Di saat orang-orang ramai berbicara tentang guru non muslim di Madrasah Ibtidaiyah dan mengentengkan dengan kalimat santai tapi menyebalkan, seperti, “Tak perlu dibesar-besarkan karena yang diajarkan adalah mata pelajaran umum dan tidak menyangkut aqidah,” atau, “Dia kan ngajarnya Geografi, bukan Fiqih?” ataupun, “Syukur-syukur kalau bisa mualaf.” Saya sebagai orang yang mengalami kejadian tersebut dan mengetahui faktanya di lapangan secara langsung, merasa bingung harus bersikap seperti apa.
Kenyataannya, kasus guru non muslim pertama di MAN Tana Toraja, bukan satu-satunya kasus yang terjadi dalam seleksi pengadaan CPNS guru di lingkup Kementerian Agama Sulawesi Selatan tahun 2020.
Sedikit bercerita tentang pengalaman saya sebagai seorang ASN Kemenag yang lulus seleksi CPNS tahun 2018. Saat itu, saya ditempatkan di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Ia terletak di daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja. Selang 2 tahun kemudian, pada seleksi CPNS 2020, Kemenag Sulawesi Selatan kembali membuka lowongan bagi guru CPNS, dan Madrasah itu kebagian guru kelas.
Belakangan diketahui, guru kelas yang dimaksud adalah seorang perempuan lajang yang berasal dari Rantepao Tana Toraja dan menganut kepercayaan Kristen Katolik, yang terhitung sudah mulai bertugas sejak Januari 2021.
Kabar itu pun langsung membuat geger kalangan guru Madrasah di lingkup kabupaten. Di Madrasah tersebut, seorang guru menanggapi bercanda, “Bagus, dong, kamu bisa menjadikannya mualaf.” Seorang guru laki-laki yang masih bujang pun menjawab, “Iya kalau dia yang mualaf, kalau saya yang ngikut ke dia, bagaimana?” Kurang lebih seperti itulah, perbincangan humoris tersebut dalam bahasa lokal.
Berbeda dengan sebelumnya, salah satu guru menanggapi serius dengan memberikan alegori, bahwa kabar itu terdengar bagaikan “langit runtuh di atas kepalanya”. Oke, mungkin ini terdengar berlebihan, tapi tentu bukan tanpa alasan pernyataan ini terlontar.
Beberapa tahun sebelumnya, pernah ada sekolah di daerah yang sama menerima guru non muslim. Lantas, yang terjadi selama satu tahun, sekolah tersebut tidak mendapatkan murid baru, sampai sang guru non muslim tidak lagi terdaftar sebagai guru di sekolah itu. Memang betul, yang dilakukan masyarakat sekitar sungguh memilukan, meski ketika melihat kondisi sekitar hal ini bisa dimaklumi.
Jika harus membandingkannya dengan yang terjadi di MAN Tana Toraja, Madrasah Ibtidaiyah yang saya maksud di sini pun tidak bisa dikatakan lebih mendingan. MAN Tana Toraja memang kedatangan guru non muslim untuk pertama kalinya. Perlu di garis bawahi, meski pada dasarnya itu adalah Madrasah, tapi Tana Toraja memang daerah berpenduduk mayoritas Kristen. Tentu saja masyarakat muslim di sana sudah terbiasa dan cukup terbuka dengan keberadaan non muslim di sekitar mereka.
Berbeda dengan Madrasah yang saya maksud di sini. Madrasah Ibtidaiyah itu terletak di daerah mayoritas muslim, dengan nuansa keislaman yang sangat kental. Terbukti dengan keberadaan organisasi masyarakat Islam yang aktif dalam membuat kelompok-kelompok pengajian di masjid-masjid sekitar.
Dan perlu saya tekankan, Madrasah yang saya maksud ini adalah di tingkat Ibtidaiyah atau setingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA, yang tentu sudah bisa lebih dewasa dalam memahami keberadaan non muslim sebagai guru mereka.
Harus diakui, pembelajaran tentang toleransi beragama memang harus ditanamkan sejak usia dini, tapi untuk tingkat Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar, terutama di tengah-tengah kondisi masyarakat perkampungan seperti yang saya maksud di sini, jelas perlu ada perhatian dan perlakuan khusus dari pemerintah.
Pembelajaran yang bersifat dan bersikap inklusif terhadap penganut agama lain, rasanya masih sulit untuk dipraktikkan langsung dalam kehidupan para siswa Madrasah Ibtidaiyah di daerah perkampungan yang memiliki penduduk mayoritas muslim.
Saya sepenuhnya meyakini bahwa keberadaan guru non muslim di Madrasah Ibtidaiyah tentu sudah sesuai regulasi. Hal ini juga merupakan bagian dari implementasi nilai-nilai toleransi di negeri kita tercinta Indonesia. Kita harus menjunjung tinggi persaudaraan melampaui sekat-sekat perbedaan suku, daerah, dan agama. Dan itulah Indonesia. Meski pada realitasnya, harus diingat! ini “Indonesia”.
BACA JUGA Menyebut Muhammadiyah & NU Elitis Adalah Jokes Pandji Pragiwaksono yang Paling Ampas dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.