Tidak terasa pandemi Covid-19 di Indonesia hampir berusia 1 tahun. Apabila diibaratkan sebagai manusia, tentu di usia tersebut belum bisa berbuat banyak, kecuali makan, nangis, dan berak. Tapi hal tersebut nampaknya tidak berlaku bagi si kecil Covid-19. Meski Covid-19 di Indonesia baru akan merayakan ulang tahun pertamanya Maret mendatang, jutaan nyawa telah berhasil ia hantarkan ke peristirahatan terakhir. Sedari kecil Covid-19 memang sudah aktif ya, Bund?
Di usianya yang masih belia, tidak diketahui secara pasti Covid-19 terdaftar di catatan sipil mana. Akta kelahirannya pun banyak dipertanyakan. Namun yang pasti, Covid-19 sudah berkeliaran di Tiongkok sana sejak November 2019. Hal tersebut dibuktikan dengan terkonfirmasi positifnya seorang penduduk Hubei yang berusia 55 tahun. Semenjak kasus tersebut, sejumlah kasus positif Covid-19 dilaporkan setiap harinya oleh otoritas Tiongkok. Hingga pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok menyampaikan laporan kepada organisasi kesehatan dunia, yakni WHO, mengenai sejumlah kasus Pneumonia baru di Wuhan. Dari sinilah masyarakat mencatat Covid-19 merupakan putra daerah Wuhan.
Seiring berjalannya waktu, Covid-19 nampaknya mulai akrab dengan kerumunan massa. Diperkirakan momentun persebaran Covid-19 dimulai ketika libur atau mudik tahun baru Imlek. Pada momen tahun baru Imlek tersebut, ribuan bahkan jutaan warga Tiongkok banyak melakukan perjalanan ke luar daerah hingga ke luar negeri. Covid-19 pun nampaknya tidak mau ketinggalan untuk ikut bertamasya menuju ke berbagai negara. Akhirnya, satu demi satu negara menyampaikan bahwa sejumlah warganya terpapar virus Covid-19.
Di Indonesia, kasus pertama Covid-19 menimpa 2 warga Depok, Jawa Barat, usai melakukan kontak dengan warga negara Jepang. Perlahan persebaran virus ini merangsek ke sejumlah wilayah kepulauan Nusantara. Tidak peduli warga kota, warga desa, pejabat negara, orang dewasa, lansia, hingga remaja memiliki potensi yang sama terpapar Covid-19.
Terdapat sejumlah hal menarik seputar perjalanan Covid-19 di Indonesia. Inilah hal-hal menarik semenjak kedatangan Covid-19 di Indonesia.
Disambut gelak tawa pemerintah Indonesia
Masih segar dalam ingatan kita celotehan Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang mengatakan bahwa virus Covid-19 sulit masuk ke Indonesia karena proses perizinannya susah. Saya masih belum bisa menangkap di mana letak lucunya jokes tersebut. Kalimat tersebut justru terdengar seperti satire bagi birokrasi pemerintahan. Dalam kesempatan tersebut sebenarnya Bahlil tidak sedang menyoroti perkembangan kasus Covid-19 di dunia, tetapi sulitnya investor asing untuk masuk ke Indonesia.
Saya kembali teringat bahwa reformasi birokrasi memang belum terealisasikan. Bukan hanya perizinan asing, untuk mendapat pelayanan publik pun terkadang kita harus dihadapkan dengan sejumlah persyaratan administrasi yang rumit serta berbelit-belit. Belum lagi kalau ada “bandit” yang suka minta uang pelicin. Kalau masalah investor asing, memang perlu adanya proteksi.
Selain celotehan Kepala BKPM tersebut, ternyata sejumlah pejabat negara mempunyai selera humor yang teramat payah. Sebut saja Luhut Binsar Pandjaitan, yang ketika ditanyai seputar virus Covid-19, eh malah jawabnya ke mobil Corolla. Begitu juga Airlangga Hartarto (Menteri Perekonomian) yang lagi-lagi mengatakan kalau virus ini sulit masuk tanah air karena izinnya susah.
Tetapi plot twist-nya tetap ada pada Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, yang mengatakan Covid-19 nggak bakal masuk ke Indonesia karena masyarakat kita yang kerap menyantap nasi kucing. Sialnya, justru Menhub Budi Karya divonis positif Covid-19. Untungnya beliau sudah sembuh sekarang.
Selanjutnya, aksi joget TikTok ala Menkopolhukam, Mahfud MD, juga mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat. Sebenarnya, mengampanyekan hidup sehat memang penting untuk menangkal virus Covid-19. Namun, dengan berjoget ala TikTok, tindakan Menkopolhukam Mahfud MD tetap dinilai kurang tepat. Seharusnya justru melalui TikTok kita membuat konten untuk mengampanyekan protokol kesehatan di tengah kondisi pandemi.
Beradaptasi dengan korupsi
Siapa bilang dengan adanya pandemi, praktik korupsi bakal mati? Sebaliknya, dengan adanya pandemi, ruang-ruang baru bagi korupsi kian terbuka. Hal tersebut disebabkan oleh kucuran anggaran yang seharusnya diperuntukan untuk penanganan Covid-19, malah diselewengkan untuk menumpuk kekayaan.
Pada bulan April, terjadi pemotongan bantuan warga yang dilakukan oleh oknum RT di Desa Talok, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang. Dana bansos yang seharusnya diperoleh warga sebesar Rp 600 ribu per KK disunat Rp 100 ribu per KK oleh oknum RT. Berkaca dari fenomena tersebut, praktik korupsi telah masuk ke dalam ranah pemerintahan terkecil, yakni tingkat RT.
Berita teranyar mengenai OTT KPK yang berujung pada ditetapkannya Menteri Sosial, Juliari Batubara, sebagai tersangka ikut menyemarakkan perjalanan Covid-19 di Indonesia. Dilansir kompas.com, Mensos Juliari diduga menerima suap sekitar Rp 8,2 miliar dalam pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama.
Minimnya transparansi serta pengawasan dari masyarakat menyebabkan praktik korupsi mampu berkolaborasi dengan pandemi. Sebenarnya hal tersebut tidak mengherankan, mengingat korupsi juga merupakan pandemi. Bedanya, apabila Covid-19 merupakan pandemi yang diakibatkan oleh virus, korupsi adalah pandemi yang diakibatkan oleh kemerosotan moral para pemangku jabatan.
Sulitnya menghindari kerumunan
Budaya srawung yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia nampaknya memang susah untuk dihilangkan, atau setidaknya dikurangi. Hal tersebut sebenarnya tidak masalah, mengingat sejumlah manfaat dari srawung itu sendiri. Srawung bermakna kumpul atau pertemuan antara lebih dari satu orang. Tujuan dari srawung yakni untuk bercerita, bertukar pikiran, hingga berbagi keresahan dengan dibalut nuansa kekeluargaan.
Namun di tengah pandemi seperti saat ini, srawung dengan tidak memperhatikan protokol kesehatan justru menimbulkan klaster baru persebaran Covid-19. Di Indonesia sendiri terdapat sejumlah klaster besar persebaran Covid-19, seperti klaster asrama haji Surabaya, klaster perusahaan di kota Semarang, klaster ijtimak Gowa, klaster Secapa TNI AD Bandung, dan masih banyak lagi.
Yang mengherankan, meski sudah terdapat contoh klaster persebaran Covid-19, masyarakat Indonesia nampaknya tidak takut untuk kembali berkumpul dengan jumlah yang besar tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Bahkan belum lama ini terjadi kerumunan massa dalam skala yang besar dalam rangka penyambutan Habib Rizieq Shihab. Yah semoga saja hal tersebut tidak menimbulkan klaster baru. Lucu rasanya di tengah kegembiraan penyambutan Imam Besar FPI malah muncul klaster Covid-19.
Pesta demokrasi saat pandemi
Pro kontra seputar pemilihan kepala daerah di tengah pandemi menjadi topik pembicaraan menarik untuk kita ikuti. Bagi mereka yang pro, dengan adanya kepala daerah baru diharapkan dapat menekan laju persebaran Covid-19 di tiap daerah. Bagi mereka yang kontra, dengan adanya pilkada serta kampanye jelas bakal memunculkan klaster baru persebaran Covid-19. Namun, nampaknya pemerintah tetap akan melaksanakan pilkada serentak di sejumlah daerah. Meski sudah diperingatkan NU, Muhammadiyah, MUI, dan sejumlah pihak maupun masyarakat.
Sebenarnya sangat disayangkan keputusan melanjutkan pilkada yang barangkali terkesan memaksakan di masa pandemi ini. Akan jauh lebih efektif apabila anggaran pilkada yang sedemikian besar dialihkan untuk penanganan Covid-19, mulai dari pencegahan hingga pengobatan. Namun sekali lagi, pilkada itu prioritas!
Melihat situasi yang seperti ini, golput nampaknya bisa dijadikan alternatif pilihan. Semisal di daerah kalian ada 2 paslon, maka golput adalah yang nomor 3. Hal tersebut juga tidak bisa disalahkan, mengingat barangkali memang banyak dari masyarakat yang enggan ke TPS lantaran takut terpapar Covid-19.
Bagaimanapun, di tengah usia yang hampir menginjak 1 tahun, selalu teriring doa bagimu, Covid-19. Bukan lagu Selamat Ulang Tahun dari Jamrud yang akan kami dendangkan, namun lagu Sayonara yang sering diputar di sejumlah kafe untuk “mengusir” pelanggan. Bukan kado boneka yang dibungkus kotak dengan balutan kertas kado yang akan kami beri, tapi vaksin dari beberapa peneliti yang sudah teruji. Bukan pula doa semoga panjang umur yang akan kami atur, tapi doa agar engkau cepat kabur.
BACA JUGA Mengenang Hoegeng, Polisi Jujur yang Pernah Disebut Gus Dur dan tulisan Kurniawan Ivan Prasetyo lainnya.