Tulisan ini betul-betul isinya akan penuh dengan ngomel-ngomel. Lah gimana nggak ngomel, saya sudah hampir memasuki semester 5 perkuliahan di UIN Saizu, tapi hal-hal menyebalkan ini selalu menjadi gorengan yang digoreng ulang setiap waktunya.
Menjadi mahasiswa memang tidak semudah berkata “mudah”, tapi juga tidak sebegitu sulit menerbitkan jurnal di Scopus. Tidak sedikit perjalanan sebagai mahasiswa seperti melewati jalan penuh lubang—banyak waspada, suntuk, dan menyebalkan. Ditambah berkuliah di UIN Saizu Purwokerto pula. Mungkin inilah kombinasi yang membuat kepala sering panas, hati sering mangkel, punggung pegal-pegal, dan perut sering kosong. Bukan hanya karena uang saku seret, tapi juga dihadapkan dengan realita dinamika kampus yang kadang terasa lebih absurd daripada film Merah Putih: One for All.
Memang ini merupakan perjalanan yang sifatnya subjektif, tapi tolong percaya bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Saizu juga kiranya merasakan hal demikian. Untung masih ada celah kecil yang membuat kami tetap waras—entah itu jajanan kantin yang murah, obrolan receh dengan bahasa Banyumasan, atau sekadar duduk di teras kelas sambil melihat angin berdebat dengan dedaunan. Kalau tidak ada itu semua, mungkin banyak dari kami sudah angkat bendera putih sebelum semester genap dimulai.
#1 Dibanding-bandingkan dengan Unsoed
Please, susah juga kalau harus jujur. Tinggal di Purwokerto membuat mahasiswa UIN Saizu mau tak mau sering menoleh ke tetangga besar: Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Bedanya cukup terasa. Mahasiswa Unsoed bisa bangga dengan fasilitas yang sepertinya lebih lumayan hingga suasana kampus yang oke lah dibanding kami. Sementara itu, mahasiswa Saizu, masih harus sabar menunggu proyektor yang sering ngambek, AC kelas yang tak konsisten, atau ruang belajar yang terkesan apa adanya.
Anehnya, kalau ngobrol dengan teman-teman Unsoed, mereka sering menganggap masalah kami itu remeh-temeh. Padahal, buat kami ini realitas sehari-hari yang bikin pening kepala. Belum lagi momen klasik ketika ditanya, “Kuliah di mana?” Dengan penuh percaya diri kami jawab, “UIN Purwokerto, Bu.” Eh, yang keluar malah, “Emang ada UIN di Purwokerto? Bukannya masih IAIN, ya?” atau versi lain yang tak kalah menggelitik, “Oooh, UIN… berarti bisa ngaji dong?”.
Pengalaman semacam itu, yang sering membuat sebagian mahasiswa UIN Saizu memilih jalan aman. Alih-alih menjelaskan panjang lebar soal transformasi IAIN jadi UIN, mereka lebih licin: “Kuliah di UNDIP (Universitas di Purwokerto), Bu.” Simpel, hemat energi, meski agak menyesatkan.
#2 Mahasiswa UIN Saizu dan Akun Shitpost Poskamling
Akun anonim bernama Pos Kamling seolah menjadi anak bahasan yang selalu dibawa saat ada isu-isu hangat di kampus. Setiap Pos Kamling meng-upload berita terbaru pasti secara tidak langsung topik itu masuk juga di setiap obrolan mahasiswa Saizu.
Tapi yang sering disayangkan, rasa bosan sering datang sebab isinya muter di situ-situ saja: pertikaian organisasi eksternal, pertikaian organisasi eksternal, pertikaian organisasi eksternal. Ya, memang sengaja saya ulang tiga kali, karena faktanya memang itu yang dipelototi terus. Dan sebenernya, akun ini juga menyorot isu-isu lain yang lebih berwarna: mulai dari pengusutan dugaan pelecehan seksual, tuntutan mahasiswa kepada birokrat kampus, keluhan soal perkuliahan, sampai gosip minor khas dunia mahasiswa. Intinya, semua yang berbau Saizu bisa jadi bahan.
#3 Dosen yang ngajar dengan bahasa daerah
“Kampus Desa Mendunia”, itulah tagline yang sejauh ini diharapkan membawa nama UIN Saizu di kancah internasional. Slogan yang manis, penuh optimisme, dan sesungguhnya patut diapresiasi. Memang hal baik harus didukung dan kami sebagai mahasiswa pun siap membantu entah lewat karya, penelitian, atau sekadar jadi corong promosi kampus di media sosial. Tapi tolong, beberapa dosen masih saja ada yang memakai bahasa daerah saat mengajar di kelas. Please deh, nggak semua dari kami ngerti bahasa yang bapak/ibu pakai. Dikira kami semua orang sini?
Kalau benar-benar ingin mendunia, langkah paling sederhana adalah dengan memilih bahasa pengantar yang inklusif. Bahasa Indonesia yang jelas, atau bahkan Inggris kalau memang mau sekalian serius go international. Sebab, bukankah ironis kalau kampus berambisi menembus batas geografis, sementara di dalam kelas saja batas linguistik masih jadi kendala.
#4 Organisasi internal bukan adu inovasi tapi adu gede-gedean konser
Wah konser lagi, konser lagi. Kayaknya kalau ada lomba si paling sering manggil musisi atau band ibu kota, organisasi internal kita bisa juara nasional. Padahal kan namanya organisasi internal harusnya yang digetolin embel-embel “inovasi mahasiswa”, tapi di lapangan inovasi itu cuma sebatas siapa yang paling heboh bikin panggung. Bikin acara akademik? Jarang. Bikin forum intelektual? Hampir tak terdengar. Yang rame ya cuma pamflet info konser.
Ayolah organisasi internal, kami mahasiswa Saizu nggak pengin harus jauh-jauh keluar ikut kuliah umum. Pantes kan minat keorganisasian di UIN Saizu nggak terlalu banyak, ya karena ngebosenin banget. Ayo dong benahi!
Mahasiswa baru yang awalnya berharap dapat ruang pengembangan bakat dan intelektualitas malah jadi panitia atau penonton konser. Organisasi seolah berlomba-lomba jadi EO Kita jadi mirip penikmat hiburan.
#5 Kenapa jas UIN Saizu hijau?
Udah jasnya hijau, gedung hijau, bahkan banner acara juga rata-rata hijau. Kalau ada lomba kampus paling hijau se-Indonesia, mungkin UIN Saizu bisa jadi juara tanpa tanding. Entah ini simbol kesuburan, harapan, atau sekadar karena cat hijau di toko bangunan lagi diskon waktu itu—nggak ada yang benar-benar tahu.
Yang jelas, hijau di sini bukan cuma sekadar warna, tapi sudah jadi identitas tak tertulis. Ini problem bagi sebagian mahasiswa Saizu yang outfitnya suka netral-netral aja: hitam, putih, atau pastel kalem.
#6 PMII, HMI, dan IMM
Ini serius, tiap tahun harus liat organisasi itu gaduh mulu?
PMII, HMI, IMM, rasanya kalau musim pemilihan ketua DEMA (di PTN disebut BEM) universitas, fakultas, sampai lembaga mahasiswaan, atmosfer kampus langsung berubah jadi arena politik skala mini. Spanduk, lobi, sampai sindiran halus jadi bumbu rutin; yang tadinya teman ngopi bisa tiba-tiba jadi rival cuma gara-gara beda organisasi.
Lucunya, semangat rebutan kursi sering lebih besar daripada semangat rebutan nilai A. Mahasiswa non-ormawa jadi penonton setia, nyimak drama yang lebih seru dari sinetron sore. Dan entah kenapa, meski selalu bikin ribut tiap tahun, ujung-ujungnya tetap saja ditunggu: siapa yang naik, siapa yang kalah, dan siapa yang tiba-tiba jadi “oposisi abadi”.
#7 Ujian BQ-PI, Ujian Bahasa, dan Kelas Pengembangan
Tidak heran banyak orang yang mengira mahasiswa Saizu cakap kali kalau soal ilmu agama. Selain memang kampus Islam, di UIN Saizu juga ada ujian BQ-PI—semacam tes standar untuk baca Qur’an dan praktik ibadah. Jadi, kalau ada mahasiswa yang lulus, bisa dipastikan minimal baca Qur’an-nya lancar dan nggak gagap waktu diminta jadi imam dadakan.
Belum cukup sampai di situ, ada juga ujian bahasa: Arab dan Inggris. Nah, inilah bagian yang kadang bikin mahasiswa harus “siap mental” lebih dulu daripada siap ilmu. Bahasa Arab dianggap wajib biar bisa nyambung sama kitab klasik, sementara bahasa Inggris biar nggak ketinggalan di dunia global.
Bagi mereka yang tidak lulus ujian bahasa, maka bersiaplah mengikuti kelas pengembangan selama satu semester. Sedikit menyebalkan, sebab kelas diambil di akhir pekan dan di jam pagi. Mereka yang tidak lulus di tahun depan akan bertemu lagi dengan ujian. Pokoknya harus sampai lulus.
#8 Kampus 2 UIN Saizu di Purbalingga
Kampus 2 UIN Saizu di Purbalingga sering jadi cerita tersendiri bagi mahasiswa baru. Bayangkan, mereka daftar kuliah dengan bayangan asik belajar di Purwokerto—dekat kota, gampang akses kos-kosan, dan nggak bingung soal tempat nongkrong. Eh, ternyata “dilempar” ke Purbalingga. Jaraknya lumayan jauh, bikin sebagian mahasiswa kecewa, bahkan ada yang memilih mengundurkan diri. Rasanya seperti pesan sate kambing, tapi yang datang malah sate kelinci: sama-sama sate, tapi bukan itu yang dibayangkan.
Apalagi jarak Purwokerto–Purbalingga bukan main. Kalau pagi-pagi harus ngejar kelas, mahasiswa Kampus 2 kadang seperti sedang ikut balap liar di jalan lintas, demi sampai tepat waktu.
Dan masih banyak hal menyebalkan lain yang kami rasakan, tapi kami tetap cinta kok sama almamater kami. Bahkan sampai ada yang bilang, kalau kau belah dadaku, di dalamnya ada logo UIN Saizu. Lucu sih, karena segenap keluhan itu justru bikin kami merasa punya ikatan emosional—semacam cinta yang nggak bisa ditawar, meski sering bikin gemas. Pada akhirnya, UIN Saizu bukan cuma kampus, tapi rumah dengan segala keasikannya.
Penulis: Sayyid Muhamad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Keunikan UIN SAIZU Purwokerto yang Nggak Ada di Kampus Lain
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
