Ablasio. Suatu kata yang awalnya terdengar “abrasi” di telinga saya. Ketakutan terhadap “hantu” satu ini muncul di penghujung tahun 2022 kemarin, tepat dua hari setelah petasan tahun baru terdengar di tempat singgah kami di Plosokuning, Sleman. Apa sebenarnya ablasio retina itu?
Ablasio retina adalah kondisi ketika retina terlepas dari posisi normalnya. Dari quick data milik Google, rerata kasus ablasio adalah 150 ribu per tahun di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang saya kutip dari National Institutes of Health, National Eye Institute, ada beberapa kondisi yang berisiko tinggi menyebabkan ablasio retina. Misalnya karena genetik alias keturunan, terjadi kecelakaan serius pada mata, hingga pernah menjalani operasi mata seperti katarak. Tetapi, risiko lain yang mungkin juga terjadi adalah jika seseorang memiliki diabetic retinopathy (diabetes yang berdampak pada pembuluh darah di retina), miopia ekstrem (minus mata di atas 5), pelepasan gel vitreous, dan penyakit mata lainnya.
Cerita kakak saya yang terkena ablasio retina
Kebetulan kakak kandung saya memiliki faktor risiko yang menyebabkan ablasio. Kurang lebih 4 tahun yang lalu, minus mata kakak saya sudah di angka 18 untuk mata kiri dan 17 untuk mata kanan. Tanpa pernah berani konsultasi ke dokter—setelah sebelumnya pernah kecewa akibat ucapan seorang dokter—,akhirnya pada bulan Januari 2022 kemarin kakak saya memutuskan untuk kembali berkonsultasi ke dokter.
Saat itu kakak saya mengalami gejala floaters yang terasa semakin banyak. Dilansir dari Alodokter, floaters adalah bayangan berbentuk bintik atau garis yang tampak mengambang atau melayang-layang pada penglihatan. Floaters disebut-sebut sebagai salah satu gejala ablasio retina.
Floaters terbentuk karena gel vitreous yang normalnya melekat pada retina mengalami degenerasi alias rusak sehingga terlepas. Hal ini menghasilkan floaters yang terlihat cukup mengerikan bagi seseorang yang baru mengalaminya. Kondisi ini cukup mengganggu penglihatan seseorang.
Singkat cerita, berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter spesialis retina, kakak saya didiagnosis ablasio retina. Akhirnya, apa yang ditakutkan kakak saya selama ini pun terjadi. Maka memasuki tahun baru 2023, keluarga kami harus menghadapi kesedihan akan hasil diagnosa dokter terhadap kakak saya. Hantu ablasio, begitu kebanyakan penyintas di grup Facebook dan WhatsApp yang saya ikuti menyebutnya.
Hanya ada dua realitas medis bagi pasien
Pilihan realitas medis bagi pasien ablasio hanya ada dua. Pertama, retina bisa diselamatkan. Akan tetapi pasien harus mengesampingkan atau bahkan membuang jauh ekspektasi bahwa penglihatan bisa kembali normal. Sebab, hal ini hanya bisa terjadi jika ada keajaiban Tuhan. Kedua, pasien tidak akan bisa melihat selamanya alias buta. Sebab, retina yang sensitif cahaya tak mampu lagi berkoneksi dengan saraf.
Salah seorang senior di grup WhatsApp yang bisa kami panggi Pakdhe, adalah seorang penyintas yang sudah menjalani belasan operasi untuk ablasio di mata kanan dan kirinya. Blio terpaksa menjalani operasi tersebut akibat faktor risiko minus tinggi, di atas 20 untuk mata kanan dan kiri. Pakdhe mengingatkan, para penyintas ablasio adalah orang-orang pilihan. Tak semua orang mampu menjalani realitas pahit akan risiko penyakit mata satu ini.
“Kita para penyintas harus terbiasa dengan hantu satu ini. Hantu ablasio yang akan menjadi teman kita selamanya di hari pertama kita menerima diagnosis ablasio retina,” begitu pesan Pakdhe.
Dari sini saya kembali teringat lagu “Sebelah Mata” dari Efek Rumah Kaca. Lagu yang sepertinya juga terwujud atas dasar kondisi mata Adrian Yunan, mantan basisnya. Meskipun bukan karena ablasio, akhirnya saya bisa memahami arti dari lirik “sebelah mataku yang lain menyadari, gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang.”
Gelap itu seperti hantu. Hantu itu bernama ablasio, mengerikannya saat tak terlihat apa pun lagi di sekitar kita seperti dulu.
Penulis: Adi Fakhri Nugrotomo
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Berbagai Cara yang Saya Lakukan Biar Punya Mata Minus dan Bisa Pakai Kacamata.