Katanya, sih, tenis meja adalah hobi bapak-bapak sepanjang masa. Kok, bisa? Apa memang betul begitu?
Namanya hobi sering kali dipengaruhi situasi sosial. Kadang dipengaruhi tren, kadang pula dipengaruhi lingkungan. Jadi kita bisa memaklumi ketika hobi seseorang bisa berganti-ganti. Apalagi jika bicara bapak-bapak. Konon, bapak-bapak itu “boys will be boys”. Jadi lumrah jika golongan paruh baya ini selalu punya hobi sebagai bentuk aktualisasi diri.
Kemarin-kemarin, bersepeda menjadi hobi yang paling ngetren di antara mereka. Bercocok tanam hadir menggantikan bersepeda. Beberapa ada yang mulai jadi kolektor barang-barang tidak penting. Pokoknya hobi bisa berubah-ubah. Apalagi jika kita bicara dalam lingkup sosial kampung. Ada yang bersepeda, semua pengin. Ada yang berkebun, semua ikut. Pokoknya ikut-ikutan dan tidak konsisten.
Namun, masih ada satu hobi komunal yang konsisten. Bahkan sukses bertahan di tengah kemajuan teknologi hari ini. Sebuah hobi yang tidak hanya menyehatkan, tapi juga menjadi ruang interaksi bagi bapak-bapak kampung. Dari zaman bapak saya masih bujang sampai saya ditanya kapan nikah, hobi ini masih bertahan di antara kehidupan kampung dan suburban. Hobi itu adalah ping-pong alias tenis meja.
Entah siapa yang memelopori, tapi tenis meja seperti menjadi olahraga wajib yang harus ada di setiap RT atau RW. Saya pun mengalami kesulitan mencari literasi perihal masuknya tenis meja ke dalam kehidupan bapak-bapak kampung. Namun, dari banyak bapak-bapak boomer yang saya tanyai, setidaknya sejak tahun 70-an kultur ini telah akrab dalam dunia malam bapak-bapak.
Tenis meja juga lebih dari sekadar olahraga. Buktinya tidak hanya pemain saja yang duduk mengelilingi meja permainan. Meskipun Anda tidak bisa bermain, Anda tetap bisa ikut berkumpul bersama di lokasi. Anda bisa menghabiskan malam dalam cengkrama bapak-bapak, dan pamit pergi ping-pongan kepada istri. Setidaknya, pamit Anda terdengar positif.
Interaksi sosial di sekeliling meja ping-pong saya lihat sebagai faktor utama abadinya olahraga ini. Tentu kita maklum jika bapak-bapak kampung butuh waktu untuk ngobrol ngalor ngidul tanpa peduli pada intelektualitas obrolan. Dan tenis meja menjadi solusi murah untuk obrolan ini. Daripada jajan dan makin boros, lebih hemat nongkrong di tempat tenis meja, kan?
Perkara hemat, ia jelas memiliki kelebihan. Dibandingkan olahraga khas bapak-bapak seperti bulu tangkis dan futsal, tenis meja jelas lebih hemat. Minimal hemat ruang. Ringkasnya ia membuat olahraga bisa diadakan di dalam balai kampung, teras warga, atau di samping pos ronda. Selain itu, ia juga bisa dilakukan tanpa peduli waktu dan cuaca. Apalagi jika dilakukan secara indoor.
Bayangkan saja jika setiap RT punya lapangan bulu tangkis sendiri. Berapa banyak lahan non produktif yang harus dikorbankan demi hobi bapak-bapak? Atau bayangkan jika hobi bersepeda dilakukan secara indoor karena hujan. Bukankah malah terlihat seperti balita belajar naik sepeda?
Meskipun terkesan hemat, tapi tetap ada nilai sosial yang besar dari sebuah meja tenis meja. Sering kali pengadaan meja dan perangkat tenis meja menjadi rebutan untuk menunjukkan kekayaan seseorang. Dan siapapun yang berkenan membelikan perangkat tenis meja bahkan menyediakan lokasi, blio akan menjadi sosok spesial setiap rapat dan arisan.
Selain personal, pengadaan peralatan ini bisa menjadi proyek parpol atau ormas. Tentu pengadaan ini lebih memungkinkan daripada membuka lapangan futsal. Meja ping-pong menjadi CSR bagi kader parpol, sembari pamer senyum dan janji di depan bapak-bapak yang disumbang.
Sayang sekali, meja ping-pong tetaplah meja ping-pong. Meskipun disumbang kader, pandangan dan pilihan politik seseorang tetaplah personal. Pernah ada keributan karena seorang kader ingin menarik kembali meja ping-pong yang disumbangkan. Alasannya: kalah pemilu.
Kembali bicara ping-pong atau tenis meja, hobi satu ini juga aman dari grebekan aparat. Ketika karambol dan remi penuh dengan kesan judi, ia menjadi hobi yang jauh dari kesan judi. Selain itu, ia terkesan lebih menyehatkan daripada karambol. Toh, lebih baik mandi keringat daripada menghirup partikel bedak pelicin meja karambol.
Namun, bukan berarti ia bebas dari judi. Telisik punya telisik, beberapa ajang tenis meja kampung dijadikan taruhan. Baik antar pemain, sampai antar penonton. Angkanya memang tidak besar, tapi tetap ada perputaran uang. Saya pribadi tidak mempermasalahkan ini. Toh, namanya hobi bapak-bapak tidak bisa lepas dari nominal uang. Eh.
Menurut saya, penjelasan di atas adalah alasan mengapa tenis meja tetap abadi. Meskipun pergerakan zaman menggerus banyak kultur budaya kampung, nyatanya masih ada remah-remah peradaban pinggiran yang tetap eksis hingga hari ini. Salah satunya tenis meja. Suara “ctak-ctak” berbalut riuh sorakan akan tetap menggema seribu tahun lagi.
BACA JUGA Outfit Bapak-bapak Pencinta Burung Sesuai Burung Kesukaannya dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.