Gunung Sepikul, yang terletak di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sekarang mengalami sejumlah perubahan yang signifikan. Dulu, kalau mau naik Gunung Sepikul itu butuh tenaga lebih, walau sebenarnya gunung ini lebih cocok disebut bukit yang medannya nggak ekstrem. Tapi, dulu jalur pendakiannya semrawut, penuh batu, kalau hujan licin banget, tapi disitulah seninya.
Sekarang, wajah Gunung Sepikul Sukoharjo berubah. Jalur tracking yang dulu menguji kesabaran, sekarang lebih mulus. Pemerintah setempat dan warga sekitar patut diacungi jempol karena sudah bikin akses pendakian yang lebih manusiawi, cocok banget buat anak SD yang lagi latihan muncak.
Jalur trekking lebih bersahabat
Ada kabar baik dari Gunung Sepikul Sukoharjo, yaitu jalur trekking-nya kini sudah dirapikan. Titik pijakan ditambah, petunjuk arah dipasang, bahkan waktu tempuh yang dulunya 15 menit sekarang cuma sekitar 5-7 menit saja, itu pun kalau kamu masih sempat berhenti buat selfie dua tiga kali.
Dampaknya? Jelas terasa. Pengunjung naik drastis dari bocah SD sampai opa-oma. Bukan cuma dari sekitaran, tapi juga dari luar daerah yang penasaran dengan duo batu raksasa yang jadi ikon Gunung Sepikul. Sepikul memang punya pesona unik, kalau pagi diselimuti kabut tipis seperti uap dari cangkir kopi, sementara sore hari disiram cahaya oranye hangat dari Sang Surya, yang bersiap untuk pulang ke ufuk barat.
Saya sendiri pertama kali ke Gunung Sepikul sekitar empat tahun lalu. Waktu itu masih jadi tempat hidden gem, sepi pengunjung dan jalurnya masih liar, bebatuan yang besar dan lumayan tajam, jadi kalau salah pijakan bisa bahaya, bahkan belum ada papan petunjuk arah. Tapi, justru karena itu, sensasi petualangannya terasa nyata.
Napas ngos-ngosan, kaki pegel, tapi ada kepuasan ketika sampai di atas dan disambut lanskap Sukoharjo dengan hamparan sawah yang luas dan perbuktian di sekitarnya, cantik sekali. Rasanya seperti menemukan harta karun yang belum banyak orang tahu.
Beberapa bulan lalu, saya kembali ke Gunung Sepikul Sukoharjo, kali ini bersama teman saya yang belum pernah ke sana. Dan, ya ampun, jalurnya sekarang beda banget. Ada anak tangga dari batu, petunjuk arah yang jelas, bahkan beberapa spot udah dikasih pegangan besi biar nggak kepleset. Enak sih, saya akui. Tapi begitu hampir sampai puncak, rasa senangnya agak teredam. Di balik pemandangan keren, saya lihat botol plastik, bungkus popmie dan bungkus rokok berserakan. Teman saya nyeletuk, “Kok malah kayak habis piknik ya?”
Gunung Sepikul indah, tapi sayang, sampah juga ikut nanjak
Botol plastik, bungkus ciki, bekas kopi instan dan benda-benda tak diundang lainnya kini jadi pemandangan default menuju puncak. Kadang nyempil di balik batu, nangkring di semak-semak, ada juga yang pamer terang-terangan di jalur landai tepat sebelum puncak. Seolah pengin bilang “Yuk, foto bareng aku juga!”.
Yang bikin miris, sampah-sampah ini bukan turun dari langit apalagi sisa peninggalan kerajaan Majapahit. Ini semua ulah oknum yang katanya “mencintai alam.” Alah, padahal mereka cuma pengin pamer foto keindahannya aja. Cinta macam apa yang bikin kamu ninggalin bungkus permen di tempat yang kamu bilang indah?
Masalah sampah ini keberadaannya jelas mengganggu kenyamanan pengunjung lain, menyebarkan bau tak sedap dan pelan-pelan jadi racun buat ekosistem sekitar. Padahal, pengelola Gunung Sepikul bukannya nggak usaha. Tempat sampah sudah dipasang di beberapa titik, meski nasibnya sering tragis: diabaikan dan dilewati. Tapi ya namanya tempat sampah, bukan penjaga moral, yang cuma bisa diam aja sambil lihatin oknum jahat mencederai alam, kalau manusianya nggak punya niat, tempat sampah cuma jadi properti set.
Perubahan di Gunung Sepikul Sukoharjo membawa dua sisi, akses yang semakin mudah adalah hal positif yang patut diapresiasi, menarik lebih banyak pengunjung. Namun, meningkatnya volume sampah adalah PR yang harus dipikirkan bersama bukan hanya menjadi tanggung jawab pengelola.
Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Usulan untuk Pemerintah Kabupaten Sukoharjo biar Nggak Malu-maluin Daerahnya Sendiri (Lagi)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















