Gerakan #Blacklivesmatter yang diawali oleh terbunuhnya George Floyd semakin masif digalakkan melalui berbagai media. Gerakan #Blacklivesmatter menyadarkan kita semua tentang betapa jahatnya rasisme. Pada peradaban kita hari ini, rasisme memang tidak seeksplisit abad 18-20, namun rasisme masih banyak diperlihatkan lewat beberapa hal secara implisit.
Akibatnya, rasisme masih tertanam kuat di dalam alam bawah sadar. Rasisme secara implisit mampu menyelinap ke dalam pikiran, tanpa kita sadari secara pasti waktu masuknya. Ia tiba-tiba mengendap ke dalam alam bawah sadar dan siap meletus sewaktu-waktu dalam perilaku keseharian.
Tak usah jauh-jauh kita membahas tentang Amerika Serikat, di Jogja saja rasisme sudah semakin marak tanpa kita sadari. Lihatlah perilaku para pemilik kos yang menolak memberikan tempat tinggal sementara atau kos bagi mahasiswa asal Papua ataupun Indonesia timur. Mirisnya, para pemilik kos tersebut didukung oleh banyak masyarakat maupun instansi di Yogyakarta dengan dalih mewajarkan ketakutan warga asli karena banyak pendatang, utamanya dari Indonesia timur sering berbuat onar. Padahal, mungkin kerusuhan banyak juga yang didalangi oleh etnis lain, selain orang Indonesia timur, hanya saja tidak diberitakan seheboh apabila pelakunya orang Indonesia timur.
Lihat saja klitih, apakah ada pelaku yang berasal dari Indonesia timur? Tentu anda tahu jawabannya. Lantas, di mana mulainya penanaman pikiran rasis secara implisit tersebut. Rasanya semua itu bermula dari media, mulai dari iklan hingga film.
Sebelum maraknya gerakan #Blacklivesmatter, banyak iklan yang terang-terangan melakukan diskriminasi terhadap orang kulit hitam. Dalam iklan Nivea, terlihat seorang wanita berkulit hitam tengah mengoleskan produk losion Nivea. Kemudian warna kulitnya berbuah menjadi lebih terang dan cerah.
Iklan produk Dove pun melakukan hal serupa, terdapat seorang model berkulit hitam yang kemudian berubah menjadi putih setelah memakai produk tersebut. Iklan tersebut dikecam karena berbau rasis.
Diskriminasi terhadap orang kulit hitam banyak terjadi dalam film Indonesia yang mengambil tema Papua. Beberapa di antaranya adalah Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2003); Denias, Senandung di Atas Awan (2006); Lost in Papua (2011); Di Timur Matahari (2012); Cinta dari Wamena (2013); Tanah Mama (2015); dan Epen Cupen (2015). Dalam semua film tersebut orang papua dianggap sebagai sosok yang primitif, bodoh, dan suka berbuat kerusuhan. Sebuah anggapan yang tidak jauh berbeda dengan pandangan orang Belanda terhadap pribumi pada zaman penjajahan. Sebuah anggapan khas kolonial yang menganggap yang dijajah perlu dijadikan beradab seperti yang menjajah. Padahal, belum tentu yang tradisional itu tidak beradab, apa yang dianggap bodoh oleh masyarakat tradisional mungkin malah lebih bermanfaat bagi kelestarian alam.
Tak cukup hanya dalam film dan iklan, tayangan televisi juga sering menampilkan betapa bodohnya orang di luar pulau Jawa. Tengok saja tayangan “Ethnic Runaway” di Trans TV yang melanggengkan stereotipe primitif terhadap suku-suku tertentu. Kearifan lokal mereka acap kali dipandang sebagai kebodohan bagi para bintang tamu dalam tayangan tersebut. Ada juga tayangan “Keluarga Minus” yang menegaskan bahwa eksploitasi terhadap orang Papua dapat diciptakan melalui kelucuan-kelucuan dari keluguan para karakter di sitkom.
Kelucuan tersebut digambarkan melalui citra sikap primitif dan kepercayaan terhadap animisme oleh para pemainnya. Hal tersebut seolah dijadikan bahan lelucon yang menghibur. Padahal, secara tidak sadar kelucuan yang rasis turut melanggengkan stigma terhadap orang Papua. Identitas Papua dalam sitkom menjadi semacam olok-olok yang menghibur. Belum lagi diskrimasi yang dialami Tara Basro dalam dunia hiburan. Menurut dia, pada medium 2010-an awal banyak penolakan terhadap dirinya terjadi karena warna kulit coklat miliknya.
Syukurlah, ada gebrakan dari #Blacklivesmatter yang membuat beberapa iklan berubah total. Banyak iklan mulai menyisipkan kata-kata “cocok untuk semua warna kulitmu”, “tak masalah apapun warna kulitmu”. Dunia perfilman juga sudah menerima Tara Basro yang bahkan menobatkannya sebagai salah satu aktris terbaik di negeri ini. TransTV pun sepertinya ingin menebus dosa rasisnya di masa lalu. Kali ini mereka mengorbitkan Maria Christy Anastasia sebagai host Insert, seorang wanita berkulit hitam nan eksotis.
Sayangnya di tingkat masyarakat, rasisme seperti diskriminasi yang dilakukan para pemilik kos di Yogyakarta malah semakin banyak. Belum lagi diskriminasi kos dengan label kos khusus muslim yang makin marak terjadi. Pada tayangan komedi pun kita malah mengalami penurunan, jika dahulu komedi dibalut secara cerdas oleh Warkop DKI, Srimulat, dkk, sekarang banyak komedian yang menghibur dengan cara mengolok-olok fisik seseorang. Toh, memang tidak gampang menghapuskan rasisme. Namun alangkah baiknya jika kita memulai dari diri sendiri terlebih dahulu untuk memeluk semua manusia sebagai manusia, tanpa membeda-bedakannya.
BACA JUGA Panduan Mengawali Pembicaraan Bagi Kalian yang Pengin Ngechat Gebetan Duluan dan tulisan Rofi’i Zuhdi Kurniawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.