Secara administrasi, Kota Bandar Lampung merupakan ibukota dari Provinsi Lampung. Kota ini menjadi saksi bisu perjalanan hidup saya sebagai manusia. Mulai dari masa bayi hingga SMA.
Meskipun saya tidak dilahirkan di Bandar Lampung, hampir dua dekade dalam fase kehidupan saya dihabiskan di kota berjuluk Tapis Berseri tersebut. Hal ini disebabkan oleh status papa saya sebagai PNS. Adapun beliau mendapat penugasan di Kota Bandar Lampung sejak dekade 90-an hingga pensiun.
Selama bermukim di kota tersebut, ada beberapa hal yang sangat membekas di dalam ingatan maupun hati saya. Mulai dari kuliner, moda transportasi, hingga kosakata prokem (gaul). Semua itu terangkum di dalam tulisan ini.
Bakso Sony
Kurang afdol rasanya jika berkunjung ke Kota Bandar Lampung tanpa mencicipi Bakso Sony. Meskipun bakso bukan merupakan makanan khas Lampung, kelezatan dari Bakso Sony sudah sangat melegenda di kota tersebut. Hampir semua masyarakat di Kota Bandar Lampung mengetahui makanan ini.
Selain enak, citarasa dari Bakso Sony juga sangat autentik. Hingga detik ini, saya belum pernah menemukan bakso yang memiliki citarasa serupa dengan Bakso Sony. Citarasa dagingnya yang sedikit manis membuat makanan ini terasa unforgettable bagi lidah saya.
Tercatat kurang lebih ada sepuluh cabang dari rumah makan tersebut yang saya ketahui beroperasi di Bandar Lampung. Bahkan cabang dari rumah makan ini juga sempat saya temukan di luar kota Bandar Lampung dan Jakarta. Hal ini semakin menegaskan bahwa kualitas rasa dari Bakso Sony memang tidak perlu diragukan lagi.
Kereta babaranjang
Kereta babaranjang merupakan jenis kereta yang diperuntukkan untuk mengangkut batubara. Bila dibandingkan dengan rangkaian kereta yang saya temui di Jakarta, rangkaian kereta babaranjang memiliki jumlah gerbong yang jauh lebih banyak.
Tidak mengherankan jika akan terjadi antrean panjang kendaraan sewaktu kereta ini melintas. Fenomena tersebut lumrah saya alami sewaktu berangkat sekolah di pagi hari. Adapun lama kereta babaranjang tersebut melintas mencapai lima hingga lima belas menit.
Untungnya, kemacetan (antrean) yang terjadi tak berlangsung lama. Biasanya, kemacetan tersebut dapat segera terurai dalam waktu tak kurang dari 30 menit. Pasca lolos dari palang pintu kereta api, jalanan sudah terasa “plong” kembali. Seperti kita selesai melepaskan segala beban dan hajat.
Angkot “gaul”
Salah satu hal yang saya rindukan dari Kota Bandar Lampung adalah keberadaan angkot “gaul”. Angkot “gaul” sendiri dapat didefinisikan sebagai angkot yang memiliki penampilan “nyentrik”. Selain memiliki aksesoris (bemper, velg, knalpot) yang terbilang tidak konvensional, jenis angkot ini juga menyediakan layanan yang sulit saya temukan pada angkot di Jakarta.
Layanan tersebut berupa hiburan audio (musik). Sebenarnya, hampir semua angkot di Bandar Lampung (gaul maupun non-gaul) menyediakan layanan ini. Adapun playlist yang biasanya diputar tidak lepas dari para musisi seperti Armada, Kangen Band, dan Wali. Jika beruntung, kita juga dapat menikmati layanan visual (televisi) di dalam angkot.
Di samping itu, ada sensasi tersendiri ketika saya menaiki angkot “gaul”. Tak jarang para sopir angkot gaul mengadakan semacam balapan liar. Mereka seolah tidak mau kalah dengan para pemain film “Fast and Furious”.
Meskipun hal ini sangat berbahaya, kebanyakan penumpang yang didominasi oleh pelajar SMP justru menikmatinya. Banyak dari kami – termasuk saya – pada saat itu yang sengaja menunggu atau mengincar angkot “gaul” sebagai moda transportasinya. Kami merasa keren alias gaul jika sudah naik jenis angkot ini.
Kosakata prokem
Selama saya bermukim di Bandar Lampung, ada beberapa kosakata tertentu yang lumrah digunakan oleh masyarakat setempat. Kosakata tersebut biasanya dipengaruhi atau berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Ada yang berasal dari daerah Sumatera Selatan (Palembang), Serang (Banten), dan Jawa.
Salah satu kosakata yang paling terkenal adalah “geh”. Selain di daerah Lampung, kosakata ini juga bisa ditemukan di daerah Banten. Biasanya kata ini digunakan sebagai imbuhan dalam kalimat seru atau ajakan. Adapun contoh penggunaannya adalah sebagai berikut “Ayo geh cepetan dandannya!”
Secara tidak langsung, kosakata ini membuat saya terasa unik bagi teman dan saudara di Jakarta. Ketika saya keceplosan mengucapkan “geh”, banyak dari mereka yang merasa asing. Maklum, kata ‘geh’ sendiri nampaknya belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Selain itu, ada juga kata “susuk”. Meskipun tidak sefamiliar kata “geh”, kata ini juga sering saya temukan dalam lingkup pergaulan di Bandar Lampung. Secara terminologi, kata ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti uang kembalian.
Saya sendiri memiliki pengalaman lucu terkait kata “susuk”. Sewaktu saya bertugas untuk membeli makanan bagi teman-teman di kampus, saya sempat berkata kepada salah satu senior “Bang, ini gak ada susuk-nya”.
Mendengar hal tersebut, kakak tingkat saya tertawa sekaligus kebingungan. Beruntung, ada teman saya yang ternyata mengetahui kata ini dan menjelaskan arti kata ini. Meskipun sempat di-ceng-in, saya justru merasa senang karena berhasil memperkenalkan kata tersebut ke orang Jakarta secara tidak langsung.
Setidaknya itulah sekelumit pengalaman saya selama bermukim di Kota Bandar Lampung. Semoga saja pandemi Covid-19 ini bisa segera berakhir dan saya bisa kembali mengunjungi kota tersebut.
BACA JUGA Jika Saya Jadi Lampard, Beginilah Starting Line-up Chelsea di Musim Depan dan tulisan Muhammad Fariz Kurniawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.