Sebagai pendatang baru di Depok, wajar apabila saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Jakarta di waktu senggang. Selain KRL, transportasi umum lainnya yang sering saya gunakan ketika berada di ibu kota adalah JakLingko.
Bagi yang belum tahu, JakLingko adalah moda transportasi umum yang disediakan oleh pemerintah DKI Jakarta. Jika ditengok dari segi penamaan, JakLingko diambil dari dua makna kata: Jak yang merupakan kependekan dari Jakarta dan Lingko yang memiliki arti integrasi atau jejaring (diambil dari istilah sistem persawahan tanah adat yang dipraktikkan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur).
Dalam praktiknya, JakLingko boleh dibilang menyerupai angkot, tetapi perbedaannya adalah para penumpangnya tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Cukup mengeluarkan “kartu penggesek”—saya selama ini selalu menggunakan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM)—kita sudah bisa diantarkan ke lokasi tujuan yang tentunya harus searah dengan rute JakLingko.
Meskipun memberikan banyak faedah, sejatinya ada pula hal-hal menyebalkan yang sering saya rasakan ketika naik JakLingko. Apa sajakah itu?
Daftar Isi
Hal menyebalkan pertama yang kerap saya rasakan adalah penumpang harus menunggu kedatangan JakLingko dalam waktu yang lama. Memang penantian panjang tersebut tidak selalu saya rasakan. Ada pula hari-hari beruntung di mana saya hanya perlu menunggu selama sekitar 5 menit. Namun, banyak pula hari-hari di mana saya harus berdiri lama di halte JakLingko karena moda transportasi umum tersebut tidak kunjung datang.
Saya ingat sekali momen menunggu terlama yang pernah menimpa saya. Saat itu, saya sedang berada di halte JakLingko di depan area Tebet Eco Park. Bayangkan, selama kurang lebih 50 menit, saya terus dibuat menunggu dan menunggu. Setelah menit demi menit terlewati, barulah kendaraan JakLingko yang mengarah ke Stasiun Tebet—sesuai lokasi tujuan saya—datang.
Sebagai pengguna setia JakLingko, hal ini tentu sangat menyebalkan. Saya tidak tahu apa penyebab pastinya dari permasalahan ini, tetapi dugaan saya penyebabnya adalah karena jumlah armada JakLingko yang tidak begitu banyak. Jika benar begitu, saya sangat berharap agar jumlah armada JakLingko dapat diperbanyak lagi sehingga para penggunanya tidak perlu menanti lama.
Cukup gebetan saja yang membuat saya harus lama menanti kepastian, JakLingko jangan. Wqwqwq.
#2 Sopir kurang ramah
Hal menyebalkan berikutnya yang kerap saya rasakan ketika naik JakLingko adalah para sopir yang menurut saya kurang ramah. Harap diingat bahwa saya tidak berstatus sebagai “pemain baru” dalam hal menaiki alat transportasi umum. Makanya saya bisa mengatakan bahwa sopir JakLingko bukan yang paling ramah dalam banyak aspek. Saya paham, opini saya ini tidak bisa digeneralisasi, sebab tidak semua sopir JakLingko seperti yang saya katakan. Saya yakin, pasti ada juga yang ramah dan enak diajak ngobrol seperti satpam BCA.
Akan tetapi, berdasarkan pengalaman saya menaiki JakLingko sejauh ini, hampir rata-rata semua sopirnya seperti itu. Pernah suatu ketika saya memberhentikan sebuah mobil JakLingko dan menanyakan kepada sopirnya mengenai apakah JakLingko yang ia kendarai akan menuju rute yang saya inginkan. Namun, dia malah menjawab pertanyaan saya dengan galak. Saya lupa kata-kata persisnya, tetapi pokoknya ia menggunakan intonasi yang cukup tinggi dan terkesan tidak sabaran.
Baca halaman selanjutnya
Pasti tidak semua sopir JakLingko seperti itu…
Sekali lagi saya katakan, pasti tidak semua sopir JakLingko seperti itu. Namun, itu bukan berarti kita jadi boleh melupakan fakta bahwa tidak semua sopirnya dapat melayani penumpang dengan baik. Ada pula “oknum” tidak bertanggung jawab yang tingkah lakunya seperti itu.
#3 Sopir yang mengendarai mobil “kesetanan”
Selain kurang ramah, kebiasaan buruk lainnya yang pernah saya rasakan dari sopir JakLingko adalah mengendarai mobilnya dengan “kesetanan”. Maksud dari “kesetanan” di sini tentu bukan sopir yang berkendara dalam keadaan kesurupan makhluk halus, ya, Gaes. Namun, maksudnya adalah mengendarai mobil secara ugal-ugalan, lantas membuat penumpangnya harus sesekali mengucapkan istighfar.
Pernah suatu ketika, saya menjadi penumpang dari JakLingko yang sopirnya cukup “gesit” dalam berkendara. Saking gesitnya, ia hampir menyerempet seorang pengemudi motor. Beruntunglah, penyerempetan itu tidak terjadi, meskipun saya yakin pengemudi motor tersebut pasti menaruh kekesalan di dalam hatinya.
Jujur, saya rasa sejatinya pengemudi kendaraan umum yang “kesetanan” ini sudah cukup lumrah ditemui di jalanan. Saya yakin kalian pasti pernah dibuat kesal misalnya oleh pengemudi angkot yang ngerem secara mendadak atau tiba-tiba bergerak ke pinggir jalan demi menjemput penumpang. Namun, tetap saja bukan berarti kita jadi harus memaklumi kejadian-kejadian semacam itu, kan?
#4 Area “Drop-off” yang tidak menentu
Kalau kalian mau menaiki JakLingko, pastikan kalian menunggu di halte pemberhentiannya. Sebab, kalau tidak, biasanya sang sopir tidak akan mengizinkan kalian untuk naik dan menjadi penumpangnya. Namun, hal berbeda terjadi jika kalian ingin turun, tidak harus turun persis di haltenya. Kalian boleh-boleh saja kok minta diturunkan di pinggir jalan atau lokasi mana pun yang hendak kalian tuju, asalkan masih searah dengan rute Jaklingko-nya.
Akan tetapi, terkadang terjadi satu hal menyebalkan berkaitan dengan itu, yakni area “drop-off” yang tidak menentu. Misalnya, saya sering minta untuk diturunkan di Stasiun Tebet. Nah, satu hal yang bagi saya cukup lucu (sekaligus menyebalkan) adalah ada sopir yang berbaik hati dan menurunkan saya persis di depan area pintu masuk stasiun tersebut, lalu ada pula sopir yang tidak terlalu berhati baik dan malah menurunkan saya di lokasi yang agak jauh dari area pintu masuk.
Saya ingat waktu itu saya meminta sang sopir untuk “majuan dikit” sehingga saya tidak perlu berjalan kaki begitu jauh agar bisa masuk ke Stasiun Tebet. Namun, sang sopir malah menjawab dengan pernyataan yang kurang lebih berbunyi “Ya elah, tinggal jalan dikit aja. Itu dikit lagi udah nyampe, kok.”
Waktu itu saya merasa cukup kesal. Namun setelah saya pikir lagi, saya memilih untuk bersabar dan langsung turun saja dari angkutan tersebut. Anggap saja mood sang sopir sedang tidak bagus.
Meskipun tidak sempurna, saya tetap harus mengakui bahwa JakLingko banyak membantu dan memberikan manfaat positif bagi saya. Sebagai anak kost dengan bujet pas-pasan, kehadiran JakLingko dapat membantu saya dalam hal menghemat pengeluaran ongkos. Jadi, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada JakLingko!
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Panduan Menikmati Transportasi Umum di Jakarta.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.