Harga telur hari ini nggak bisa dianggap sepele. Bahkan bisa dianggap sebagai terancamnya keamanan nasional. Setelah naik pada saat Lebaran, harga telur tak kunjung stabil, dan ini masalah. Pasalnya, telur adalah sumber protein yang harus dan wajib terjangkau untuk segala kalangan. Jika telur mahal, bayangkan berapa juta warga yang terancam. Masalahnya adalah, yang terancam bukan hanya keluarga, atau ibu-ibu, seperti yang ada dalam pikiran kalian. Tapi, juga mahasiswa Jogja.
Lho, ini serius. Saya nggak bercanda sama sekali.
Meski tak benar-benar amat, Jogja dikenal punya harga makanan yang murah. Keberadaan warmindo dan penyetan jadi penyelamat mahasiswa Jogja yang duitnya pas-pasan. Menu-menu seperti mi instan dan nasi telur jadi primadona karena ya… murah. Telur, jadi bahan makanan yang amat krusial.
Tapi stabilitas pangan mahasiswa Jogja berpotensi terancam jika harga telur naik. Pedagang tak bisa terus-terusan berkompromi dan mengurangi keuntungan. Kita berhak protes harga makanan naik, tapi pahami juga bahwa pedagang juga punya keluarga yang harus dihidupi.
Mudah untuk kita bilang carilah alternatif makanan lain, agar tak melulu makan telur. Ya memang itu bisa, tapi tentu saja makan telur itu ada alasannya. Apalagi kalau bukan karena menu itulah yang bisa dijangkau?
Harga telur hari ini, realitas hidup di Indonesia yang pahit
Jangan terlalu terpukau dengan pemandangan coffee shop yang terlihat penuh dan story Instagram mahasiswa Jogja yang datang ke tempat fancy. Realitasnya, kafe murah macam Basabasi jauh lebih sering penuh ketimbang kafe artsy yang muncul di story kawan kalian. Juga, lebih banyak mahasiswa yang hidupnya ngirit demi tidak kelaparan esok hari.
Ada alasan Jogja selalu dipenuhi dan jadi tujuan utama orang untuk melanjutkan pendidikan. Selain memang banyak universitas dengan kualitas mentereng di Kota Istimewa ini, banyak yang masih kemakan omongan kuliah di Jogja itu murah. Teman-teman kalian yang kaya itu minoritas, jangan jadikan tolok ukur. Masih banyak mahasiswa yang beli kopi susu Janji Jiwa aja mengkis-mengkis.
Oleh karena itulah menu nasi telur di burjo (atau warmindo, terserah kalian menyebutnya) jadi favorit. Sebab ya, murah, dan kebutuhan protein dan gizi lain bisa terpenuhi. Rasanya pun masih bisa diterima lidah.
Maka itulah saya bilang harga telur hari ini ini bisa mengancam banyak mahasiswa Jogja. Ya karena makanan yang mereka anggap affordable ini bisa jadi terlihat mewah karena harganya naik. Kalau makanan rakyat jelata saja mulai tak terjangkau, apa yang harus mereka makan? Eceng gondok?
Pemerintah, mau tak mau, harus satset
Peran pemerintah di sini amat krusial. Mereka perlu mencari solusi yang tokcer agar harga telur hari ini tak jadi efek domino yang mengerikan. Lho apa efek dominonya?
Kalau mau bicara efek paling ngeri, ya tentu saja kebutuhan gizi yang tak terpenuhi bikin kualitas manusia menurun. Lha kalau nggak dapet gizi, masak mereka kalian minta mikir berat dan menyelesaikan masalah negara? Ojo yak-yakan jalukanmu.
Selain itu ada satu hal yang jarang dibicarakan, yaitu… kok kebangetan ya rasanya kalau rakyat kesusahan beli telur. Maksudnya begini lho. Indonesia itu nggak bisa juga dibilang negara miskin-miskin amat. Tapi ya, realitasnya, rakyatnya susah untuk punya opsi makan. Masak ya pemerintah nggak malu liat rakyatnya nggak bisa beli bahan dasar kayak telur, bukannya itu jadi contoh sahih bahwa kerja mereka nggak bagus?
Kalau saya sih, malu. Mending sektor lain keliatan gagal, tapi jangan sampai rakyat nggak mampu beli bahan dasar kaya telur. Wah, isin pol nek aku, Lur.
Oh ya, sebagai penutup, jangan sarankan para mahasiswa dan keluarga untuk melihara ayam sendiri biar nggak terpengaruh harga ayam. Saya baru saja menyelamatkan reputasi Anda biar nggak dianggap manusia goblok.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kenaikan Harga Telur Memang Harus Kita Ributkan, kalau Perlu Baku Hantam