Gondanglegi Malang, Sebuah Kecamatan yang Nggak Punya Apa-apa, kecuali Kebisingan dan Kontroversi

Gondanglegi Malang Bikin Kecewa, Isinya Cuma Kontroversi (Unsplash)

Gondanglegi Malang Bikin Kecewa, Isinya Cuma Kontroversi (Unsplash)

Kecamatan Gondanglegi Malang, daerah kelahiran saya, isinya bikin nggak enak hati. Isinya kebisingan dan kontroversi.

Kabupaten Malang merupakan salah satu daerah yang cukup potensial dan menyenangkan. Selain wilayahnya yang strategis dan luas, Kabupaten Malang hampir punya semuanya. Mulai dari pantai, gunung, hingga air terjun.

Nah, dari total 33 kecamatan, “sialnya”, saya lahir dan menetap hingga saat ini di Kecamatan Gondanglegi. Bukannya benci, saya hanya merasa kecamatan ini masih terlalu sering bikin suasana hati penduduknya jadi kurang enak.

Gondanglegi Malang nggak punya apa-apa

Saya setuju dengan kalimat seorang pujangga yang bilang kalau hidup ini bukan sebuah balap lari, yang harus dimenangkan, tanpa sedikit saja dinikmati. Namun, yang perlu disadari dalam konteks ini adalah, saya sering merasa minder ketika harus bertemu dengan teman-teman lintas kecamatan yang ada di Kabupaten Malang.

Terlebih, mereka-mereka yang batas geografisnya bersebelahan langsung dengan Gondanglegi Malang. Sebut saja Kecamatan Turen, Bululawang, dan Kepanjen.

Meskipun secara fisik berdampingan, untuk urusan kebanggaan, rasa-rasanya Gondanglegi Malang sudah kalah telak. Hal ini bukan tanpa dasar. Faktanya, ketiga kecamatan tetangga Gondanglegi Malang itu punya tempat penting atau bahkan bersejarah yang keren. 

Misalnya, Turen dengan PT. Pindad yang cuma ada 2 di Indonesia, lalu ada Bululawang dengan PG. Krebetnya yang udah ada dari zaman Belanda, sampai Kepanjen yang, akh, semua orang juga sudah tahu kalau Kepanjen punya semuanya. Gondanglegi? Nggak ada apa-apa di sini.

Ada yang namanya Pesona Gondanglegi

Satu-satunya keunikan Gondanglegi Malang kayaknya emang nggak berbentuk warisan bendawi atau bangunan ikonik. Saya bisa bilang begini karena setiap akhir tahun, mayoritas warga akan dengan senang hati saling bahu-membahu mengadakan karnaval besar-besaran yang bertajuk Pesona Gondanglegi.

Apalagi, Pesona Gondanglegi ini awalnya hadir dalam rangka menunjukkan kekayaan budaya Indonesia dan ajang kompetisi kreativitas warga. Baik itu dalam desain kostum ataupun koreografi yang menunjukkan kisah legenda asli nusantara.

Tapi ya itu niat awalnya. Makin ke sini, rasa-rasanya udah makin nggak relevan lagi. Saat ini, Pesona Gondanglegi tidak lebih hanya sekadar kompetisi adu gengsi antar-warga aja.

Banyak warga yang menganggap bahwa melalui ajang inilah kehormatan sebuah kampung dipertaruhkan. Tidak sedikit dari mereka, yang rela merogoh kocek sampai jutaan rupiah per KK tanpa mempertimbangkan lebih lanjut urusan finansial jangka panjang.

Jadi, isi karnaval itu ya adu mahal-mahalan kostum, gede-gedean ogoh-ogoh, sampai kenceng-kencengan sound system. Padahal, saya yakin, kalau dihitung secara rinci, effort yang dikeluarkan oleh warga Gondanglegi Malang nggak akan bisa ketutup kalau cuma dari hadiah utama doang. 

Tapi ya, lagi-lagi ini soal gengsi dan kebanggaan daerah. Bodo amat kalau 2 bulan kedepan harus terpaksa puasa, yang penting penampilan kampungnya untuk acara Pesona Gondanglegi tergolong meriah.

Bising nggak ketulungan

Sebelum memaki-maki saya karena dianggap salty, izinkan saya spill perasaan menjadi warga Gondanglegi Malang yang tidak suka kebisingan.

Demi melancarkan acara Pesona Gondanglegi, panitia menutup jalan bisa sampai 1 hari 1 malam. Lalu soal jalannya acara. Tahun lalu, acara start dari pukul 10 pagi hingga 4 subuh! Lama banget! Karnaval memang seru. Tapi kalau terlalu lama, warga yang lain jadi nggak bisa beraktivitas secara leluasa.

Masalahnya, diam di rumah juga nggak selamat dari penderitaan juga. Meski nggak nonton langsung, kaca rumah kita selalu bergetar hebat gara-gara musik dari penampilan mereka yang kenceng pol. Udah mobilitas terganggu, pendengaran juga kena.

Sumpah ya. Saya masih nggak paham kenapa orang-orang bisa merasa senang dengan sensasi mendengarkan lagu yang sampai bikin geter sebadanan. Selain aneh, saya rasa itu tindakan yang lumayan nir empati juga.

Karena pasti dalam sehari itu, ada saja orang-orang Gondanglegi Malang masih sakit, bayi yang baru lahir, atau gen z yang lagi fokus menjalani program meditasi rutin. Bagi mereka, acara ini sangat mengganggu. Semua harus merasakan penderitaan tersebut hanya demi ego warga mayoritas yang pengin rame-ramean.

Belum lagi, di antara keriwehan selama acara Pesona Gondanglegi, akan selalu ada berbagai macam risiko menanti. Misalnya, konflik antarwarga Gondanglegi Malang soal parkir, anak muda mabuk-mabukan, kecelakaan, sampai melalaikan waktu ibadah secara massal. 

Begitulah, pembaca yang baik. Sebuah cerita tentang Gondanglegi Malang yang nggak ada apa-apa selain kontroversi. Semoga daerah kelahiran saya berkembang lebih baik di masa depan. Amin.

Penulis: Ahmad Fahrizal Ilham

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Pemerintah Kabupaten Malang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version