Ini sebenarnya kisah pengalaman saya dengan Gunung Lawu yang sudah usang, terjadi sekitar 2012 silam, tapi selalu kami ceritakan ulang setiap kali diklat Mahapala dilaksanakan.
Kami kuliah di salah satu kampus yang beraliansi dengan ormas Islam yang mengusung kata tajdid (pembaharu). Bukan Muhammadiyah, tapi saudaranya yang lebih ganas dan trengginas: Persatuan Islam. Maka rerata yang kuliah di kampus ini adalah lulusan pesantren modern yang sudah dididik dan dibentuk untuk tidak percaya dengan hal-hal yang begituan. “Itu takhayul, musyrik!” Begitulah kami diajarkan sejak kelas 1 Tsanawiyyah sampai kelas 3 Muallimin.
Ketika kami berkecimpung di dunia luar, dengan kehidupan yang lebih beragam, maka satu tujuan kami: menunjukkan jika hal-hal yang begituan itu memang tidak ada. Ketika kami menyusuri pantai di daerah Leuweung Sancang yang berada di Garut Selatan, tidak segan-segan kami mengobrak-abrik segala macam tempat pemujaan. Sebelum diacak-acak, tentu kami berfoto terlebih dahulu dengan pose seperti sedang bertapa, dan itu semacam bentuk ejekan dari kami. Selama di sana, kami merasa baik-baik saja. Tapi, tidak ketika kami hendak menyambangi Gunung Lawu.
Sebetulnya kedatangan pertama kami ke Cemoro Sewu (Basecamp Gunung Lawu) pada awal 2011. Waktu kami berangkat dari Stasiun Kiaracondong, dan berhenti di Stasiun Sragen. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan mobil carteran sampai basecamp. Oleh karena kami tiba terlalu siang, terlebih sore menjelang malam hari itu ada pertandingan Persib Bandung (dan kami tidak mau melewatkannya), maka kami memutuskan untuk mendaki keesokan harinya. Keesokan ketika kami hendak berangkat, badai datang, dan pendakian langsung ditutup. Kami tersenyum kecut.
Tidak mau pulang dengan tangan hampa, kami mencoba menunggu satu hari lagi. Hari yang malang itu kami isi hanya dengan bermain kartu domino saja di basecamp, walau sesekali keluar juga untuk melihat badai, dan mengabadikannya. Nasib serupa terjadi juga di hari berikutnya, dan memaksa kami untuk pulang dengan wajah kusam.
Keberangkatan yang kedua terjadi di akhir 2011. Nasibnya hampir serupa: terjadi badai sebelum kami mendaki, tapi kami sangka ada kaitannya dengan yang kami lakukan di sore hari sebelumnya.
Kami tiba di sana siang menjelang sore. Setelah kami menyimpan barang-barang di basecamp, kami jalan-jalan ke perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang memang cukup dekat dari Cemoro Sewu, sekitar tiga kali lemparan batu. Sebelum tiba di perbatasan, kami melihat patung dewi (entah siapa) yang setengah telanjang. Aji Ibrahim atau yang selalu kami panggil Bang Ajo, mendekati patung tersebut, lalu menyuruh saya untuk mengabadikan momennya lewat jepretan kamera.
Terkejutlah kami setelah melihat pose yang ia peragakan. Ia memegang tetek patung tersebut dengan wajah mesum. Satu pose lagi tidak ingin saya ceritakan. Ia pun ditegur oleh Pak Roni, dosen sekaligus pembimbing kami di Mahapala. Kalaulah foto tersebut diunggah sekarang, pasti akan menambah daftar kasus penistaan terhadap agama. Dan keesokan harinya, terjadi lagi badai itu, dan menyebabkan kami tidak bisa berangkat mendaki untuk yang kedua kalinya.
Masih dihantui rasa penasaran, kami berangkat lagi pada pertengahan 2012. Kami sudah belajar dari kejadian sebelumnya, maka setelah tiba di sana, kami memutuskan untuk langsung berangkat mendaki, tidak mau lagi menunggu hingga esok pagi. Kami berangkat tujuh orang. Satu perempuan, dan satu pendaki pemula yang baru kali itu naik gunung. Tapi, karena dia berasal dari dusun, maka kami tidak meragukan lagi fisiknya. Tapi, kami salah. Kami pun dipecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang bawa tenda dan alat masak untuk berjalan di depan, dan kelompok kedua untuk menemani si pendaki pemula yang kelelahan.
Yang berjalan di depan ada empat orang, termasuk Pak Roni dan pendaki perempuan, sedang yang di belakang ada tiga orang, yaitu si sompral Bang Ajo, pendaki pemula, dan aku sendiri. Kami terpisah di pos tiga, dan berencana akan bermalam di dekat warung Mbok Iyem (atau setelah pos lima).
Jarak dari pos tiga ke pos empat jika dilihat dari peta di basecamp sebenarnya dekat, tapi karena waktu itu matahari hendak terbenam (karena kami mulai mendaki terlalu siang), kami pun berjalan dengan sedikit enggan—terlebih berjalan dengan orang yang sedang kepayahan. Walau sangat kesal, tapi saya dan Bang Ajo terus menyemangati dia, mengulang-ulang mengatakan jika sebentar lagi akan sampai. Tentu saja waktu itu kami belum tahu, karena memang baru pertama kalinya mendaki Gunung Lawu. Jika menerawang dari peta, tentu kelihatannya sangat dekat. Yang sudah pernah ke sini sebelumnya hanya Pak Roni saja.
Saat istirahat sebelum pos empat, Bang Ajo mulai menyadari sesuatu, katanya burung jalak itu terus mengikuti kami sejak dari pos dua. Tentu aku tidak memedulikannya. Tapi, yang di luar perkiraanku, ternyata dia melempari burung jalak itu dengan batu. Mungkin salah satu penyebabnya karena dia sedang kesal juga berjalan bertiga di belakang, dalam keadaan yang sebentar lagi akan gelap.
Setelah melewati pos empat, hari sudah benar-benar akan gelap, dan kami dipusingkan apakah harus berjalan ke arah kanan atau kiri. Saya pun berteriak, meminta petunjuk kepada yang berjalan di depan. “Ke kanan”, teriak yang di depan. Walau jalurnya tidak begitu meyakinkan, kami pun memutuskan untuk mengikuti petunjuk tersebut. Kami bangkit dari duduk kami, dan saat hendak melangkah, Bang Ajo langsung tersungkur dalam keadaan kepala di bawah dan langsung menghujam tanah. Ia pakai topi, aku tidak bisa melihat keadaan keningnya. Tapi yang pasti, ia tidak sadarkan diri, dengan keadaan mata merah yang terbelalak. Untuk beberapa saat, aku melongo, begitu pun dengan si pendaki pemula.
Setelah terkesiap, aku langsung berteriak sejadi-jadinya, meminta bantuan kepada yang berjalan di depan. Bang Ajo menggeram, aku menggampar wajahnya dengan harapan ia bisa cepat sadar. Tapi, itu sama sekali tidak membantu. Ia terus menggeram dengan mata merah terbelalak. Aku semakin tegang dan tidak tahu mesti berbuat apa. Satu-satunya yang terpikir hanya berteriak saja sejadi-jadinya meminta bantuan. Sedang si pendaki pemula hanya melongo saja dengan muka kalutnya.
Setelah dirundung keputusasaan yang akut, Pak Roni dan dua orang lainnya pun datang dari arah sebelah kiri dengan membawa senter dan satu termos kecil. Aku heran, tapi tak punya waktu untuk menanyakan hal itu. Aku menceritakan seadanya. Kami pun duduk melingkar mengelilingi Bang Ajo, lalu membaca ayat apa pun yang kami hafal. Setelah hafalan kami habis, Bang Ajo belum sadar juga. Kami sudah putus asa, tentu saja, lalu Pak Roni pun menyuruh kami untuk membaca tiga surat terakhir dalam Quran dan dibaca secara bersama-sama dan berulang-ulang, sedang Pak Roni memijit hampir setiap lekuk tubuh Bang Ajo. Entah bacaan yang ke berapa puluh, mata Bang Ajo pun terpejam sebentar, yang kemudian terbuka lagi dalam keadaan seperti sediakala.
Malam itu kami bermalam di pos lima, di persimpangan menuju Puncak dan Goa Sigolo-golo. Malam itu pun menjadi malam yang paling sunyi bagi kami saat mendaki. Tidak ada curhat sendu perkara cinta, tidak ada pula canda dan gelak tawa. Malam itu kami hanya terdiam, dengan seribu pertanyaan yang selama ini kami tertawakan.
Setelah kejadian di Gunung Lawu itu, setiap kali diklat Mahapala, cerita ini akan selalu diulang. Tentu dengan sedikit tambahan di akhirnya, “Kalian boleh saja tidak percaya terhadap hal-hal yang begituan, tapi Tuhan Mahakuasa untuk menunjukkannya kepada kita jika kita mencoba untuk tidak menghormati makhluk Tuhan lainnya.”
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.