Gunung Arjuno punya banyak mitos. Tapi, semua ada tujuannya
Sebobrok apa pun Indonesia di mata internasional dan warganya, ada satu hal yang tak bisa dimungkiri: alam Indonesia begitu indah. Melihat keindahan alamnya, kita akan terbius dan begitu bersyukur dilahirkan di negara yang ditumpahi anugerah, di bagian alam tentunya.
Tempat-tempat indah itu, sebaik mungkin harus kita jaga. Dan mitos, adalah salah satu cara untuk menjaga apa-apa yang sebaiknya terjaga. Dan dalam artikel ini, saya mau bahas bahwa mitos memang efektif—pada kadar tertentu—menjaga alam kita.
Di Jawa Timur, ada dua gunung yang tampak memikat di kalangan pecinta alam, yaitu Gunung Semeru dan Gunung Arjuno. Gunung Semeru memikat sebab keteduhan Ranu Kumbolonya, sedangkan Gunung Arjuno menjerat karena keberadaan situs-situs kuno di dalamnya. Tak heran jika wilayah Gunung Arjuno terkenal dengan kawasan religi. Situs-situs inilah yang membuat Gunung Arjuno lebih dikenal dengan kemistisannya daripada keperkasaan puncaknya.
Tak terhitung jumlah kemenyan maupun sesaji yang saya temui ketika mendaki ke sana bersama teman-teman saya. Selain sesaji dan kemenyan, di area gunung Arjuno sendiri memang menyimpan banyak makam hingga petilasan tokoh-tokoh penting negeri ini. Perpaduan mistis yang sempurna itu akhirnya membentuk beberapa pola mitos yang menaungi keperkasaan Gunung Arjuno.
Terlepas benar atau tidak, mitos-mitos tersebut tetaplah menjadi pesan-pesan kearifan untuk siapapun yang ingin mengunjunginya. Mengamini pendapat yang disampaikan oleh Roland Barthes dalam Mythologies bahwa mitos adalah laku percaya, bukan urusan benar atau salah. Mitos tercipta bukan untuk menerima penghakiman, tetapi untuk urusan kepercayaan.
Oleh sebab itu, sudah seyogianya manusia tidak perlu memerdebatkan kebenaran mitos, karena mitos adalah urusan kepercayaan. Bahkan terkadang seseorang memilih tetap percaya pada suatu hal, meskipun tidak bisa dilihat dengan konkret kebenarannya.
Beberapa mitos di Gunung Arjuno
Mitos pertama yang beredar di Gunung Arjuno adalah larangan mendaki menggunakan busana berwarna merah. Konon, pemakai busana berwarna merah akan diikuti oleh makhluk-makhluk gaib penghuni gunung Arjuno. Memang tidak semua orang membenarkan mitos ini, namun tak ada yang salah dengan menghormati adat masyarakat setempat.
Larangan memakai busana berwarna merah sejatinya tak jauh berbeda dengan larangan memakai busana berwarna hijau kala mengunjungi pantai selatan. Dua-duanya sama-sama mengisyaratkan pesan tentang kearifan masyarakat setempat. Sebagaimana yang diungkapkan dalam peribahasa, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Masyarakat sekitar gunung Arjuno meyakini warna merah sebagai pantangan, maka masyarakat luar sebagai tamu sudah seyogianya menghormati hal yang diyakini tuan rumah.
ika tidak bisa melihat kebenaran di dalam mitosnya, setidaknya bisa melihat kebenaran dari sikap menghargai terhadap keyakinan tuan rumah. Bukankah saling menghargai adalah cerminan manusia-manusia yang memiliki kebersihan hati?
Jangan mendaki saat datang bulan
Mitos selanjutnya adalah larangan mendaki untuk perempuan yang sedang mengalami datang bulan, sebab makhluk-makhluk gaib menyukai bau anyir darah. Jika ditilik berdasarkan kandungan hikmah, larangan ini sejatinya tidak mempersulit perempuan. Tetapi malah menjaga dari hal-hal yang jauh dari kata “menyenangkan”. Ketika mengalami fase datang bulan, sebagian besar perempuan akan menderita sakit perut, kepala pusing, hingga sakit pinggang bagian belakang. Keluhan-keluhan inilah yang nanti bisa berakibat fatal dalam pendakian.
Di tengah trek Arjuno yang cenderung berbatu (sekaligus menjadi sangat licin di musim penghujan), akan membuat pendakian tak lagi menyenangkan seperti yang ada di dalam angan-angan. Tak bisa dibayangkan kala sedang menaiki trek yang sangat menanjak, tiba-tiba pinggang tak lagi kuat menopang tas carrier. Tentu saja pendakian menyenangkan hanya akan tinggal cerita penuh luka gegara keegoisan dan nafsu. Belum lagi persiapan pembalut yang harus sesuai dengan intensitas darah yang keluar, karena di gunung tak ada warung kelontong yang menjual pembalut. Bisa dibayangkan sendiri jika ternyata darah yang keluar jauh melebihi perkiraan.
Berdasarkan alasan logis ini, mitos larangan mendaki saat datang bulan adalah bentuk kehati-hatian dalam wujud lain.
Anggota harus genap
Mitos terakhir yang dibahas dalam tulisan ini adalah jumlah pendaki dalam satu rombongan harus genap. Jika tidak berjumlah genap alias ganjil, akan ada satu orang yang akan hilang. Memang terkesan tidak logis, namun ada pesan kebijaksanaan di balik ketidaklogisan tersebut.
Jumlah pendaki yang genap akan memudahkan pembagian tugas, karena mudah disamaratakan. Misalnya saja jumlah pendaki 4 orang, dua orang mendirikan tenda dan dua orang yang tersisa bertugas mengambil air serta mencari kayu. Lain cerita jika jumlah pendaki hanya 3 orang, maka akan ada satu tugas yang harus dikerjakan oleh satu orang saja. Hal ini dapat memicu banyak risiko, mulai dari kemalasan hingga ancaman dari hal-hal yang di luar kemampuan. Sebut saja seperti lupa jalan pulang atau pingsan di tengah-tengah penugasan.
Akhir kata, mitos adalah nasihat hikmah dalam wujud kearifan lokal. Sejak dulu manusia memang selalu diingatkan untuk menemukan sisi baik di balik sisi yang tampaknya buruk sekalipun⸻apalagi dari sisi yang tidak terlihat buruk. Kurang lebih seperti itu.
Penulis: Akhmad Idris
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sejarah Gunung Arjuno dan Misteri Pasar Setan yang Belum Terpecahkan