Kecoa adalah makhluk yang menjijikan. Entah apa yang dimiliki serangga jahanam ini sehingga bisa bikin saya tergopoh-gopoh lari meski jarak antara saya dan dia masih dalam radius aman—lebih dari 3 meter.
Beruntung selama beberapa minggu ini kucing saya sedang rajin berburu kecoa. Maklum umurnya masih bulanan, jadi sebenarnya bukan hanya kecoa, tapi apa saja yang bergerak akan dikejarnya termasuk kertas-kertas yang ditelan mesin printer dan kaki saya sendiri.
Efeknya dahsyat tentu saja. Kini kecoa jadi jarang berkeliaran di tembok dan lantai kamar tidur serta kamar mandi. Kalau ada satu atau dua yang tidak kapok, saya tinggal mengambil si kucing.
Hanya dalam tempo 1 menit kecoanya sudah terpincang-pincang (tinggal saya sapu sampai jauh sekali) atau kabur keluar, tidak tahan dengan tikaman bertubi-tubi dari cakar dan taring kucing saya. Tidak sampai mati memang, mereka itu susah mati.
Namun anehnya, akhir-akhir ini muncul juga perasaan lain selain rasa jijik pada kecoa, yaitu rasa kasihan. Tentu 95 persen perasaan saya pada kecoak masih rasa jijik dan setiap kali saya melihat kecoa pikiran pertama yang muncul tetap untuk melihatnya mati dengan segera.
Tapi kadang-kadang saya miris juga begitu menyaksikan seekor kecoa lari tunggang langgang dikejar si kucing. Apalagi kucing saya punya orientasi menyiksa bukannya membunuh sehingga butuh waktu lama bagi si kecoa untuk mati.
Bayangkan, dalam proses sakaratul maut-nya itu, kecoa jahanan namun malang harus merasakan puluhan hingga ratusan kali cakaran juga gigitan si kucing yang seringkali bikin kulit saya berdarah.
Beruntung kalau setelah disiksa sedemikian rupa mereka langsung mati. Tapi seringnya, mereka dibiarkan hidup dengan kaki yang sudah buntung delapan-delapannya dan sayap yang robek sana-sini oleh kucing saya yang sadis.
Dibekali sedikit rasa kasihan, saya beberapa kali mengambil sikap. Tadi malam misalnya, saya menyelamatkan seekor kecoa yang sudah pincang dari terjangan kucing saya. Si kucing saya pindahkan sebentar ke ruang lain dan cepat-cepat sambil menahan jijik saya pindahkan kecoa ke halaman.
Meski harus diakui cara saya memindahkan juga cukup kasar, yaitu dengan memakai sapu yang diayunkan keras-keras seperti stik golf ke badan kecoa. Niatnya supaya makhluk jahanam-tapi-kasihan itu melayang sejauh mungkin, dan memang dia melayang cukup jauh. Mungkin sekitar 5 meter.
Maklum, saya kan masih jijik dengan kecoa. Toh si kecoa tadi malam tetap harus berterima kasih karena walau perutnya memar sedikit, sistem syaraf-nya bisa selamat dari penyiksaan malam yang panjang dari si kucing.
Nah, berdasar beberapa kejadian tadi, saya jadi berpikir kalau sebenarnya yang lebih jahanam dari kecoa yang saya sebut jahanam itu adalah si kucing.
Begini, si kucing sudah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit pada makhluk lain (dalam hal ini kecoa, tikus, belalang dan kadang-kadang saya majikannya).
Meskipun dia sendiri juga tidak punya akal untuk tahu kalau kelakuan menyiksa yang dia rasa mengasyikkan itu bisa bikin susah makhluk lain.
Di sisi lain, lihatlah kecoa. Menyakiti orang lain dia tidak pernah. Kalau mau menyakiti pun tidak akan sakit karena beratnya cuma beberapa gram dan kaki-kakinya tidak begitu tajam.
Memang dia kotor dan bisa membawa penyakit, tapi kan kita punya air ditambah sabun. Dan kalau diingat-ingat, jarang sekali ada kecoa yang mau mendekati manusia. Biasanya mereka hanya diam, kitanya saja yang lari ketakutan.
Ironisnya, walau sudah bisa berpikir menggunakan perkakas logika yang cukup valid dan yakin kalau kecoa tidak jahanam-jahanam amat, saya tetap saja membenci mereka.
Kucing, yang sudah saya simpulkan sebagai si jahanam yang sesungguhnya, tetap saya sayangi, elus-elus bahkan beri makan dengan makanan khusus kucing yang butuh usaha yang tidak kecil dalam bentuk uang dan bensin untuk mendapatkannya.
Pikiran saya sudah bulat : kecoa itu sebenarnya tidaklah jahanam dan kucing lucu itu diam-diam adalah makhluk yang kejam. Tapi emosi dan tindak-tanduk saya sehari-hari lain lagi : kecoa ingin saya bunuh, kucing saya elus penuh kasih sayang. Bahkan saking sayangnya, saya pernah buatkan lagu buat si kucing soal bulunya yang kuning dan matanya yang bulat-penuh.
Aneh betul. Dengan kesimpulan di atas, berarti saya secara sadar dan senang hati sudah tertipu oleh si kucing.
Untuk kecoa, maafkan saya karena walau tahu kamu tidak bersalah, kejijikan dan nafsu saya untuk membunuh kamu (dengan perantara kucing) tetap tidak mau hilang. Nasibmu memang menyedihkan. Sudah dibenci, susah mati pula. Setidaknya kalau matimu cepat, kan kamu tidak perlu menderita kelewat panjang.
Mungkin kamu harus berdoa sesekali pada Tuhan, minta sedikit jijik dan hina yang ada pada dirimu terangkat. Atau kalau tidak dikabulkan, minta saja kematian yang lebih cepat dan mudah. Amiin.
Harus diakui kalau kita ini memang makhluk yang amat emosional. Logika dan kompas moral bisa dilompati dengan gampangnya kalau sudah menyangkut yang lucu-lucu atau menggemaskan. Contohnya tidak terbatas hanya pada kucing-kecoa barusan, tapi bisa juga diperluas.
Mulai dari hubungan pertemanan, asmara, makanan kesukaan, musisi favorit sampai ke pilihan politik yang tentu tidak akan saya pakai sebagai contoh karena kalau kurang hati-hati bisa bikin masuk penjara.
Jangankan politik, Bung! Beberapa bulan lalu saja Pandji Pragiwaksono kena protes karena menghina kucing sebagai “anjing”. Saya sendiri bilang kucing sebagai “jahanam”, sebuah konotasi yang lebih buruk.
Tentu saya berani menghina kucing disini karena Mojok tidak seterkenal Pandji. Apalagi saya secara teknis adalah pengangguran, jadi tidak perlu khawatir kalau-kalau dipopulerkan sebagai penista binatang berakhlak jelek dan karier saya (yang tidak saya miliki) ramai-ramai dibikin hancur oleh para netizen.