedewasaannya. Sisi lainnya, tentu kasihan. Melihat anak sekecil Uju menumbuhkan sikap dewasa secepat itu justru memberi kesan iba tersendiri.
Cara Ik Jun berkomunikasi dengan Uju adalah hal yang paling saya kagumi dari hubungan orang tua dan anak ini. Sejauh ini, Ik Jun digambarkan sebagai ayah yang asyik. Dia sosok ayah yang bisa bertingkah sebagai anak-anak. Lebih tepatnya, Ik Jun menggunakan bahasa yang sama dengan Uju. Dengan menggunakan gaya berbicara dan bertingkah seperti itu, Ik Jun berusahan memposisikan dirinya sebagai teman buat Uju. Bahkan, sejauh ini, belum ada adegan yang memperlihatkan Ik Jun menegaskan kesuperioritasan posisinya sebagai bapak pada Uju.
Ik Jun menunjukkan kesabarannya dalam berkomunikasi dengan Uju. Ik Jun bahkan menikmati setiap menitnya untuk meladeni alur komunikasi Uju yang kadang punya celetukan hingga pertanyaan ajaib. Tentunya ditanggapi dengan sabar menggunakan bahasa dan logika yang sesuai dengan pemahaman Uju. Hal itu nggak mudah, lho. Meladeni anak-anak memang butuh kesabaran tingkat tinggi. Kalau mudah, kita nggak bakalan menjumpai ibu-ibu atau bapak-bapak yang risih sama anak-anak yang serba nanya. Bukannya dijawab atau dikasih pengertian, eh malah dihus-husin bagai pitik, dibentuk suruh diam pula. Itu tandanya menghadapi anak kecil nggak mudah. Tapi, Ik Jun kok kelihatan gampang, ya? Mungkin karena dia memang menikmati tiap detik kebersamaannya dengan Uju.
Namun tentu hubungan Ik Jun dan Uju bukanlah hubungan ayah dan anak yang sempurna. Ik Jun harus berbesar hati merelakan waktunya bersama Uju ketika bersinggungan dengan pekerjaan. Di Hospital Playlist, diperlihatkan bahwa jadwal kerja dokter itu super sibuk dan super padat. Karena urusannya nyawa manusia, tentu saja para dokter ini nggak bisa bertingkah seperti saya yang kalau ada panggilan kerjaan masih bisa nunda-nunda sambil bilang, “Iya nanti”, “Bentar”, atau “Masih tanggung.” Mau dihantui pasien?
Kerjaan dokter saja sudah sebegitu menyulitkannya, belum lagi posisi Ik Jun sebagai single father menambah tantangan tersendiri untuk membesarkan Uju. Hal-hal seperti inilah yang membuat Uju semakin dewasa dan pengertian pada ayahnya. Untungnya, rasa kecewa Uju nggak mengarah jadi sosok anak pemberontak yang minta perhatian dengan tingkah merepotkan. Mungkin, karena Ik Jun terlalu cute untuk disebelin Uju. Dia terlalu cinta sama ayahnya.
Jelas saja, selama ini nggak ada adegan Ik Jun membentak Uju. Ik Jun pun selalu ikut alur obrolan Uju tanpa protes. Bahkan Uju termasuk punya sisi cari perhatiannya sendiri dan Ik Jun dengan sabar meladeninya sesuai maunya jika memang waktunya mendukung. Dan ketika kerjaannya mengganggu, Ik Jun akan berbesar hati meminta maaf pada Uju, meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Karena itulah wajar rasanya kalau Uju menyayangi atau minimal nggak bisa membenci ayahnya. Sehingga justru Uju yang mencoba lebih pengertian dan dewasa. Meski kadang kasihan, saya paham bahwa ini adalah yang terbaik buat mereka berdua.
Saya nggak bermaksud menjadikan sosok Ik Jun sebagai patokan, hanya mengapresiasinya. Toh kondisi orang kan memang beda-beda, nggak semua kayak Ik Jun. Saya paham, menjadi orang tua khususnya orang tua tunggal, memang nggak mudah. Jelas nggak selalu sebahagia apa yang diperlihatkan Ik Jun dan Uju.
Kisah Ik Jun dan Uju memang fiksi. Tapi apa yang dilakukan Ik Jun setidaknya memberikan pilihan referensi image sebagai sosok bapak. Sebagai sosok yang berusaha mengatur work-life balance-nya, yang bertanggung jawab dengan tugas profesionalnya. Dan juga memperhatikan kehidupan pribadi khususnya keluarga, apalagi anak, untuk memperhatikan tumbuh kembang fisik dan mentalnya. Kalaupun nggak tercapai sepenuhnya nggak apa-apa, setidaknya ada usaha sebaik mungkin.
Sumber Gambar: Dailymotion
BACA JUGA Panduan Menjalin Hubungan Harmonis ala Pasangan Winter Garden dalam Drakor ‘Hospital Playlist’ Season 2 dan tulisan Muhammad Sabilurrosyad lainnya.