Pada satu titik, kita pasti pernah kerepotan gara-gara Glukol.
Manusia suka bernostalgia dan mengenang sesuatu. Ngomongin hal-hal lawas, peristiwa yang sudah lewat, kenangan, yang kadang tak bisa lepas dari keberadaan benda sehari-sehari yang ada di sekitar kita. Kadang hal besar, benda bersejarah, bisa juga sesuatu yang mengubah hidup. Namun, nostalgia dan kenangan bisa saja timbul dari hal remeh dan kadang lengket. Contohnya lem kertas.
Salah satu lem kertas yang lumayan bisa membawa nostalgia untuk banyak orang adalah lem kertas Glukol. Lem yang punya wadah putih bertutup merah ini, masih digunakan oleh banyak orang hingga hari ini. Ia adalah lem kertas yang sudah menjelajah berbagai zaman. Dari bungkusnya saja kita bisa tahu, lem ini pasti legend banget. Ia punya logo sederhana nan lawas, kalau tak boleh dibilang biasa saja. Hanya ada tulisan GLUKOL besar sebagai penanda keberadaannya. Lalu sebuah tulisan kecil berwarna hitam yang berbunyi, “Lem Kertas” di bagian atasnya.
Retro, mungkin istilah yang tepat untuk menggambarkan sosok lem ini. Kalau kata anak-anak sekarang vintage abiezzz. Punya beragam ukuran botol, pun punya banyak kegunaan. Ia mungkin dikenal sebagai lem kertas, tapi kegunaan dan khasiatnya tak hanya itu saja. Untuk para pencinta lintingan, ia adalah perekat dan penjaga kestabilan garet (kertas pembungkus rokok DIY). Sekarang banyak lem khusus untuk rokok, namun eksistensinya tak jua pudar. Terutama di kalangan pecinta ngelinting lawas.
Selain terkenal sebagai lem untuk membuat prakarya di sekolah, ia juga kerap menjadi saksi vandalisme. Biasanya Glukol dicampur air, kemudian digunakan untuk menempelkan kertas di jalanan. Memang ada yang menggunakan lem kayu, namun zaman dahulu Glukol lah yang menjadi tokoh utamanya. Mulai dari poster pilihan lurah khas padi dan jagung ala Orde Baru, jasa sedot WC, joki skripsi, hingga karya seni jalanan berbentuk poster.
Ia memang diciptakan untuk memudahkan kita menempelkan sesuatu. Namun, ia juga sangat lihai merepotkan para penggunanya. Selain tutupnya yang mudah lepas, ia juga punya bentuk wadah yang lebih cocok disebut sebagai toples. Tak seperti lem kekinian yang tinggal tekan, anti-dlewer, lebih cair, dan mudah pengaplikasiannya. Menggunakan lem ini, berarti kita harus siap kotor. Meski kotor itu baik, tak selamanya itu semua menyenangkan. Lem kertas kekinian tak perlu alat bantu untuk mengambilnya. Glukol tidak begitu. Ia adalah segala hal yang berlawanan dari kemudahan.
Selain lidi, kadang kita juga perlu jari. Kenyataannya, jari memang selalu menjadi kawan setia untuk lem satu ini. Setelah lidi hilang, atau ada sudut dan manuver tertentu yang sulit dilakukan dengan lidi, jari adalah solusinya. Apalagi saat lem sudah tandas tinggal sedikit di bagian bawah. Jari telunjuk pada akhirnya yang berperan besar menjadi pengeruk sisa-sisa. Belum lagi saat harus menunggu kering, ia adalah bukti nyata dari menunggu yang menjemukan.
Entah kenapa, lem satu ini punya waktu pengeringan yang terbilang lama. Meski tak terlalu cair—cenderung kental mirip lemak kambing dan ingus Ogre—ia justru terasa lebih mudah terserap kertas. Ya, mungkin itu juga karena waktu pengeringannya yang lama. Intinya, ia hadir dengan banyak kekurangan, tentu untuk ukuran teknologi zaman sekarang.
Tapi, soal daya rekatnya, saya tak berani meragukannya. Salah satu prakarya saya sejak SD masih awet hingga sekarang. Sementara itu, hasil prakarya lain yang menggunakan lem kekinian itu, sudah rusak di sana sini. Ia memang digdaya, kuat, perkasa, meski sangat merepotkan. Semua dibuktikan oleh waktu, tak ada yang instan dan semua perlu proses. Sebab, tak ada hasil baik yang didapat secara instan.
Ia memang benda remeh temeh, kecil, dan tidak terkenal. Namun, Glukol berhasil mengajari saya dan kita semua bahwa menjadi penting itu wajib, meski nggak dikenal. Maklum ia hanya lem, bukan selebgram dan wakil presiden. Eh, bentar, memang siapa wakil presiden kita?
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya